I.  Pendahuluan

Realitas dunia manusia saat ini telah ditandai aneka perubahan dan perkembangan. Fenomena yang menggambarkan keanekaragaman perubahan dan perkembangan, antara lain ilmu pengetahuan dan beragaman kecanggihan teknologi. Menilik fakta tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan sementara bahwa dunia kita, dunia manusia sedang dan akan selalu diwarnai dengan berbagai perkembagan yang tak terelakan lagi. Aneka macam perubahan dan perkembagan yang terjadi tidak hanya mengubah keberadaan kita dalam dunia ini, tetapi juga mengubah eksistensi kemanusiaan kita, seperti pola pikir dan cara ada dan bertindaknya kita. Manusia menjadi salah satu, bahkan menjadi target utama fenomena zaman ini.

Setelah menilik fakta di atas, penulis menemukan dua implikasi dan konsekuensi terhadap identitas manusia yang dapat dirumuskan dengan satu kata: “ganda”. “Ganda-double personal” adalah identitas baru bagi manusia melenial saat ini. Inilah realitas. Realitas yang secara eksplisit menciptakan manusia berkepribadian ganda-double personal. Di satu sisi, berhadapan dengan fakta dunia saat ini, ada yang memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan kehidupan personal maupun komunal melalui usaha-usaha ekonomis secara baik dan benar. Akan tetapi, di sisi lain tidak sedikit yang menjadi korban dari perubahan dan perkembangan ini, serta menjadi pelaku ketidakadilan, kekerasan dan keprihatinan manusiawi lainnya.

Aspek esensial dari teknologi yang menjadi penunjang berkembangnya kepribadian ganda manusia ialah peningkatan berbagai macam media sebagai penyedia informasi dan komunikasi antarmanusia. Dalam kasus ini, media sebagai penyedia informasi tidak hanya membuat manusia mudah mengakses dan membagikan suatu informasi atau fenomena sebagaimana adanya, tetapi juga ‘menghipnotis’ manusia terlena dalam ketidakpedulian terhadap sesamanya di dunia riil dan menciptakan kebencian antara satu dengan yang lain. Menyikapi fenomena tersebut, penulis mencoba melihat kembali fenomena yang terjadi pada akhir 2016 lalu. Pada tahun itu, Indonesia sedang dalam suasana pergelaran Pilkada DKI. Suasana yang nuansanya penuh dengan konflik kepentingan dan berujung pada sikap saling membenci.i Kebencian itu akhirnya merambak dalam seluruh rana kehidupan masyarakat begitu cepat dan efektif, tanpa mengenal latarbelakang kehidupan setiap kita. Lantas, bagaimanakah hal tersebut bisa terjadi semudah itu? Hemat penulis, ini semua ‘berkat’ adanya teknologi citra yang secara sederhana dipublikasikan melalui (dalam) media-media, baik cetak maupun online (internet: facebook, whatsapp, youtube, dan lain- lain). Untuk itu perlu disadari bahwa hoax tidak hanya termuat dalam dan/atau melalui kata-kata belaka tetapi juga citra-citra atau gambar-gambar yang bernuansa provokatif. Berdasarkan pada kesadaran itu, penulis mencoba merumuskan dan menganalisa eksistensi dari hoax dalam kehidupan bersama, serta bagaimana pengaruhnya bagi relasi antar individu dalam tinjauan judul tulisan Hoax: Mereduksi Keontentikan Realitas dan Menciptakan Ketidakharmonisan.

II.  Kerangka Teori

Pada abad 18, kata hoax sudah digunakan di Ingggris sebagai bentuk penipuan, to lie dan to cheat yang diderivasi dari kosakata Latin hocus pocus. Dalam perjalanan waktu, pemaknaan akan kata hoax mengalami perkembangan. Di Indonesia, makna kata hoax meliputi semua berita bohong. Sedangkan di Amerika, hoax dibedakan dari fake news. Berdasarkan tulisan ini, contoh yang tepat ialah beredarnya gambar-gambar kemiskinan dan penderitaan yang dipublikasikan dalam media demi kepentingan ekonomis belaka. Atau beredarnya video (yang sudah masuk dalam edited reality) yang bernuansa politik dan salin memprovokasi. Kekhasan dari hoax yang ditampilkan dalam/melalui gambar-gambar dan video ialah hanya menciptakan kejahatan dan kebencian dengan mereduksi realitas yang sesungguhnya.

III.  Hoax: Mereduksi Keotentikan Realitas dan Menciptakan Ketidakharmonisan

Perdebatan dan pembicara seputar isu atau beredarnya hoax dalam seluruh dimensi kehidupan manusia bukan hal baru. Bahkan, fenomena demikian telah menjadi habitus di kalangan masyarakat era milenial ini. Tidak sedikit manusia (zaman now) yang cenderung terpengaruhi dengan fenomena hoax yang berkembang. Kendati, ada sebagian yang berusaha untuk mencermati fenomena tersebut sambil mempertanyakan kebenarannya. Menilik realitas tersebut, hemat penulis hoax memiliki ambiguitas nilai. Di satu sisi hoax membawa manusia pada kerangka penafsiran yang keliru, lalu berujung pada kebencian satu yang dengan lain. Tetapi, di sisi lain, hoax juga menciptakan keingintahuan manusia untuk mencermati keotentikan dan keaslian dari realitas yang dipublikasikan, baik melalui media cetak maupun on line. Persoalannya ialah tidak jarang masyarakat milenial ini yang bersikap kritis dan cermat dalam memilih dan memilah keotentikan sebuah realitas. Semuanya diterima begitu saja, hingga berujung pada sikap saling membenci. Dari kedua nilai, kekhasan yang digambarkan dari fenomena hoax ialah mereduksi keotentikan realitas yang sesungguhnya dan berujung pada ketidakharmonisan.

Fenomena hoax dalam dunia milenial tidak muncul begitu saja, atau hadir sebagai ‘kutuk’ yang tak bertuan. Hoax sebagai sebuah fenomena tentu tidak terlepas dari cara kerja kerangka berpikirnya seseorang. Manusia selalu menjadi aktor utama dibalik fenomena tersebut, kendati identitasnya masih ambigu. Cara kerjanya sangat sederhana dengan tujuan yang jelas, serta pencapaian target yang pasti. Individu yang mengembangkan hoax selalu memuat berita-berita bohong, ada peristiwa-peristiwa yang selalu dilebih-lebihkan atau dihilangkan bagian tertentunya (edited reality). Tulisan dan teks sering tidak sesuai dengan gambar, judul tidak sesuai dengan isi berita, berita lama direproduksi kembali untuk mendukung isu yang sedang ramai. Foto-foto dan video-video diubah dan diedit sedemikian rupa demi kepentingan semu. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Don Ihde, seorang filsuf teknologi dalam kajiannya tentang teknologi citra- imaging technology. Segala realitas ditampilkan tidak selalu menggambarkan yang seutuhnya. Apalagi, realitas tersebut dipublikasikan, baik melalui media cetak maupun on line. Kebenarannya perlu dipertanyakan. Mengapa perlu mempertanyakan kebenaran dari sebuah realitas dipublikasikan? Hemat penulis, setiap individu memiliki kerangka dan tendensi sendiri dalam merekap sebuah realitas-fenomena. Pra-kerangka untuk mengamati sebuah realitas telah didesain sedemikian rupa dengan tujuan tertentu. Misalnya, seorang fotografer atau jurnalis saat dalam proses pengambilan gambar atau video. Apa yang dihasilkan (baik foto maupun video) merupakan cara pandang sang pemotret (fotografer atau jurnalis) dan tidak sugguh-sungguh menunjukkan hal yang sebenarnya. Atau individu yang suka melakukan hoax. Dia telah memiliki kerangkanya sendiri, baik itu dituankan dalam tulisan ataupun berupa gambar-video yang telah direkasaya sedemikian rupa. Jadi, hemat penulis, hoax adalah bagian dari sikap orang-orang tertentu yang ingin mereduksi keotentikan sebuah realitas dan menciptakan ketidakharmonisan.

Konsekuensi dari beredarnya isu hoax tersebut ialah mereduksi keotentikan realitas dan menciptakan ketidakharmonisan. Realitas yang sesugguhnya dan benar dimanipulasi dengan kepentingan tertentu. Akhirnya berdampak pada ketidakharmonisan hidup bersama. Adanya hoax kedua belah pihak (baik individu maupun kelompok) saling diadukan. Yang satu (baik secara individu maupun kelompok) membentengi diri dengan logika berpikirnya sendiri. Yang lain pun tidak mau didiskrimasi, sehingga saling bermusuhan dan menciptakan blok-blok dalam kehidupan bermasyarakat. Realitas yang tepat untuk dijadikan contoh ialah berita dan beberapa gambar yang dimuat dalam tabloid obor sejak pemilihan presiden Indonesia pada tahun 2014. Selain itu, polisi Jakarta telah menerima 1.194 aduan masyarakat mengenai hoax, berita palsu dan pencemaran nama baik (baik melalui media cetak maupun on line). Tak terkecuali, dunia internasional juga mengalami hal yang sama, berita palsu-hoax menjadi trend dalam perpolitikan dunia internasional, seperti dalam perpolitikan Amerika Serikat. Saat menjelang pemilihan peresiden Amerika Serikat, 8 November 2016.  Inilah sederetan keberadaan hoax yang memicukan problem dalam kehidupan bersama. Sadar akan kepentingan bersama dan kedamaian dalam berkomunikasi, ada sebagian pihak juga berusaha untuk mengatasi persoalan tersebut. Misalnya, di Indonesia, pemerintah mulai mengeluarkan maklumat untuk mengevaluasi media- media on line yang sengaja mempublikasi berita-berita bohong tanpa sumber yang jelas, dengan judul yang provokatif dan memfitnah. Sedangkan di Jerman, pemerintah menerbitkan undang- undang yang memberikan denda kepada facebook dan platform media sosial lain yang menerbitka berita palsu.

Terlepas dari solusi-solusi yang ditawarkan pemerintah, hemat penulis ialah bahwa kita perlu ‘kembali’ ke ‘rahim’ Gereja (Injil) untuk menemukan nilai-nilai yang mengajurkan setiap orang beriman untuk mempertimbangkan kebaikan bagi seluruh ciptaan, khususnya keharmonisan manusia. Dengan demikian, tata moral objektif dapat dipegang teguh dalam menyikapi kesenian dan penuturan, serta penampilan pemberitaan, terutama menyangkut hal-hal yang dapat merangsang munculnya nafsu jahat manusia (art. 4, 7). Oleh karenanya, kita juga perlu bersikap kritis untuk menemukan nilai-nilai formatif yang mampu memanusiakan manusia dalam mengakses berita dan segala fenomena dengan keragamannya di media sosial. Selain itu perlu disadari bahwa setiap realitas yang dipublikasikan selalu berakar pada sebuah pra-kerangka berpikirnya seseorang, agar diri kita dilatih untuk tidak menimbulkan prasangka buruk dengan yang lain saat menyimak berita yang ada. Melainkan bersikap kritis, cerdas dan cermat dalam menyikapi sebuah fenomena. Tujuannya ialah untuk menghindari sikap yang sewewenang dalam mereduksi sebuah realitas, dan memupuk perdamaian demi harmoni hidup bersama.

IV.  Penutup

Manusia dan teknologi sudah menjadi sahabat yang senasib. Ada bersama dan saling melengkapi. Manusia sulit hidup tanpa teknologi, begitu pun teknologi, tanpa manusia tidak mungkin akan secanggih di era milenial ini. Perubahan yang pesat berkat kemampuan intelektual manusia, banyak kecanggihan alat teknologi yang tercipta. Salah satunya ialah teknologi komunikasi, berupa internet. Internet hadir memudahkan manusia mengakses beragama informasi dengan melihat realitas yang direpresentasi dalam teknologi citra (gambar bergerak dan nonbergerak). Namun, ketidakcermatan, ketidakritisan membuat manusia lalai dalam memaknai segala fenomena dan realitas yang ada. Bahkan ada yang mereduksi keberadaan realitas yang sarat akan nilai dan makna, sehingga berujung pada sikap saling membenci. Misalnya, kurang kritisnya manusia dalam menanggapi isu hoax yang beredar dalam dunia maya-internet dan dunia riil melalui media cetak dan pengamatan.

Untuk menyikapi hal tersebut, hemat penulis ada dua hal yang perlu dipertimbangkan mengingkat identitas kita sebagai pribadi yang berdimensi manusiawi dan kristiani. Pertama perlu disadari bahwa setiap realitas yang direpresentasi dalam gambar-video melalui media sosial maupun cetak terlahir dari kerangka berpikirnya seseorang. Kita perlu cermat dan kritis untuk menginternalisasikannya dalam hidup kita. Jangan sampai itu hanyalah hoax yang berkeinginan untuk menghancurkan keharmonisan hidup bersama! Kedua sebagai orang kristiani kita perlu ‘kembali’ ke ‘rahim’ Gereja (Injili) untuk belajar keotentikan kabar baik dari setiap realitas yang dipublikasikan. Dengan demikian kita tidak bersikap diskriminatif terhadap orang lain.

Penulis: Augusto Almeida da Silva, Universitas Sanata Dharma Yogyarkata