Hoaks, Diskursus Ruang Publik Dan Jurnalisme Perdamaian
I. PENGANTAR
“The great enemy of clear language is insincerity. When there is a gap between one’s real and one’s declared aims, one turns as it were instinctively to long words and exhausted idioms, like a cuttlefish spurting out ink.”– George Orwell
Akhir-akhir ini, ruang publik kita diwarnai oleh perdebatan tentang hoaks. Amat disayangkan, karena demokrasi yang pada dasarnya merujuk pada paradigma dan tesis-tesis kritis-rasional, justru terkontaminasi oleh berita-berita yang dipelintir untuk kepentingan tertentu. Tentu saja hoaks tidak mengedepankan aspek berpikir rasional, sebagaimana telah dimulai oleh para filsuf seperti Antonio Gramsci, Habermas, dan Hannah Arendt. Ruang publik kita, bukan lagi menjadi locus kewarganegaraan dan tempat afirmasi keadaban publik, melainkan telah menjelma menjadi tempat penyebaran virus kebencian, kekerasan, fitnah, provokasi, kriminalitas dan penipuan. Ruang publik menjadi sasaran empuk dari banalitas para bandit bertopeng demokrasi yang berusaha memberangus keadaban ruang publik demi interese-interese terselubung. Identitas ruang publik sebagai basis komunikasi yang menjujung tinggi nilai etis dan sikap respek terhadap sesama, lenyap dilahap oleh ganasnya kepentingan pasar dan politik. Habermas menyebut fenomena ini sebagai “refeodalisasi” ruang publik.1
Tesiskuncitulisaniniialahruangpublikharus dilihat sebagai sarana untuk mengekspresikan diskursus yang bersifatinklusif, egaliter dan bebasdominasi serta menggagas jurnalis yang berprofesional dan rasional dalam menyikapi dan menalar virus hoaks yang kini meluber dan membanjiri ruang publik.
II. HOAKS
Kata hoaks masih merupakan suatu term yang relatif baru di dalam ruang perbendaharaan kosakata kita. Hal ini karena memang masalah hoaks baru muncul secara masif- destruktif pada tahun 2014, khususnya pada momen pemilihan umum presiden, dimana berdasarkan fakta yan tidak kuat, orang mulai menyebarkan kebohongan untuk menghancurkan kredibilitas lawan politik melalui isu-isu sensitif rasialisme, ideologi ataupun agama.
Kata hoaks sebenarnya ditemukan oleh filsuf kelahiran Inggris, Robert Nares. Menurut Nares, hoaks berasal dari kata “hocus” yang berarti menipu. Sedangkan kata “hocus” sendiri ditemukan dari mantra”hocus pocus”, frase yang sering disebut para pesulap, mirip seperti “sim salabim”. Berdasarkan sejarah juga hoaks sebenarnya memiliki kaitan dengan budaya April Mob, yang dirayakan setiap tanggal 1 April, yaitu sebuah tradisi memperdaya orang lain dengan berbagai berita bohong sekadar untuk bahan lelucon.4 Namun kini, penggunaan berita hoaks ini disalah gunakan oleh beberapa orang dengan menyebarkan berbagai berita bohong, yang dampakya bahkan dapat menggemparkan dunia dan tak jarang virus hoaks ini mencemarkan nama baik seseorang atau golongan tertentu, tidak lagi hanya sebatas lelucon biasa.
Dari latar belakang historis tentang hoaks di atas, Secara singkat, hoaks dapat dipahami sebagai informasi bohong yang didasarkan pada fitnah, tindakan agitatif-provokatif, dan fiksi yang secara gamblang berseberangan dengan nilai-nilai kebenaran yang sahih. Hoaks juga dapat dilihat sebagai pemberitaan atau penyebarluasan informasi yang berisi tentang kebohongan, dan dengan sengaja disebarluaskan melalui berbagai media informasi.
Dan hal ini nyata dalam masalah hoaks yang sekarang berusaha memberangus prestise ruang publik sebagai diskursus yang elegan dan elok dengan membibit berbagai berita bohong, ujaran kebencian, umpatan berbau suku, agama, ras dan golongan (SARA) yang bertendensi mereduksi makna kebenaran itu sendiri.
Terlepas dari penjelasan historis teoretis dari problem hoaks di atas, muncul suatu kecemasan kolektif bagi masyarakat indonesia akan penyebaran hoaks yang semakin tak terkendali. Ruang publik rupanya menjadi zona dan arena yang strategis untuk mendistribusi virus yang bergendre agitatif, caci-maki, fitnah, dan berita-berita bohong lainnya yang diproduksi oleh oknum-oknum tertentu yang tak beridentitas.
lll. HOAKS DAN DISKURSUS RUANG PUBLIK
Seiring dengan melubernya berita bohong atau hoaks yang menghantui kehidupan publik sekarang ini, diskursus seputar zona panas ruang publik sebagai locus komunikasi kolektif dan universal tidak dapat terhindarkan.
Ruang publik hadir sebagai wadah politis untuk mempertemukan opini-opini publik yang sinergis dan bermanfaat bagi kehidupan sosial politis masyarakat warga itu sendiri. Ruang publik menjadi semacam terminal komunikatif digital yang mendobrak sekat dan tembok pemisah ruang dan waktu. Serentak ruang publik ini menyulap dunia menjadi seperti dusun global (global village).
Namun, kehadiran dan menjamurnya virus hoaks dalam ruang publik justru menbidani aktivitas komunikasi yang amburadul, chaos, dan tidak mencerminkan suatu ruang diskursus yang nyaman dan etika komunikatif yang elok serta sistem komunikasi yang sepenuhnya mengindahkan hukum-hukum moral, hak-hak manusia serta martabat pribadi orang lain.
Apalagi jika fenomena ini diseting dan dimodifikasi untuk kepentingan tertentu yang bertendensi kontradiksi-problematis dengan suatu diskursus ruang publik dan sistem komunikatif yang ada. Hal ini nyata dengan munculnya para buzzer atau agen politik yang secara sepihak mendukung kandidat fanatiknya dengan menyebarkan berita palsu dan secara terang-terangan menfitnah lawan politiknya. Alhasil konstelasi politik dalam ruang publik semakin memanas dan bukan tidak mungkin akan berujung pada aksi anarkis dan kekerasan. Apalagi ditambah dengan sedikit isu yang berbau suku,agama, ras, dan golongan (SARA).
Dapat diprediksi bahwa masifnya kontaminasi ruang publik oleh virus hoaks ini memberi ekses yang besar bagi kehidupan masyarakat secara umum. Seringkali muncul konflik pembunuhan dan tawuran antar kelompok hanya karena masalah yang sepele, tetapi karena dibesar-besarkan ditambah sedikit bumbu-bumbu yang bergendre provokatif-agitatif dalam ruang publik maka bukan tidak mungkin nyawa pun menjadi taruhan. Apalagi jika ditanggap oleh kecerdasan intelektual dan emosional yang minim niscaya pertumpahan darah pun tidak bisa dielakkan. Persis pada titik ini filsuf perempuan berdarah Yahudi Hannah Arendt pantas menyebutnya sebagai “krisis ruang publik”.
IV. JURNALISME PERDAMAIAN: SEBUAH SOLUSI
Melihat turbulensi berita palsu atau faktum hoaks di atas, menggagas jurnalisme perdamaian dalam suatu diskursus ruang publik adalah suatu imperatif kategoris. Jurnalisme perdamaian mesti menjadi senjata pendobrak kebobrokan media sebagai ruang publik yang menjadi locus sekaligus merahimi berbagai berita palsu. Hal ini sejalan dengan harapan Paus Fransiskus dalam pesan perdamaiannya di hari komunikasi sedunia yang ke-52 bahwa pope Francis has invited those working in the media to “promote a journalism of peace” that is truthful and helps to form others, but is not harmful or sentimental, refusing to acknowledge serious problems. Dalam konteks negara Indonesia hal ini terbukti dalam survey yang dilansir oleh Few Forum on RelIgion and Fublic Life di mana negara Indonesia berada di posisi tertinggi ke-5 dengan Indeks Kebencian Nasional (Social Hostility Index-SHI) setelah Irak, India, Pakistan, dan Afganistan.
Jurnalisme perdamaian juga mesti menjadi amunisi perdamaian dalam setiap dimensi hidup manusia.Dalam konteks Indonesia juga, jurnalisme perdamaian mesti medekonstruksi peta politik yang amburadul, bergendre populisme, dan fanatisme politik yang berujung pada produktivitas hoaks yang membabi buta dalam diskursus ruang publik. Jurnalisme perdamaian mesti menelurkan para jurnalis profesional yang tidak hanya melihat profesi wartawan sebagai pekerjaan semata, tetapi lebih daripada itu mesti dilihat sebagai sebuah misi dan perutusan yang mulia.
Prinsip dasar jurnalisme perdamaian adalah memengaruhi pihak yang berkonflik untuk mengedepankan upaya dialog/diplomasi untuk menemukan jalan keluar atau damai. Dan juga mementingkan empati kepada korban-korban konflik dibandingkan liputan perkembangan jalannya konflik serta melaporkan suatu kejadian dengan sudut pandang yang luas, berimbang, dan didasarkan pada informasi tentang konflik yang terjadi. Sehingga benar apa yang diasumsikan oleh Annabel McGoidrick dan Jake Lynch yang secara moderat mengatakan bahwa fakta-fakta itu membutuhkan cara pandang yang jernih (eyes bird view) sebelum di sampaikan ke publik. Cara pandang yang jernih itu dihasilkan dari terkumpulnya data-data yang akurat dan memadai menyangkut akar konflik.
V. PENUTUP
Tak dapat dimungkiri bahwa fenomena hoaks yang muncul akhir-akhir ini telah secara pasti mengusik konstelasi diskursus ruang publik yang konstruktif. Ekses masif-kompherensif yang lahir dari rahim hoaks serentak menyulap ruang publik sebagai arena dan locus strategis untuk memproduksi berita bohong yang cendrung memfabrikasi berita, menyebarkan virus kebencian, caci-maki, umpatan amoral dan simton destruktif lainnya. Ruang publik tidak lagi dilihat sebagai diskursus yang mengedepankan nilai-nilai etis dan nyaman.
Tentunya kehadiran jurnalisme perdamaian dalam diskursus ruang publik menjadi angin segar dalam kepenatan konstelasi ruang publik yang terus dijamuri oleh berita-berita palsu yang bermotif agitatif-provokatif. Jurnalisme perdamaian kiranya menjadi penetrasi yang berdayaguna dalam menggedor dan membasmi virus hoaks yang meluber dalam ruang publik serentak dapat memprovokasi kehidupan masyarakat. Ingat, “kebenaran akan memerdekakan kamu” –Yoh 8:32 (Paus Fransiskus).
Penulis: Fransiskus Carbinsius Sabar, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.