Manusia, Cerita, dan Komunikasi
Hidup manusia tidak pernah terlepas dari cerita. Sudah merupakan keyakinan sejak zaman Yunani bahwa manusia adalah makhluk yang bercerita, yang mengomunikasikan diri dalam cerita dan saling mengenal melalui cerita. Bahkan boleh kita berkata bahwa hidup adalah cerita dan manusia berada dalam jejaring cerita ini. Filsuf Yunani Kuno, dalam rangka ilmu logika, membuat definisi riil esensial manusia sebagai binatang berakal (animal rationale). Jadi, akalbudi adalah differentia specifica, ciri pembeda yang khas antara manusia dan binatang. Namun, orang Yunani juga berbicara tentang manusia sebagai zoon logon echon, dalam arti bahwa manusia adalah makhluk yang bercerita. Jadi, cerita, bercerita dan menceritakan adalah identitas manusia yang membedakannya dengan makhluk ciptaan lainnya.[17] Pandangan filsafat Yunani ini juga berlanjut sampai dengan zaman sekarang. Paus Fransikus juga menerima pandangan filsafat ini bahwa manusia adalah pencerita.
Cerita adalah identitas dan modus existendi (cara berada) yang terbedakan dari cara berada makhluk lain. John Dominic Crossan[18] mengatakan bahwa manusia itu hidup dalam cerita bagaikan ikan di tengah lautan. Hubungan antara air dan ikan adalah hubungan eksistensial. Ikan tanpa air artinya mati. Demikian pula manusia dan cerita, manusia hidup tanpa cerita sudah tidak hidup lagi alias mati. Jadi, hidup dan cerita adalah suatu kesatuan, dimana suatu cerita muncul dari pengalaman namun sekaligus cerita itu menguraikan makna hidupnya. Boleh juga kita katakan bahwa hidup kita adalah sebuah struktur naratif yang memerantai hidup dengan segala maknanya. Itulah yang dikatakan Paus Fransiskus dalam pesannya ini bahwa manusia tidak hanya membutuhkan pakaian untuk menutupi kerapuhannya melainkan juga membutuhkan cerita. “Ia juga merupakan satu-satunya makhluk yang perlu mengisahkan dan mengenakan pada dirinya cerita-cerita untuk menjaga hidupnya”.
Cerita adalah hakikat manusia. Cerita bukanlah sesuatu yang ditambahkan pada hidup manusia melainkan bagian konstitutif hidup dan kehidupan manusia. Mengapa, karena dengan bercerita kita menempatkan diri kita dalam conditio humana (kondisi manusia sebagai manusia), yaitu kita tidak hanya sebagai manusia diri sendiri (individu) melainkan kita baru sungguh-sungguh manusia dalam relasi dengan sesama (makluk sosial). Karena itu cerita tidak hanya menampilkan siapa saya (identitas diri) melainkan juga siapa saya dalam hidup bersama (identitas komunitas). Sebuah cerita bisa memperlihatkan siapa diri kita sebagai identitas pribadi sekaligus identitas komunitas sosial dimana kita hidup.
Kalau cerita itu adalah modus existendi (cara berada) maka itu berarti cerita ada sejak manusia ada. Karena itulah paus membuka pembicaraan tentang cerita Kitab Suci dengan kisah penjadian manusia:”Allah adalah Sang Pencipta sekaligus Narator. Sungguh, Ia mengucapkan Sabda-Nya dan segala sesuatu ada” (bdk. Kej 1). Tetapi mengapa manusia bercerita? Jawaban atas pertanyaan itulah yang mau disampaikan paus dalam pesannya ini. Manusia bercerita entah tentang dirinya, atau tentang sesuatu yang lain, tujuannya untuk menyampaikan maksud atau nilai. Jadi cerita adalah sarana untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan pesan: kuliah adalah cerita karena di sana ada tindakan menyampaikan pesan, yakni ilmu pengetahuan; kotbah juga adalah cerita karena di situ sang pengkotbah menyampaikan pesan yakni kehendak Allah bagi manusia. Singkatanya, apa saja sejauh bersifat menyampaikan pesan maka itu adalah cerita. Ketika seseorang tidak lagi bercerita, entah tentang dirinya atau tentang yang lain, dengan kata lain, berdiam diri, dia tetap bercerita. Dengan berdiam ia tetap bercerita, karena dengan tindakan diam itu ia menyampaikan pesan kepada yang lain bahwa dia tidak suka atau tidak setuju dengan apa yang dihadapi atau didengarnya.
Tantangan kita saat ini adalah bahwa kita tenggelam dalam lautan cerita yang datang ke hadapan kita. Itulah kondisi kita di era kemajuan teknologi komunikasi yang dikenal dengan sebutan era banjir informasi, era banjir cerita. Paus mengingatkan kita bahwa informasi-informasi itu atau cerita-cerita itu, hadir di hadapan kita tidak hanya sebagai cerita benar dan baik melainkan juga sebagai cerita palsu dan jahat. Kita sulit membedakan antara cerita benar dan cerita palsu. Tentang cerita asli dan tidak asli atau cerita palsu dan dan cerita benar, posmodernis Perancis, Jean Baudrillard[19] (1929-2007), sudah mengingatkan kita tentang apa yang disebutnya realitas dan superealitas. Menurut Baudrillard, sekarang ini kita sulit membedakan antara asli dan tidak asli, antara asli dan tiruannya, karena yang tiruannya sering tampil lebih menarik dan meyakinkan. Oleh kemajuan teknologi digital, seorang gadis yang dalam kondisi riil eksistensial cantiknya biasa-biasa saja (relitas), bisa menjdi sangat cantik, pada foto atau videonya di YouTube (superealitas). Karena itu, Paus Fransiskus pada awal pesannya mengatakan bahwa “kita perlu menghirup kebenaran dari cerita-cerita yang baik supaya tidak tersesat”.
Contoh lain, politik pencitraan: seorang politisi membagikan sumbangan bagi orang yang menderita atau membela mereka yang diperlakukan tidak adil. Lalu media dengan sengaja mendramatisasi pemberitaannya seakan sang politisi itu malaikat penyelamat; media melebih-lebihkan atau memalsukan realitas hanya demi suatu kepentingan yang rendah dan sesaat. Yang menjadi tantangan kita, pemalsuan itu tidak tampak dan sulit dilacak oleh pembaca atau pendengar, karena mereka mengetahui perbuatan baik sang politisi itu dari media, tidak menyaksikan langsung. Jurang antara realitas (apa yang terjadi) dan superealitas (pemberitaan media) inilah yang mau diingatkan oleh paus. Tetapi, paus menulis bahwa “cerita-ceita yang dimanfaatkan untuk tujuan kekuasaan bakal berumur pendek”. Jadi, politik penceritaan tidak bertahan lama.
Cerita dan Kitab Suci
Kitab Suci adalah cerita
Kitab Suci juga cerita, tetapi bukan sekadar cerita melainkan “cerita dari segala cerita”. Mengapa, karena Kitab Suci itu mengomunikasikan pesan bukan dari manusia kepada sesama manusia lain, melainkan pesan Allah kepada manusia, untuk menyelamatkan manusia. Dengan mengikuti faham cerita yang dikemukakan Paus Fransiskus yaitu cerita sebagai sarana komunikasi pesan, maka Kitab Suci seluruhnya adalah cerita, yaitu cerita karya keselamatan Allah. Sebagai cerita dari segala cerita, atau boleh kita katakan cerita agung dalam kehidupan manusia, maka cerita Kitab Suci penuh daya dan karena itu menjadi dasar dan sumber bagi pernyataan iman, liturgi dan katekese.
Kitab Suci, mulai dari Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama sampai Kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru, merupakan cerita yang kita kenal sebagai cerita sejarah keselamatan Allah. Kalau kita menyebut Kitab Suci adalah sejarah maka sejarah di sini bukan sejarah faktual melainkan sejarah yang khas dan khusus. Kekhasannya adalah bahwa Narator cerita adalah Allah sendiri. Jadi Kitab Suci adalah kesatuan antara cerita Allah dan cerita manusia yang menunjukkan bagaimana hubungan antara Allah dan manusia.
Adapun iman Kristiani lahir dari atau bersumber pada cerita-cerita Kitab Suci itu. Para murid Yesus dengan penuh keyakinan menceritakan bahwa Allah telah menjadikan Yesus yang mati di salib sebagai Kristus (Kis. 2:36). Mereka bercerita tentang siapa Yesus. Kisah-kisah Yesus ini diceritakan oleh para murid dan pewarta lainnya, dan cerita-cerita mereka itu diceritakan terus-menerus dan akhirnya pelan-pelan dituliskan. Setelah mengalami proses kanosisasi cerita-cerita yang telah ditulis itu menjadi Kitab Suci dan itulah Injil yang sekarang kita kenal.[20]
Tentu ada banyak pertanyaan mengenai proses peralihan dari tradisi lisan ke tulisan ini, seperti: Apakah cerita yang sampai kepada kita sekarang ini sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dulu, jangan-jangan sudah ada muatan unsur-unsur subjektif dari pengisah atau penulis. Bukan hanya ada rentang waku yang begitu jauh antara konteks asli dengan teks yang ditulis, tetapi juga ada jarak yang semakin lebar antara teks yang ditulis itu dengan pembaca dari zaman ke zaman. Begitu kita membuka dan membaca Injil maka kita akan berhadapan dengan pelbagai masalah menyakut sudut pandangan, bahasa, perbedaan kultur, rentang waktu sejarah, dan bahkan kontradiksi teks. Semua pertanyaan itu benar, tetapi tidak dijawab di sini. Adapun yang mau dikemukakan oleh paus adalah suatu pesan pastoral bagi seluruh kaum beriman bahwa Kitab Suci adalah cerita agung atau cerita utama bagi hidup dan kehidupan manusia. Tujuan paus agar Kitab Suci tidak hanya dibaca dan dipelajari oleh para ahli Kitab Suci dan ahli teologi melainkan harus dibaca oleh semua kaum beriman. Mengapa kaum beriman harus membaca Kitab Suci, karena kitab itu mengomunikasikan pesan Allah bagi manusia, “Kitab Suci adalah kisah cinta yang luar biasa antara Allah dan manusia”, tulis Paus Fransiskus.
Narator Kitab Suci
Narator adalah istilah sastra yang dikenakan kepada pencerita kisah atau drama. Untuk karya sastra yang bukan Kitab Suci narator bisa diidentifikasi sebagai pengarang, jadi pengarang dan narator sama. Akan tetapi untuk cerita Kitab Suci narator itu lain dari pengarang. Menurut ahli Kitab Suci, peranan seorang narator dalam Kitab Suci sangat dominan, ia tampil sebagai pribadi yang serba tahu segalanya. Ia memiliki jalan masuk ke dalam peristiwa-peristiwa di masa lalu serta mengetahui pikiran atau perasaan para tokohnya mulai dari Allah sampai manusia. Narator tidak terikat oleh waktu, bisa menguasai isi pikiran para tokoh, bisa mengetahui apa yang terjadi yang tidak diketahui para tokoh dalam cerita itu.[21]
Paus menulis bahwa Narator cerita dalam Kitab Suci adalah Allah. Itulah kekhasan cerita Kitab Suci dibandingkan dengan semua cerita lainnya, dimana penulis cerita tidak sama dengan narator. Di sini paus mau menyampaikan bahwa cerita tentang jadinya alam semesta dengan puncaknya manusia itu betul ditulis seorang pengarang manusiawi, namun sang penulis itu hanya alat di tangan Tuhan untuk menyampaikan kisah cinta-Nya bagi manusia, sedangkan sang Pencerita tetap Allah sendiri. Karena itu, kalau kita membaca Kitab Suci kita harus membaca sebagai kisah cinta Allah kepada manusia. Dengan ini, paus mengajak semua kaum beriman untuk berkomunikasi dengan Allah dengan membaca Kitab Suci.
Metode naratif?
Dengan cara itu, apakah itu berarti, paus menganjurkan kepada umat apa yang sekarang dalam dunia tafsir Kitab Suci disebut Eksegese Naratif atau Teologi Naratif.[22] Paus tidak bermaksud demikian. Paus menganjurkan suatu metode pastoral mendekati Kitab Suci, yakni metode naratif bagi umat, atau mungkin lebih tepat sebuah katekese naratif bagi umat. Paus menghendaki agar kaum beriman membaca Kitab Suci dengan suatu metode pastoral Kitab Suci yang lebih menyentuh kondisi eksistensial mereka dan itu dimungkinkan oleh metode naratif.
Kita perlu akui bahwa penggunaan metode narasi di dalam usaha memahami dan mengaplikasikan isi Kitab Suci menjadi sebuah cara baru yang sangat menarik. Coba bayangkan! Pada waktu kita membaca Kitab Suci dengan metode ini, kita dibawa masuk menelusuri setiap pergumulan yang terjadi pada masa lalu, ke dalam dunia cerita yang diciptakan penulis suci. Dunia itu menjadi begitu nyata dan membawa kita seakan hadir di sana. Kita merasakan dan mengalami secara nyata setiap detail kejadian. Singkatnya, membaca Kitab Suci dengan metode naratif menjadikan kita mengalami kehadiran Allah bagi diri kita begitu eksistensial.
Akan tetapi, kita perlu menggunakan metode naratif ini dengan bijaksana, karena metode ini mudah mengantar pembaca untuk menyempitkan pesan Allah dalam Kitab Suci menjadi sebatas pengalaman eksistensial masing-masing orang. Orang membaca teks-teks Kitab Suci yang cocok dengan pengalamannya. Fokus pembacaannya adalah pengalaman dan perasaannya bukan Sabda Allah. Akhirnya membaca Kitab Suci bukan lagi sebagai tindakan iman untuk menyelaraskan hidupnya dengan kehendak Allah melainkan menggunakan Sabda Allah yang dibaca untuk membenarkan pengalaman dan perasaan manusianya. Dan bahaya lain adalah kalau para pembaca naratif itu tidak mau peduli lagi dengan makna dan maksud asli Kitab Suci sebagaimana dihasilkan dari studi ahli Kitab Suci dengan metode kritik historis.[23]
Paus Fransiskus sungguh menyadari kemungkinan bahaya seperti itu. Karena itu paus dalam pesan pastoral ini meminta kaum beriman untuk tidak memalsukan cerita dan meminta kaum beriman bijaksana dalam menerima cerita. Paus di sini menggunakan metode naratif karena ia berbicara tentang pastoral komunikasi kepada umat. Di sini paus berbicara kepada seluruh kaum beriman biasa tentang pastoral Kitab Suci bukan kepada ahli teologi dan ahli Kitab Suci. Kepentingan paus dalam pesan ini adalah pastoral komunikasi, terutama komunikasi antara Allah dan manusia melalui cerita-cerita Kitab Suci.
Baca juga: “Hidup Menjadi Cerita” Series – 1
Penutup
Dari seluruh pembicaraan kita akhirnya kita dapat mencatat beberapa poin penting dari pesan paus. Pertama, pesan paus dalam bentuk imperatif, yakni hidup menjadi cerita, bukan hidup adalah cerita. Tentu benar juga bahwa hidup adalah cerita, jadi indikatif, namun paus berbicara tentang cerita dalam konteks seruan pastoral, jadi imperatif. Dan sejauh sebagai itu maka paus mengundang kaum beriman Katolik untuk menjadikan hidupnya sebagai sebuah cerita bagi sesama. Dan sebagai sebuah cerita bagi yang lain maka kenyataan hidupnya atau cara hidupnya haruslah membawa pesan atau mengomunikasikan sesuatu yang mengembangkan hidup sesama dan bukan mengancurkan hidup sesama. Setiap kaum beriman harus menjadi cerita bagi yang lain, itu artinya, setiap kaum beriman haruslah menjadi pembawa nilai yang membangun.
Kedua, supaya hidup kita bisa bernilai bagi sesama maka paus mengundang kita untuk menggali sumber semua nilai-nilai itu dari Allah sendiri sebagaimana ditulis di dalam Kitab Suci. Itu artinya kita harus membaca Kitab Suci. Kitab Suci adalah “cerita yang menemukan kembali akar dan kekuatan untuk bergerak maju”. Karena itu paus mengundang kita untuk membaca Injil, cerita agung tentang Yesus Kristus penyelamat kita. Akan tetapi, membaca Injil tidak sekedar menjadi pengetahuan informatif melainkan juga dan terutama sebagai pengetahuan performatif, yaitu cerita-cerita Injil itu menjadi imperatif bagi kita. Itu artinya, cerita-cerita tentang mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus menjadi imperatif bagi kita agar kita juga menjadi pelaku penyembuhan; cerita tentang pengusiran setan yang dilakukan Yesus menjadi imperatif bagi kita agar kita juga menentang secara mutlak kejahatan dalam segala bentuknya; cerita tentang gaya hidup Yesus yang merangkul semua orang menjadi imperatif bagi kita agar kita juga menjadi manusia yang bisa merangkul semua orang. Singkatnya, dengan menggunakan bahasa ilmu media: pembacaan Kitab Suci bukanlah transmission, yaitu sekadar memindahkan informasi, melainkan terutama suatu transformation, yaitu mendatangkan suatu perubahan hidup.
Ketiga, pesan paus ini secara tidak langsung mengingatkan kita kalau tidak mau dikatakan menyuruh kita untuk tidak boleh mengabaikan apa yang disebut cerita-cerita rakyat, entah itu cerita fabel, mitos, sejarah suku, cerita totem suku. Semua itu memiliki pesan buat hidup dan kehidupan manusia. Cerita fabel, misalnya, tampaknaya sederhana karena pelaku dalam cerita itu adalah binatang. Namun cerita fabel memiliki pesan-pesan ajaran moral tentang: baik dan jahat, jujur dan pembohong, sopan dan tidak sopan, pintar dan bodoh, persahabatan dan permusuhan, licik dan culas, sombong, angkuh, keras kepala dan suka menipu. Apakah semua itu dibiarkan mati di tengah pertarungan kehadiran cerita-cerita buatan zaman ini.
Akhirnya, keempat, sebenarnya, yang paling penting bukanlah bagaimana kita bererita atau menceritakan suatu cerita kepada yang lain, entah itu cerita biasa ataupun cerita Kitab Suci melainkan bagaimana kita menata hidup kita sendiri agar hidup kita menjadi sebuah cerita yang bernilai dan bermakna bagi orang lain. Cara hidup kita haruslah menjadi pewartaan bagi sesama. Marilah kita camkan pesan Paus Fransiskus: “Kalian – sebagaimana ditulis oleh Santo Paulus – adalah surat Kristus, yang ditulis leh pelayan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia” (2 Kor 3:3). Dengan kutipan ini paus berpesan kepada kita bahwa hidup kita adalah tempat kehadiran Allah dan orang tahu bahwa Allah hadir dalam diri kita dari perbuatan-perbuatan kita. Itu baru namanya Hidup Menjadi Cerita.
***
Dr. Phil. Norbertus Jegalus, MA,
Teolog dan Ahli Pendidikan.
Inspirasimu: Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54
***
17] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme. Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 95.
18] John Dominic Crossan, The Dark Interval: Towards A Theology of Story, Illinois: Argus Communications, 1975, hlm. 47.
19] Norbertus Jegalus, “Filsafat Budaya”(Materi Kuliah), Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira, Kupang, 2017, hlm. 135-136.
20] Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab dalam Gereja, Op. Cit, hlm. 57.
21] Petrus Alexander Didi Tarmedi, “Analisis Nartif: Sebuah Metode Hermeneutika Kristiani Kitab Suci”, dalam: Melintas, No29, Bandung: Tahun 2013, hm. 360.
22] Tom Jacobs, SJ, “Teologi yang Eklesial dan Kultural”, dalam: Budi Susanto, SJ, Teologi & Praksis Komunitas Posmodern, Op. Cit. hlm. 38: “Teologi ini berpangkal pada cerita-cerita Kitab Suci. Cerita-cerita itu dengan jelas memperlihatkan bahwa wahyu ilahi tidak hanya, bahkan tidak pertama-tama disampaikan melalui pernyataan-pernyataan serta ajaran otoritatif. Oleh karena itu tidak cukup mempelajari Kitab Suci dengan cara dan metode yang sama dengan ilmu positif, seperti yang dibuat oleh kritik historis”.
23] Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab dalam Gereja, Op. Cit. hlm. 60 : “Efektifitas subjektif eksistensial dari dampak Sabda Allah dalam narasinya, dan dalam dirinya sendiri, tidak dapat dianggap sebagai indikasi yang memadai bahwa kebenaran alkitabiah yang utuh sudah ditangkap secara memadai. Maka, bahaya subjektivisme dan kecenderungan menyeleweng dari ajaran doktriner harus diminimalisir dengan tetap mengacu pada penelitian historis. Komisi Kitab Suci Kepausan menegaskan bahwa pendekatan sinkronis yang dibawa oleh metode ini kepada teks-teks, perlu dilengkapi juga dengan penelitian-penelitian diakronis (kritik histris)”.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.