Beranda OPINI Hanya Uni Eropa, Bukan Imperium Suci Romawi

Hanya Uni Eropa, Bukan Imperium Suci Romawi

Pengantar

Tulisan ini sengaja kami sajikan bagi para pembaca sekalian, terutama karena besok Kamis (23/6/2016), rakyat Inggris akan melakukan referendum pada “brexit” atau “anti-brexit. Sebuah peristiwa politik yang, menurut pemberitaan media-media mainstream, akan berdampak luas terhadap perekonomian global. Berikut analisis Robert Royal, editor dan pemimpin pada “The Catholic Thing” serta Presiden “The Faith & Reason Institute di Washington DC

*****

SALAH satu entitas birokratis paling sekular dan di dunia – yang juga sedang berusaha untuk menyebarluaskan kegagalannya di masa lampau – kini sedang menghadapi ujian terberat dan mungkin saja kekalahan pada pekan ini. Kamis besok, rakyat Inggris akan berpartisipasi dalam sebuah referendum “Brexit” atau “Anti-Brexit”. Jika hasil referendum besok menunjukkan Inggris keluar dari Uni Eropa dikhawatirkan negara-negara EU lainnya akan mengikuti jejak Inggris.

Jika anda membaca berita dari surat kabar mainstream, anda akan membaca bagaimana jika Inggris keluar akan menyebabkan goncangnya ekonomi global atau tidak sama sekali. Selagi kita masih menjadi makhluk ekonomis, dan bahwa hasrat terdalam untuk keluar dari Eropa hanya sebuah kepanikan semu.

Yang benar adalah bahwa dorongan untuk keluar dari EU sama sekali tidak ada hubungannya dengan ekonomi tetapi lebih pada kedaulatan nasional. Hal ini tentu baik bahwa ekonomi Inggris agak tertinggal setelah keluar dari EU, dan bahwa pada gilirannya akan berdampak pada ekonomi global. Nyatanya, keberadaan EU jauh lebih kaya dan lebih luas dari aspek ekonomi semata.

Dan Katolik. Setelah Perang Dunia II para pemimpin dari Partai Kristen Demokratik berupaya mencari solusi terhadap masalah besar dan beberapa masalah kecil yang dihadapi EU. Penolakan terhadap EU sesungguhnya hanya terbatas pada keingginan untuk memulihkan kembali beberapa hal yang sejak lama telah diabaikan.

Problem utamanya adalah ketegangan antara Perancis dan Jerman, yang hampir menghancurkan Eropa degan dua perang dunia. Dua tokoh Katolik dari kedua negara: Robert Schuman dari Perancis (dinyatakan sebagai “Hamba Allah” oleh Paus emeritus Benediktus XVI) dan Konrad Adeneur dari Jerman bertemu secara pribadi  selama beberapa tahun. Keduanya membantu menciptakan berbagai lembaga internasional, termasuk NATO, dan kemudian EU.

Muncul pertanyaan besar: Apa yang menjadi dasar bagi terbentuknya Uni Eropa Baru? Jawabannya – lagi-lagi dari kalangan Kristen Demokrat terutama dari pengikut Thomas Aquinas, Jaques Maritain: Sebuah pandangan Kristiani tentang pribadi dan masyarakat yang manusiawi. Kelompok Kristen Demokrat di Jerman dan Italia berkepentingan menghalau penyebaran komunisme di Eropa Barat.

Teoritikus Katolik tradisional seperti Chesterton dan Ballec dulu pernah menggagas tentang model Kekristenan Modern dalam sebuah Eropa yang dipersatukan kembali. Idealnya, seperti gerakan yang dilakukan kalangan Kristen Demokratik sendiri, yang ada hanya mungkin dilakukan oleh sebagian masyarakat Eropa mengingat adanya perbedaan pandangan politik, agama dan ketidakpercayaan di kalangan warga Eropa sendiri. Tujuannya pun tidak lagi untuk membentuk sebuah imperium suci Romawi  melainkan sebuah benua luas yang mampu mewujudkan nilai-nilai Kristiani.

Tidak seperti para pendiri Amerika, para pendiri EU gagal berpikir tentang struktur benua.  Keluhan umum hari-hari ini adalah terjadinya defisit demokrasi dimana birkorasi semakin rumit, akuntabilitas berkurang, dan beroperasi tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan subsidiaritas dan nasional.

Di luar Eropa, EU, seperti organisasi internasional di PBB dan Departemen Luar Negeri AS (ketika pihak atau partai tertentu) menempati Gedung Putih muncul keyakinan untuk mendorong kebijakan tentang aborsi,  kontrol populasi dan hak-hak kaum gay terhadap setiap bangsa dimana ia telah memiliki pengaruh. Paus Fransiskus menyebut hal ini dengan tegas sebagai “kolonisasi ideologis”. Kita bisa menyebut hal itu sebagai pembunuhan demografis. Semua negara di Eropa sedang kehilangan demografinya.

Namun kontrol birokrasi ini belum berakhir, jika bukan karena krisis pengungsi yang terjadi saat ini.  Sama seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat, sejumlah besar pengungsi yang diangggap berpotensi membahayakan telah memicu reaksi dalam beragam cara. Bahkan Austria, yang masih kesal dengan Nazi, akhirnya memilih seorang Pemimpin dari sayap kanan. Jerman, yang dengan bodonya memilih menampung 1 juta pengungsi tahun lalu, dimana tiga-perempatnya merupakan orang-orang muda, kini berusaha membatasi imigran yang masuk melalui Perancis, Belgia, Skandinavia dan telah merasakan langsung serangan teroris, seperti juga yang terjadi di Inggris.

Sebagian warga Inggris akhrinya mengatakan: cukup! EU terlalu toleran; EU gagal mengatasi pengungsi juga bukan. Situasinya jauh lebih kompleks. Hal ini memberi peluang bagi setiap orang Kristen untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan, termasuk kewajiban untuk melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman potensial.

Para pemimpin Eropa memiliki kewajiban lainnya, sebagai bagian dari pengharapan lebih: bukan hanya melalui kuliah tentang keterbukaan dan multikulturalisme ketika kita tahun bahwa tidak ada kebudayaan yang dapat bertahan tanpa keterbukaan dan pengakuan terhadap perbedaan.

Belum ada yang tahu pasti hasil referendum pada Kamis besok,  apakah mayoritas mendukung “Brexit” atau “Anti Brexit”.  Apakah Inggris keluar dari EU atau tidak, satu hal yang pasti . Sama seperti di Amerika, beberapa perombakan mendasar sedang berlangsung.

========

Diterjemahkan dari thecatholicthing.org