Beranda OPINI Gereja Masa Depan yang Komunikatif, Relasional, dan Solider

Gereja Masa Depan yang Komunikatif, Relasional, dan Solider

pksn kwi 2019
pksn kwi 2019

Kehadiran Internet memberi pengaruh yang besar bagi manusia tidak terkecuali bagi Gereja juga. Gereja tidak menolak atau menentang internet. Juste\ru sebaliknya, Gereja menerima internet dan menggunakannya dengan benar dan bijak untuk kebaikan semua umat. Gereja mengetahui dan menyadari dengan baik bahwa kehadiran internet ini tidak hanya memiliki pengaruh baik tetapi juga pengaruh buruk. Oleh karena itu, Paus atas nama Gereja menyerukan pesannya bahwa kita adalah sesama anggota (Ef 4:25), kita memulai dari komunitas jejaring sosial menuju komunitas insani. Mengenai hal ini, pada tahun 2002 Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial mengeluarkan dekrit yang berjudul Etika Dalam Komunikasi. Pada bab II dari dekrit ini berjudul “Komunikasi Sosial yang Mengabdi Pribadi-pribadi Manusia.” Tanggapan seperti ini menandakan bahwa Gereja sama sekali tidak menolak internet. Akan tetapi di sisi lain Gereja memberikan ruang yang luas bagi anggotanya untuk berkomunikasi melalui media sosial dan internet. Pemberian ruang yang besar ini bagaikan bumerang yang dapat menyerang Gereja dan membahayakan masa depan Gereja. Bahaya itu adalah suatu keraguan apakah Gereja sungguh komunikatif, relasional, dan solider sehingga secara nyata menghadirkan Kerajaan Allah di dunia.

Gambaran Gereja Komunikatif, Relasional, dan Solider

Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan rujukan bagi Gereja untuk menjadi Gereja yang kumunikatif, relasional, dan solider. Dalam Perjanjian Lama, Allah berbicara kepada bangsa Israel melalui para nabi. Oleh karena itu para nabi memiliki peranaan yang sangat besar bagi bangsa Israel dalam menjalin relasi dengan Allah. Selain para nabi, bangsa Israel juga meyakini bahwa raja adalah representasi dari Allah. Para nabi dan raja Israel adalah media komunikasi antara Allah dan manusia. Nabi dan raja menghadirkan Allah di dunia menurut bangsa Israel. Sikap dan cara hidup raja dan nabi merupakan representasi dari sikap dan cara hidup Allah. Komunikasi dan relasi yang dibangun oleh raja dan nabi adalah komunikasi dan relasi dengan Allah dan pada saat yang sama membangun komunikasi dan relasi dengan bangsa Israel.

Perjanjian Lama mengisahkan tentang sejarah manusia yang diwakili oleh bangsa Israel juga sejarah Allah yang berpartisipasi dalam sejarah manusia. Dalam kisah tentang Abraham, Allah menjanjikan berkat dan keturunan yang berlimpah bagi Abraham. Dalam perjalanan sejarah manusia, Allah sungguh-sungguh menepati janjiNya dengan menjadikan keturunan Abraham sebagai bangsa yang besar dan terberkati. Janji ini merupakan hadia bagi Abraham karena ketaatannya. Akan tetapi dalam episode berikutnya sejarah tentang keturunan Abraham, dikisahkan bahwa mereka mulai berpaling dari Allah. Keturunan Abraham itu disebut bangsa Israel. Israel mulai menyembah dewa baal. Peristiwa manusia jatuh dalam dosa, air bah, dan babel menandakan bahwa Allah mulai menunjukkan sikap antipati terhadap bangsa Israel. Berlanjut dengan kisah lainnya seperti runtuhnya kerajaan Israel, pembuangan Babel, Allah mengirim ular di padang gurun, dan lain sebagainya.

Semua itu dilakukan Allah agar manusia sadar dan kembali kepada Allah. Akan tetapi dengan cara seperti itu tidak membuat bangsa Israel jera. Kemudian Allah mengutus para nabi untuk meyadarkan bangsa Israel dan agar bangsa Israel kembali kepada Allah. Nabi adalah utusan Allah sebagai perantara antaran Allah dengan bangsa Israel. Bangsa Israel berkomunikasi dengan Allah melalui nabi, dan sebaliknya Allah hadir dan bergulat bersama bangsa Israel melalui para nabi. Misalnya saja Allah mengirim Musa untuk membawa keluar bangsa Israel keluar dari perbudakkan di Mesir (Kel 3:11; 6:13; 16:6; 18:1), selain itu ada juga kisah nabi Yunus yang mempertobatkan orang-orang Niniwe (Yun 3:1-7; 4:11). Singkat kata, para utusan Allah (nabi, raja, imam) dalam Perjanjian Lama sungguh memasuki dan merasuki kehidupan bangsa Israel. Mereka menunjukkan wajah Allah yang komunikatif, relasional, dan solider sehingga bangsa Israel sungguh merasakan kehadiran Allah dalam hidup mereka setiap harinya.

Keempat Injil menampilkan wajah Kristus dengan cara yang berbeda. Keempat Injil inilah yang menggambarkan tentang kehidupan, perkataan-perkataan dan karya Kristus. Pemberitaan kabar gembira oleh Malaikat kepada Maria bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus seorang anak laki-laki dan akan menamainya Imanuel yang berarti Allah beserta kita (bdk. Mat 1:23). Pemberitaan ini menandakan bahwa Allah akan hadir di tengah-tengah manusia untuk menyertai manusia. Lukas mengutip Yesaya mengatakan “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4:18-19). Dalam konteks ini Allah mengkomunikasikan diri kepada manusia secara langsung. Allah tidak menyembunyika diri-Nya lagi. Allah dalam Perjanjian Baru adalah Allah sungguh dekat dengan manusia bahkan menjadi manusia. Allah yang komunikatif, relasional, dan solider adalah Allah yang selalu ada bersama manusia setiap hari.

Allah yang komunikatif, relasional, dan solider selanjutnya hadir dalam diri para rasul. Rasul Paulus adalah contohnya. Ia pergi dari kota ke kota memberitakan Injil. Bukan hanya memberitakan secara abstrak tetapi ia juga ikut mengalami dinamika jemaat pada waktu itu. Mereka benar-benar hadir dan ada untuk jemaat. Pada masa para rasul, umat Kristen dikejar-kejar. Para rasul juga dikejar-kejar. Mereka tidak takut mati. Dalam keadaan sepert itu mereka hadir dan menguatkan dan memotivasi jemaat yang mereka pimpin. Mereka tidak melarikan diri.

Kisah jemaat perdana merupakan gambaran ideal mengenai Gereja yang komunikatif, relasional, dan solider (Kis 2:42-47; 4:32-37). Kisah Para Rasul menggambarkan dengan sangat baik tentang cara kehidupan jemaat perdana. Mereka selalu berkumpul bersama untuk memecahkan roti, bertekun dalam pengajaran para rasul, segala kepunyaan pribadi adalah kepunyaan mereka bersama. semuan itu terwujud karena adanya komunikasi, relasi, dan sikap solidaritas yang selalu dikedepankan.

Internet Meninabobohkan Gereja

Kehadiran media komuniaksi yang berbasis internet memang memudahkan Gereja untuk berkomunikasi dan berelasi dengan anggota-anggotanya. Selain itu, juga memudahkan para pekerja pastoral untuk bekerja. Misalnya para pekerja pastoral hanya membuat group WA. Dengan group WA ini mereka dapat mengumpulkan umat dan berkomunikasi dengan umat secara intens dan efektif. Relasi pun tejalin dengan baik. semua informasi berkaitan dengan pastoral disampaikan melalui group WA. Tidak satu pun yang ketinggalan informasi. Renungan, refleksi, dan sharing disampaikan melalui group WA. Bukankah hal ini sungguh memudahkan para pekerja pastoral?

Nampaknya memang demikian. Akan tetapi ada bahaya besar yang menanti Gereja. Setiap institusi gereja (keuskupan, paroki) membuat website, akun youtube, instagram, facebook, dan akun media sosial lainnya. Akun media sosial ini digunakan untuk memudahkan kerja pastoral paroki dan keuskupan. Memang sekilas terlihat sangat menguntungkan. Konsep seperti itu sangat baik sekali. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh dan lebih kritis, konsep itu sangat membahayakan Gereja sekarang dan masa depan Gereja. Dengan mengakses media sosial, semua orang (anggota gereja) menerima semua informasi begitu saja, tanpa diuji validitasnya. Tidak semua iformasi dalam media sosial berisikan kebenaran. Ada akun palsu (fake account) yang dirancang sedemikian rupa menyerupai akun asli. Di samping itu anggota-anggota Gereja enggan untuk bertemu tatap muka, enggan untuk pergi ke gereja untuk merayakan ekaristi.

Cukup menyaksikan perayaan ekaristi di live streaming instagram atau facebook. Bukankah hal ini meninabobohkan Gereja. Gereja seakan menarik diri dari dunia nyata. Gereja menampilkan dirinya secara virtual. Ia (Gereja) tidak lagi mengetahui dengan persis keadaan anggotanya. Mengenai hal ini, ada suatu kisah bahwa, ada seorang janda miskin. Ia memiliki seorang laki-laki. Janda ini beragama katolik. Ketika ditanya apakah pergi ke gereja setiap hari Minggu, ia menjawab tidak. Jawaban dari janda ini sangat tepat. Imam boleh mengatakan “Tuhan sertamu.” Akan tetapi muncul pertanyaan apakah pernyataan “Tuhan sertamu” berlaku untuk janda miskin ini? Nampaknya, tidak. Bagaimana janda miskin ini menyakini bahwa Tuhan menyertainya, jika hidupnya selalu berada dalam penderitaan? Tuhan sertamu merupakan suatu seruan yang diserukan di padang gurun, jika Gereja terus menampilkan diri secara virtual. Apakah Gereja seperti ini yang dimaksudkan oleh tema Hari Komunikasi Sedunia tahun ini “kita adalah sesama anggota”?

Gereja Menghadirkan Kerajaan Allah di Dunia

Gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Kita sebagai orang Katolik dan anggota Gereja percaya bahwa Kristus hadir dalam dunia melalui Gereja-Nya. Tugas perutusan Gereja mewartakan kabar gembira kepada orang-orang miskin dan menderita (bdk. Luk 4:18). Evangelisasi berlangsung dalam ketaatan kepada amanat pertusan Kristus Yesus, “karena itu pergilah , jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kapadamu. Dan ketahuilah, bahwa Aku menyertai kamu sampai akhir zaman (Mat 28:19-20). (EG, 19). Pertusan Gereja adalah pergi ke luar, bukan tinggal dalam zona nyamannya. Apa lagi menampilkan diri secara virtual. Sabda Allah senantiasa menunjukkan pada kita bagaimana Allah menantang mereka yang percaya kepada-Nya “untuk beregerak keluar.” Setiap umat Kristiani dan setiap komunitas harus mencari dan menemukan jalan yang ditunjukkan Tuhan, tetapi kita semua diminta untuk mematuhi panggilan-Nya untuk keluar dari zonan nyaman kita untuk menjangkau seluruh “periferi” yang memerlukan terang Injil. (EG, 20).

Kondisi Gereja di zaman sekarang sedang berada dalam keadaan terjepit, kemiskinan, kelaparan, bahkan sakit. Apakah Gereja tetap hadir di dunia secara virtual? Kerajaan Allah tidak akan pernah terwujud jika Gereja hanya tinggal dalam zona nyamannya. Gerja harus masuk ke dalam dunia. Gereja tidak perlu takut. Oleh karena itu Gereja harus memiliki sikap kemuridan. Murid itu siap untuk mempertaruhkan seluruh hidup mereka, bahkan sampai menerima kemartiran, untuk memberikan kesaksian bagi Yesus Kristus, namun tujuannya bukan mencari musuh, melainkan berusaha agar sabda Allah diterima dan kemampuannya untuk pembebasan dan pembaruan dinyatakan. (EG, 24). Gereja harus di dunia secara nyata untuk mejawab kebutuhan semua anggotanya.

Keberadaan internet pada zaman sekarang memang sudah menjadi kebutuhan pokok bagi manuisa tidak terkecuali bagi Gereja. Pada pembukaan Konsilis Vatikan II Paus Yohanes XXIII mengatakan bahwa gereja harus membuka jendela dan pintu-pintunya agar angin segar masuk. Pernyataan ini mengandung bahwa Gereja harus mebaharui diri terus menerus sesuai dengan perkembangan zaman (ecclesia semper reformanda). Gereja yang mengikuti perkembangan zaman bukan berarti Gereja harus tenggelam dan larut dalam dunia internet.

Justru sebaliknya Gereja harus tetap mempertahankan jati dirinya sebagai sakramen universal. Gereja harus mewujudkan “opsi perutusan” yaitu dorongan perutusan yang mampu mengubah segala sesuatu sehingga kebiasaan-kebiasaan Gereja, cara-cara melakukan segala sesuatu, waktu dan agenda, bahasa dan struktur dapat disalurkan dengan tepat untuk evangelisasi dunia masa kini dari pada untuk pertahanan diri. (EG, 27)
Gereja mengikuti perkembangan zaman, tidak berarti ia (Gereja) ikut hanyut, larut, dan tenggelam dalam arus dunia internet. Gereja harus tetap menampilkan jati diri sebagai Gereja yang hadir secara nyata di dunia, face to face, bukan peer to peer atau menghadirkan diri secara virtual.

Paus Fransiskus dalam pesannya di Hari Komunikasi Sedunia mengatakan bahwa Allah itu bukan kesendirian, melainkan persekutuan. Ia adalah kasih dan karenanya komunikasi, lantaran kasih selalu berkomunikasi; bahkan kasih itu mengkomunikasikan dirinya untuk menjumpai yang lain. Gereja hanya mencari zona nyaman jika, larut, hanyut dan tenggelam dalam dunia internet. Gereja adalah perwujudan inkarnasi pada zaman sekarang, dan di masa mendatang. Oleh karena itu, Gereja harus menjadikan dirinya sebagai Gereja komunikatif, relasional dan solider. Dengan demikian tema Hari Komunikasi tahun ini “Kita adalah Sesama Anggota (Ef 4:5)” akan menjadi nyata dan terwujud. Dunia internet bukanlah yang utama. Internet hanya menjadi fasilitas pendukung evangelisasi.

Daftar Pustaka
Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium; Seruan Apostolik Paus Fransiskus 24 November 2013. Terj. FX. Adisusanto, SJ dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: Depaertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.
Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes. Hardawriyana, R. (terj). Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1991.
Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial. Etika Dalam Komunikasi. Ter. Mgr. J. Hadiwikarta. Jakarta: Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2007.
Sumber Internet:
Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-53 dalam https://www.mirifica.net/2019/02/15/pesan-paus-untuk-hari-komunikasi-sedunia-ke-53/ diakses 17 Maret 2019 pkl. 16.30 WIB.

Ilustrasi: Nicholas Pudjanegara

Penulis: Adrianus Aman

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019