MIRIFICA.NET – Di awal bulan Januari 2022, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya menyelenggarakan rapat kerja untuk mendiskusikan tentang visi dan rencana strategis Fakultas. Salah satu yang kami minta untuk menjadi pemberi masukan pada kami adalah pihak pusat pastoral Keuskupan Surabaya. Di sana, pihak pusat pastoral bercerita tentang proses penyelenggaraan musyawarah pastoral yang diselenggarakan selama beberapa tahun terakhir. Tujuan penyelenggaraan musyawarah pastoral itu adalah untuk menemukan berbagai data riil tentang pastoral yang selama ini dijalankan oleh Gereja Katolik di tengah umat dan masyarakat sejak sepuluh tahun terakhir. Dari data-data itu, dipetakan persoalan-persoalan dalam masyarakat, relasi antar persoalan, dan berbagai data yang relevan. Selanjutnya, dari data-data itu dicoba untuk ditentukan pemicu apa yang mungkin dilakukan sebagai strategi pastoral yang mampu memberi pengaruh dan perubahan lebih baik terhadap rangkaian data persoalan dalam umat dan masyarakat. Dari sanalah, tema dan kegiatan pastoral untuk sepuluh tahun ke depan akan dirumuskan.
Proses untuk melihat situasi riil dalam kehidupan umat agar bisa merumuskan arah pastoral baru didorong oleh keprihatinan bahwa para pastor bukanlah orang yang selama-lamanya selalu berada di paroki. Dalam banyak kasus, karena berbagai tujuan yang harus dilaksanakan oleh keuskupan, banyak pastor akan harus tinggal di satu atau dua tempat karya dalam waktu singkat. Oleh karena itu, pastor memang vital dalam kehidupan pastoral, pelaku lapangan dari karya pastoral tidak hanya berada di beban pastor namun juga berada di tangan para rasul awam: katekis, pembina OMK, Pembina remaja, dll. Maka, jika keuskupan ingin mendengar apa yang menjadi keprihatinan umat tentang pastoral Gereja, bukan hanya para pastor yang perlu diminta berbicara tapi juga para pengajar iman dalam berbagai bentuknya dan sekaligus umat katolik.
Perjalanan musyawarah pastoral (Mupas) Keuskupan Surabaya disiapkan dengan masa pra-mupas yang dilakukan selama dua tahun. Tujuannya adalah untuk melihat keadaan umat, mendengarkan aspirasi mereka, menangkap situasi zaman yang dihadapi dan merumuskan usulan kebijakan pastoral ke depan. Di sana dihimpun data tentang pastoral ideal, praktek-praktek baik dalam pastoral yang telah berjalan, hambatan menuju pastoral ideal, upaya yang telah dibuat dan kesulitan serta usulan bagi penyelenggaraan pastoral ideal. Salah satu hasil yang disepakati adalah intensifikasi peran lingkungan sebagai unit kecil Gereja setelah keluarga. Lingkungan akan dijadikan sebagai basis pastoral keuskupan. Berikut ini adalah contoh kecil data yang disampaikan dalam infografik oleh pusat pastoral:
Yang menarik, analisis data yang didiskusikan di proses Mupas ternyata melihat bahwa trigger utama perubahan umat dan masyarakat akhir-akhir ini terkait erat pada soal-soal yang tidak secara langsung berhubungan dengan hal-hal suci yang digeluti Gereja. Ada dua hal yang menjadi persoalan serius yang perlu diperhatikan. Hal pertama adalah ekonomi yang berkeadilan dan yang kedua adalah perkembangan teknologi.
Mengapa ekonomi yang berkeadilan? Salah satu hal yang selalu ada dalam setiap pemaparan dari para wakil tiap paroki adalah bahwa situasi hidup bersama umat beriman di tiap paroki dipengaruhi oleh situasi ekonomi mereka. Ini bukan soal bahwa jika ada uang maka kehidupan umat, termasuk kehidupan iman mereka menjadi terjamin. Yang menjadi persoalan utama adalah bahwa semakin hari, hidup bersama umat dengan masyarakat tempat ia tinggal sangat dipengaruhi oleh sistem dan kebijakan ekonomi yang dijalankan secara bersama-sama dalam suatu organisasi hidup bersama (negara misalnya). Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur yang masif dalam beberapa tahun terakhir bisa membawa perubahan signifikan pada situasi ekonomi masyarakat. Pembangunan jalan tol di Jawa, misalnya, di satu sisi membawa berkat yakni memudahkan distribusi barang dan orang ke berbagai daerah di Jawa. Namun di sisi lain, pembangunan itu mengubah situasi ekonomi masyarakat yang selama bertahun-tahun memperoleh keuntungan dari para sopir dan penumpang yang melintas di jalan-jalan arteri antar kota-antar propinsi. Pembangunan yang membawa perubahan situasi ekonomi ini rawan menghasilkan krisis iman yang perlu penanganan pastoral khas. Contoh lain nampak dalam bagaimana proses penanganan wabah covid 19 yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dalam upaya menangani krisis ekonomi yang muncul karena krisis kesehatan, peran berbagai instansi hidup bersama ternyata sangat signifikan dalam membantu negara mengupayakan pemulihan ekonomi, termasuk dalam hal ini peran Gereja. Persoalannya, apakah Gereja benar-benar bisa hadir bukan hanya bagi umat katolik saja tapi juga memperluas lingkup pastoral kepada “sesama umat Katolik dengan agama yang berbeda”? Sementara itu, informasi-informasi yang berisi kisah mismanagement terhadap dana pemulihan pandemi bisa betul-betul membuat umat dan masyarakat mempertanyakan kehadiran Tuhan dalam hidup bersama mereka di dunia ini. Di sinilah, ekonomi yang berkeadilan terus dirindukan untuk tetap dirawat dan diupayakan. Upaya ini kiranya juga sejalan dengan panggilan Gereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di dunia.
Mengapa teknologi? Sebagaimana muncul dalam refleksi umat, peran teknologi, khususnya teknologi komunikasi telah mengalami perubahan luar biasa dalam sepuluh tahun terakhir. Jika tiga puluh tahun yang lalu jarak fisik masih menjadi penghalang bagi pertemuan gagasan dan “hati”, pada hari-hari ini, kita melihat bahwa jarak fisik semakin bisa diatasi. Siapapun dan di manapun, dengan perangkat teknologi masih bisa bertemu dan membangun kedekatan satu sama lain. Di satu sisi, teknologi adalah pencapaian manusia yang membantu mengintensifkan berbagai hal baik yang selama bertahun-tahun dibangun oleh manusia. Namun, di sisi lain, teknologi adalah perangkat yang mengubah cara hidup dan mindset umat manusia. Melalui teknologi manusia bisa belajar apapun untuk mengembangkan hidupnya. Namun di sisi lain, manusia juga bisa diseduksi untuk menghancurkan kehidupan pribadi maupun orang lain. Melalui kenikmatan audio visual, seseorang bisa dengan mudah menyebarkan berbagai disinformasi dan informasi yang mengganggu tatanan hidup bersama. Karena teknologi, orang bisa mengembangkan hal-hal yang menjadi kesukaannya. Namun karena teknologi pula, ia bisa menjadi seorang yang sangat fanatik pada hal-hal yang disukainya sehingga mudah merendahkan orang lain. Dan, karena derasnya arus informasi yang diperoleh melalui teknologi, pikiran manusia seperti disihir untuk terus bekerja dan lupa untuk berhenti dan merefleksikan arah hidup dan tindakannya, termasuk merefleksikan relasinya dengan perangkat-perangkat teknologi. Melalui teknologi yang membantu pekerjaan manusia, siapapun bisa menjadi monster maupun malaikat. Persoalannya, di Indonesia yang kebanyakan masyarakatnya selalu mengalami lompatan literasi ini, bagaimana menjamin bahwa teknologi bisa digunakan untuk kebaikan bersama? Di sini, Gereja ditantang untuk tidak hanya menjadi pengguna pasif teknologi lalu larut dalam berbagai isu yang ditiupkan melaluinya, namun secara sadar mengupayakan agar teknologi memampukan Gereja mewujudkan panggilannya di dunia untuk memperluas kerajaan Allah. Refleksi tentang pentingnya teknologi sebagai trigger perubahan sosial masyarakat dan khususnya umat Katolik ini kiranya menemukan salah satu momentumnya dalam situasi pandemi yang memaksa setiap orang belajar menggunakan teknologi. Refleksi Gereja Katolik tentang penggunaan teknologi dan khususnya keterlibatannya dalam hidup umat melalui teknologi yang semakin hari semakin canggih terus dinantikan.
Terlepas dari hasil musyawarah pastoral yang spesifik terjadi dalam konteks keuskupan Surabaya, apa yang bisa dipelajari? Beberapa poin berikut refleksi kami tentang tema “mendengarkan” yang menunjukkan bahwa Gereja betul-betul perlu berpastoral berbasis pada sikap untuk mau duduk dan penuh perhatian untuk mendengarkan dunia:
- Bahwa manusia itu unik karena diciptakan secitra dengan Allah, “dipanggil dengan nama masing-masing” menjadikan refleksi setiap umat beriman sebagai anggota Gereja dan anggota masyarakat juga khas sesuai dengan keprihatinan masyarakat tempat ia tinggal. Keunikan ini harus dipahami tanpa prasangka. Ini adalah tantangan besar Gereja yang secara umum cenderung digerakkan oleh hirarkhi dan seringkali kenyamanan hirarkhisnya justru membuatnya merasa cukup dengan berbagai dokumen yang berbicara banyak tentang manusia dan kehidupannya.
- Tahun-tahun terakhir ini, kita mengalami bagaimana dunia berkembangan dengan kecepatan luar biasa. Sekejap saja kita tidak mengikuti perkembangan zaman, kita bisa segera menjadi ketinggalan zaman. Dalam iklim hidup bersama yang penuh perubahan ini, kepekaan untuk mendengar apa yang terjadi secara konkret dalam hidup umat beriman akan membantu kita memahami persoalan umat dan dengan demikian memampukan kita memetakan pastoral agar pastoral kita bisa up to date. Ini bukan hal mudah bagi Gereja yang sering didominasi oleh peran hirarkhi yang seringkali hidup dalam situasi nyaman sebagai tokoh umat. Di sini diperlukan sikap terbuka dan kerendahan hati untuk “ajur ajer” bersama dengan umat. Dan, ini menyisakan dua persoalan sekurangnya, yaitu pertama, soal bagaimana mendidik para imam yang mau hadir di tengah umat untuk pertama-tama belajar dan bukan menggurui umat. Kedua, soal bagaimana Gereja yang dimotori hirarkhi ini semakin mampu mendorong umat berpartisipasi aktif dalam mengkritisi dan memastikan bahwa hidup bersama kita akan mengarah pada kebaikan bersama dengan menggunakan berbagai fasilitas yang terus berkembang.
- Dalam konteks Indonesia, semakin jelas nampak bahwa hidup beragama bukanlah urusan umat beragama tertentu saja namun urusan masyarakat, tempat umat beriman menjalani hidup imannya. Demikian pula, hirarkhi Gereja bukanlah pemuka umat Katolik saja tapi juga pemuka agama yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, tantangan pemimpin Gereja bukan saja untuk menghasilkan tatanan hidup bersama yang baik bagi umat Katolik saja tapi juga untuk umat beriman secara keseluruhan, yaitu masyarakat Indonesia. Di sini, upaya untuk beriman secara kontekstual harus dilakukan mulai dari upaya mendengarkan dan memahami situasi masyarakat secara keseluruhan dalam aspek-aspek yang seluas mungkin dan dinamika yang seterbuka mungkin. Justru dari sikap ini, diharapkan Gereja menjadi kebun yang subur bagiberbagai tanaman yang menghasilkan buah yang segar bagi pemeliharaan kehidupan bersama. Ini adalah tantangan yang tidak mudah, butuh waktu, kesabaran dan keuletan. Sebagaimana Allah setia, demikian pula kita diajak untuk setia seperti Dia.
Penulis: Kristoforus Sri RKN dan Untara Simon, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.