Gereja Keuskupan Ruteng menggelar aksi damai tolak tambang di Manggarai Raya pada hari Senin (13/10). Aksi damai serentak dilakukan di tiga ibukota kabupaten di Manggarai Raya: Ruteng, Labuan Bajo, dan Borong. Aksi damai tolak tambang ini diikuti oleh para pastor, biarawan/biarawati, Suster, Bruder, umat Katolik, paroki-paroki, lembaga pendidikan tinggi: STKIP dan STIPAS, lembaga pendidikan menengah Katolik, PMKRI, GMNI, dan semua elemen pejuang keutuhan ciptaan tanah Nucalale Manggarai Raya.
Gereja Katolik Keuskupan Ruteng dengan jelas menunjukkan opsinya untuk menolak tambang. Opsi ini merupakan amanat dalam Sinode II tahun 2007 dan Sinode III Keuskupan Ruteng sesi I (Januari 2014) dan Sesi III (September 2014) sekaligus suara kritis profetis Gereja terhadap menjamurnya usaha pertambangan di Manggarai Raya. Gereja Katolik Keuskupan Ruteng menilai pertambangan mineral (mangan, emas, pasir besi) mengakibatkan kerusakan ekologis yang mengerikan dan membahayakan kesehatan masyarakat lingkar tambang. Pertambangan juga mengakibatkan proses pemiskinan dan pemelaratan yang sistematis dan massif bagi masyarakat. Pertambangan memicu konflik sosial yang memecahbelahkan masyarakat dan mengobrak-abrik tatanan kebudayaan Manggarai. Pertambangan memanipulasi hukum adat maupun hukum negara untuk mencaplok hak hakiki masyarakat atas tanah. Pertambangan mengakibatkan kolaborasi aparat pemerintah, aparat keamanan baik Polri maupun TNI dengan pengusaha tambang untuk mengintimidasi dan menindas warga.
Atas dasar persoalan-persoalan hakiki ini, Gereja Keuskupan Ruteng mulai bergerak untuk mempertahankan keutuhan ciptaan di Tanah Nucalale, Manggarai Raya. Aksi ini diatur supaya berjalan aman, lancar, damai, dan tetap bernuansa religius. Dengan itu, aksi ini dimulai dengan ibadat ekologis dan sepanjang rute perjalan mendaraskan doa rosario, koronka, dan nyanyian-nyanyian rohani. Mgr. Hubertus Leteng, dalam ibadat ekologis, menekankan kewajiban manusia untuk menjaga dan merawat keutuhan ciptaan. Tambang justru mempersempit ruang gerak, hidup, dan ruang kerja manusia khususnya umat di Keuskupan Ruteng. Beliau menggarisbawahi tiga hal dalam pesannya.. Pertama, jati diri manusia itu luhur. Manusia itu citra Allah. Citra Allah ini akan dirampas dari manusia, jika lingkungan rusak oleh usaha pertambangan. Kedua, menjaga lingkungan atau tanah adat sama dengan merawat anak cucu kita. Ketiga, mayoritas masyarakat Manggarai adalah petani. “Langsung atau tidak langsung, orang Manggarai mengusir anak cucunya dari tanah Congka Sae ketika kita memberikan tanah kepada para investor tambang. Selain itu, kalau tanah beribu-ribu hektar diberikan untuk aktivitas pertambangan, ke mana petani di Manggarai Raya ini akan pergi dan bekerja? Biar dengan mukjizat sekalipun, tanah-tanah itu tidak mungkin normal kembali”, ujar Mgr Hubert di penghujung pesannya.
Dalam aksi damai ini, peserta aksi damai langsung ber-long march menuju Kantor DPRD dan Kantor Bupati. Di depan wakil rakyat, para peserta aksi damai menuntut DPRD untuk menggunakan segala otoritas yang ada pada dewan dalam menekan Pemerintah Kabupaten untuk mencabut semua izin usaha pertambangan dan tidak memberikan izin usaha pertambangan baru. DPRD juga mesti mendesak Bupati agar segera memerintahkan perusahaan tambang melakukan reklamasi wilayah pertambangan yang rusak. Lebih jauh, peserta aksi menuntuk lembaga DPRD menggunakan hak inisiatif dalam merancang Perda yang menjaga keutuhan lingkungan hidup. DPRD setiap kabupaten umumnya menerima tuntutan peserta aksi. Bahkan, DPRD Kabupaten Manggarai menandatangani pernyataan resmi yang berisi tuntutan ini.
Aksi ini dilanjutkan ke depan Kantor Bupati. Peserta aksi menuntut empat hal. Pertama, mencabut segala izin tambang mineral yang ada. Kedua, pencabutan semua izin pertambangan mesti dilakukan secepatnya. Ketiga, bila tuntutan ini tidak ditindaklanjuti, maka kami akan melakukan gerakan yang lebih masif dan berkelanjutan sampai tuntutan di atas terpenuhi. Keempat, mengusahakan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di wilayah lingkar tambang dan merehabilitasi hak-hak dasar korban.
Para peserta aksi damai juga meminta Bapak Bupati untuk menandantangani surat pernyataan tertulis untuk membuktikan komitmen mereka. Sayangnya, tuntutan ini tidak diakomodir Bupati Manggarai dan Wakil Bupati Manggarai Timur. Aksi ini dikoordinir oleh Ketua JPIC Keuskupan (Rm. Marthen Jenarut), JPIC OFM (P. Alsis Goa, OFM), dan JPIC SVD (P. Simon Suban Tukan, SVD). Koordinator Aksi Damai Tolak Tambang Kabupaten Manggarai, Rm. Marthen Jenarut, dalam aksi ini, mengungkapkan komitmen Gereja Keuskupan Ruteng dalam melakukan aksi damai ini. Menurutnya, ada tiga hal yang mesti digarisbawahi dalam aksi ini. Pertama, ini adalah bagian dari suara kritis profetis Gereja dalam membela keutuhan ciptaan dan mengkritisi kebijakan publik yang tidak memihak pada rakyat.
Kedua, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 mengisyaratkan kewenangan Bupati untuk memberikan izin usaha pertambangan atau tidak. Peraturan ini juga diperkuat oleh kewenangan daerah yang diatur dalam otonomi daerah. Dengan ini, sebenarnya bupati bisa memiliki political will yang pro-rakyat. Ketiga, Gereja akan terus berjuang untuk membela kemanusiaan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat lingkar tambang.
Dari pantauan, aksi damai di Ruteng dikoordinir oleh Rm. Marthen Jenarut, dengan peserta aksi berjumlah 3000-an orang. Sementara, di Manggarai Timur, P. Simon Suban Tukan mengkoordinir 1.500-an peserta aksi. Tampak pula, Vikep Borong, Rm. Simon Nama membantu mengkoordinasi peserta aksi. Di Labuan Bajo, aksi damai ini dikoordinir oleh P. Alsis Goa, OFM dengan peserta aksi berjumlah 750-an orang. Selruruh paroki di setiap kabupetan mengirim utusan untuk mengikuti aksi damai ini. Aksi damai ini berjalan dengan tertib dan teratur (AJ/KR).
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019