Beranda KOMSOS KWI PEKAN KOMSOS Generasi Digital yang Cerdas dan Humanis

Generasi Digital yang Cerdas dan Humanis

0
Generasi Digital yang Cerdas dan Humanis

Generasi Digital yang Cerdas dan Humanis

 

Pengantar

Siapa sih yang zaman ini tidak memiliki gadget dan menggunakan whatsapp, twitter, instagram apalagi facebook? Sudahkah Anda mengakses internet hari ini? Entah untuk medsos atau mencari hiburan? Orang pada zaman ini hidup dalam dunia digital. Merekalah generasi digital! Kemudahan mendapatkan informasi begitu terasa hanya dengan satu klik atau satu sentuhan saja pada layar gadget. Mudah bukan?

Dunia digital adalah dunia yang semakin maju dengan teknologi komunikasinya. Baik gadget maupun internet, semua yang tidak mungkin menjadi mungkin. Lewat gadget, chatting bisa menjadi gaya hidup dan dengan internet keakraban yang alami dan real diganti dengan keeratan yang virtual dan semu (Idi Subandy,2007,36). Pendeknya, zaman ini telah terjadi revolusi digital.

Revolusi yang dimaksud adalah perubahan yang mendasar dalam dunia digital. Di mana relasi tidak ada batasnya, tidak lagi bertemu tatap muka tetapi bisa terjadi dalam dunia maya. Dalam ruang digital tidak ada urutan zaman, status sosial, hierarki nilai bahkan yang privat menjadi publik, yang publik menjadi privat (F. Budi Hardiman, Homo Digitalis, Kompas, 1 Maret 2018). Medsos dan aneka berita: bisnis, ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, semua ada dalam genggaman manusia zaman ini. Pertanyaannya, apakah semuanya itu sudah dimanfaatkan dengan baik dan benar? Artinya dengan sepantasnya, hanya demi kebaikan serta dengan cara yang manusiawi: menjunjung martabat manusia?

Pandemi Hoaks

Teknologi digital memang berwajah ganda (Iswarahadi,121,2017). Artinya di satu sisi tampak kebaikan tetapi di sisi lain tampak ada keburukan (baca: Kejahatan). F. Budi Hardiman mengatakan bahwa di kala modernitas dunia digital ini, yang terjadi adalah pandemi hoaks dengan pelintiran kebencian yang memicu konflik horizontal. Secara sederhana berita palsu atau hoaks, terkait dengan informasi palsu tanpa berdasarkan data atau memutarbalikkan data dengan tujuan menipu dan mencurangi baik pembaca maupun pemirsa (Pesan Bapa Suci Fransiskus untuk hari komunikasi sedunia, 24 Januari 2018, Kebenaran itu akan memerdekakkan kamu (Yoh 8:32), Berita Palsu dan jurnalisme perdamaian). Hoaks adalah salah satu efek wajah buruk atas kemajuan dunia digital ini.

In se, hoaks menyalahi dirinya sendiri. Mengapa demikian? Arti kata ‘kabar’ mestinya memberikan kegembiraan bagi yang menerimanya. Bukannya memberi beban dan justru menjatuhkan tidak hanya yang menerima bahkan orang lain, yang lebih luas jangkauannya dan tidak ada tali temalinya. Maka, hoaks tidak bisa dibenarkan. Kebenaran tidak ada padanya, malahan hanya ujaran kebencian. Betapa mengerikan yang dilaporkan oleh Kompas, 24 Agustus 2017 (hlm 1 dan 15) lalu bahwa produsen hoaks dan bernuansa kebencian (saracen) sudah terungkap. Mereka mempunyai 800.000 akun yang beroperasi dengan menerima pembayaran mahal dari pemesan.

Hoaks adalah kepalsuan. Kebenaran dipelintirkan atau diputarbalikkan demi egoisme diri. Tidak atau jangan lagi diam dengan pandemi nan berbahaya ini. Mau tidak mau hoaks harus dihadapi dengan pola pikir yang cerdas sekaligus humanis. Manusia jangan sampai dikalahkan dengan egoisme dirinya. Manusia adalah makhluk yang cerdas. Ia memiliki akal budi yang luar biasa. Hanya manusialah yang mampu berpikir dan merencanakan yang terbaik bagi kehidupannya. Mereka pula yang bisa manusiawi, artinya yang mampu menjunjung martabat manusia. Hoaks mencoba merongrong martabat manusia. Sudah saatnya, generasi digital menjadi generasi cerdas dan humanis.

Generasi Cerdas Humanis

Generasi cerdas humanis adalah manusia yang tak bersekat, yang sanggup melintasi batas dengan kreatif dan berbuah serta hanya dengan melintasi batas, ia sanggup mengembangkan diri (Bagus Laksana, 2013, 70). Mereka punya visi sebagai homo sapiens yang bijak. Tidak hanya kritis tetapi juga berkreasi. Tidak hanya menjadi penikmat dan pengonsumsi belaka tetapi sebagai agen perubahan. Alhasil, bak smart missile, mereka tidak hanya trampil dalam praktis saja tetapi memiliki keutamaan hidup yang siap dibagikan.

Revolusi dunia digital pun memerlukan revolusi kesadaran tanpa kekerasan tetapi penuh kegembiraan oleh siapapun yang terlibat di dalamnya. Bukanlah sesuatu yang mustahil bukan? Dunia digital yang digunakan untuk menernakkan egoisme diri itu justru akan kalah dengan orang yang tetap berkeutamaan dan humanis. Martabat manusia toh harus dijunjung tinggi. Perdamaian dan kebahagian tetap menjadi orientasi pokok yang terus diupayakan bahkan mesti menjadi dasar dunia digital saat ini.

Tugas generasi cerdas humanis adalah menjadi ‘jurnalis perdamaian’. Mereka mesti hidup dalam kemantapan dan kekuatan hati untuk terus menawarkan kebaikan dan kegembiraan bagi dunia. Bukankah alasan manusia menciptakan teknologi digital selain mempermudah hidup juga menelurkan semakin banyak kebaikan bagi yang lain? Dengannya, kepalsuan akan kikis. Hoaks lambat laun akan pudar dan tak berbunyi lagi. Di sisi lain, Generasi cerdas humanis akan membantu pelaksaaan tugas media komunikasi yaitu memperkuat perdamaian, mendorong realisasi HAM, menentang perang, mengatasi ketakutan, meningkatkan persahabatan, meniadakan kecurigaan dan menghargai nilai-nilai kehidupan (Idi Subandy,2006, 42).

Generasi yang cerdas tidak akan mudah meyakini segala sesuatunya secara mentah. Selalu ada keraguan dalam menerima informasi, terlebih yang tersebar dalam alat digital. Verifikasi atau pembuktian kebenaran selalu menjadi dahaga yang harus dipenuhi. Tidak hanya berhenti di situ saja, generasi ini, pasti akan melihat juga, apakah dalam informasi itu martabat manusia dijunjung dan dimuliakan atau tidak. Bila tidak, acuhkan dan jangan sebarkan! Justru mereka akan menyebarkan yang menjadi kebenaran bukan sebaliknya. Sikap tidak takut menggunakan media seperti ini pun diapresiasi oleh Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sosial se dunia ke-51 tahun 2017 yakni jangan takut: komunikasikan Harapan dan iman.

Generasi cerdas humanis adalah real ada saat ini. Mereka sudah hidup di zaman ini dan sungguh melek media komunikasi (Tapscott). Kehadiran mereka mengikis kritik Albert Borgmann, ahli filsafat teknologi di Universitas Montana (AS). Dikatakannya bahwa teknologi justru memiskinkan manusia dari kemanusiaanya. Menurut Borgmann, manusia memiliki kecenderungan memilih yang hiper (hiperreal things) daripada hal –hal yang sesungguhnya (real things). Padahal manusia tidak mungkin lepas dari realitas sesungguhnya (Kompas, 7 April 2018,25). Kemanusiaan dihidupkan kembali dengan kreativitas dan kemampuan praktis generasi cerdas humanis ini. Alhasil teknologi digital justru mengangkat kemanusiaan.

Mereka hidup dengan kemantapan hati dan kejujuran untuk menyebarkan kebenaran dan kebaikan bagi yang lain. Ciri yang kentara adalah mereka hidup dalam logika upgrading dan updating. Apakah Anda mengenal Ria Ricis? Seorang muda yang energik, menjadi youtuber terkenal sekaligus hijabers selebgram di Indonesia saat ini. Ia menerima penghargaan sosial media awards 2016 dan menjadi selebgram favorit-Indonesia Kids’choice awards 2017 (https://www.viva.co.id/siapa/read/701- ria-ricis. di akses 5 April 2018).

Ria menjadi bagian dari generasi cerdas humanis, orang muda zaman digital ini. Dalam setiap video youtube, vlog dan instagramnya selalu didengungkan semboyan yang dimilikinya yakni ‘dengan berpikir dan bertindak positif, insya Allah hasilnya positif’. Ia menjadi teladan generasi cerdas humanis. Mengapa demikian? Ia cerdas karena mampu melihat celah dimana konsumen itu membutuhkan penghiburan sekaligus hal-hal yang bermanfaat. Hal-hal positif yang dilakukannya adalah bahasa lain dari kebenaran yang disebarkannya bagi yang lain. Karena menguasai media yakni youtube dan instagram, dengan mudah pula ia menyelipkan nilai-nilai kehidupan bagi anak muda yang lainnya, seperti nilai religius, semangat menghadapi hidup, persahabatan dan Anda bisa menemukannya bila melihat video-video dan vlog yang diunggah di channel Youtubenya.

Ria Ricis adalah salah satu bintang media alias ‘hero ‘ di zaman digital ini. Ia mengajarkan persahabatan dan perdamaian dengan hal-hal sederhana dan sehari-hari. Ia tidak mabuk teknologi dan larut dalam kemerosotan seperti yang dikhawatirkan oleh para moralis, teoritis dan analis. Seperti yang dikatakan oleh Pulitzer, seorang pemilik Snorth American Review yang juga bapak pers Amerika, generasi digital mesti menjadi ‘para jurnalis’ yang mewartakan nilai-nilai dan moral. Sekali lagi, Ricis telah memulainya. Anda sebagai generasi digital pun diundang untuk mewujudkan perdamaian di tengah banjirnya berita palsu ini. Maukah Anda menjadi bagian dari Generasi digital yang cerdas dan humanis?

 

Penulis: Kartono, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta