Beranda ESSAY Gembala di Masa Pandemi, Siap dan Setia Melayani

Gembala di Masa Pandemi, Siap dan Setia Melayani

Gembala, Pandemi, dirumah aja, Essay, Gerakan Solidaritas, gereja Katolik Indonesia, hasil bumi, Indonesia, Jaga jarak, katekese, katolik, Keuskupan Denpasar, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, STFT Widya Sasana Katolik, Lawan Covid-19, pewartaan, Saling Peduli, stay at home
Ilustrasi

MIRIFICA.NET – Tidak dipungkiri lagi pandemi Covid 19 sudah berdampak besar pada semua aspek kehidupan. Memasuki bulan ketujuh masa pandemi di Indonesia, sebagian besar masyarakat sudah terkuras energinya dan mulai lelah. Semangat hidup naik turun dibayangi berbagai kekawatiran. Tidak ada kenyamanan dan ketenangan ketika harus beraktivitas ke luar rumah. Bahkan tetap di rumah pun tidak memberi jaminan rasa aman bebas dari virus. Kondisi terombang ambing dalam ketidakpastian ditambah gempuran berita dari berbagai media makin membuat cemas dan was-was atas kesehatan dan keselamatan diri.

Di saat seperti ini, sebagian orang kehilangan pegangan dan merasa sendiri. Sebagian lagi kehilangan keyakinan diri dan meragukan kemampuan dirinya. Apakah mereka mampu melewati masa pandemi dengan selamat dan mampu bertahan hingga badai pandemi berlalu ?.

 Tantangan gembala di masa krisis

Kehadiran seseorang yang bisa menjadi panutan sangat dirindukan dalam masa krisis ini. Dalam organisasi formal, kehadiran dan arahan seorang pimpinan memberi arti signifikan untuk menentukan langkah dan tujuan organisasi. Dalam organisasi Gereja, peran seorang gembala sangat diperlukan dalam menentukan dinamika dan arah Gereja. Dalam lingkup paroki, umat bergantung pada pastor paroki. Dalam lingkup keuskupan umat memandang uskup. Dinamika kehidupan menggereja digerakkan oleh pimpinannya. Dalam Gereja Katolik dengan sistem sentralistik, dimana arahan terpusat, maka peran seorang pemimpin sangat besar.

Menjadi pemimpin atau gembala di masa krisis dengan kendala utama bersosialisasi secara fisik menjadi tantangan yang tidak mudah. Bagaimana membangun kedekatan dan menyapa umat dengan akrab? Kedekatan tercipta ketika umat merasakan ‘kehadiran’ gembalanya pada situasi ini.

Tidak mudah mengubah kebiasaan berkomunikasi secara tiba-tiba. Budaya guyub yang sudah turun temurun dan berkumpul dalam komunitas tiba-tiba harus dihentikan. Bagi sebagian orang komunikasi tatap muka secara fisik tidak serta merta bisa digantikan dengan komunikasi virtual. Mereka membutuhkan waktu adaptasi tidak singkat. Hal ini dijumpai pada kelompok usia senior atau yang terkendala jaringan komunikasi.

Ketika tidak ada kesempatan bertatap muka secara fisik dan bertegur sapa secara langsung antara umat dan gembalanya, maka komunikasi virtual adalah keniscayaan, kenyataan yang harus dihadapi dan perubahan yang harus dilakukan.

Untuk perayaan ekaristi saat ini umat memiliki banyak pilihan misa live streaming sesuai waktu yang paling nyaman. Tidak ada kendala jarak dan lokasi gereja. Umat bisa berkelana untuk mengikuti misa online yang diadakan oleh gereja dari Sabang hingga Merauke. Beberapa misa online dari paroki tertentu menjadi favorit dengan banyaknya viewer atau like yang melakukan live streaming saat misa berlangsung. Keterikatan dengan Gereja di lokasi tinggalnya (paroki setempat) makin luntur. Ini merupakan tantangan baru bagi paroki setempat.

 Menjaga keterikatan

Bagaimana menjaga keterikatan dan keterlibatan umat dengan parokinya?. Bagaimana menjaga umat tetap dekat dengan gembalanya ketika tidak ada tatap muka dan kegiatan pastoral banyak berkurang?

Saat ini dirasakan komunikasi hanya terjadi ketika ada kebutuhan khusus seperti saat ada kematian, perminyakan orang sakit, atau perkawinan. Untuk kondisi lain yang tidak bersifat mendesak dan darurat sementara ini dikesampingkan. Padahal di masa pandemi ini cukup banyak umat yang terdampak atau terpapar Covid, atau tertimpa masalah lain yang berdampak pada keseimbangan emosi dan ketenangan hati. Umat butuh pendampingan di masa sulit dan kelam.

Karena keterbatasan interaksi sosial, kegalauan dan kesedihan harus ditanggung sendiri atau hanya dalam lingkup keluarga inti. Kebutuhan konseling atau sekadar berbagi cerita dari umat yang sedang gundah atau kesepian perlu diakomodasi gereja. Selain membimbing jiwa-jiwa yang sedang galau, juga menjaga kedekatan dan keterikatan agar tidak pindah ke lain hati atau frustasi yang berdampak negatif.

Kreativitas gembala dituntut untuk siap hadir menemani umat terlebih saat dibutuhkan. Sarana komunikasi secara virtual sudah semakin banyak pilihan dan makin mumpuni dengan berbagai fitur dan tidak berbayar, seperti Zoom, Google Meet, Whatapp video call dan lainnya. Unduh aplikasi dan cara penggunaannya pun sangat mudah. Kunjungan pastoral ke lingkungan -lingkungan dapat dilakukan dengan jumpa via Zoom, untuk menyapa dan ngobrol bersama dengan topik ringan atau diskusi kitab suci / katekese yang relevan.

Gereja juga bisa menyediakan sarana diskusi atau sarana interaksi pribadi bagi umat yang membutuhkan konsultasi. Seperti konsultasi kesehatan saat ini tidak memerlukan tatap muka langsung dan dokter bisa melakukan diagnosa hingga membuat resep walaupun tidak melakukan pemeriksaan fisik. Umat bisa membuat janji konsultasi dengan pastor paroki setempat (diutamakan) atau ia bisa mencari pastor dari paroki lain sesuai kenyamanan. Website paroki makin berdaya guna sebagai sarana komunikasi dua arah.

Semua ini bertujuan agar hubungan gembala dan umatnya tetap lekat dalam suka dan duka. Agar tidak terjadi umat tidak mengenal pastor setempat, karena tidak merasa membutuhkan dan tidak mendapat perhatian. Dan kondisi lebih mengenaskan lagi jika umat makin tidak peduli dengan kehidupan rohaninya, melarikan diri, atau berpindah keyakinan.

Saat ini juga menjadi momen tepat untuk menceritakan pada semua kalangan, soliditas Gereja Katolik, kesetiaan gembala dalam melayani umatnya, komunikasi yang tetap terjalin dengan berbagai cara kreatif dan pelayanan yang saling mendukung. Seperti dalam 1 Petrus 4:10 “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah”.

Selalu ada peluang di balik setiap krisis. Demikian juga setelah pandemi berlalu ada banyak jiwa yang kembali dan bersemi dengan membawa bibit dan buah-buah baru. ***

Penulis: Winda Susanto