MIRIFICA.NET – Memasuki hari ketiga (Selasa, 8/3), Pernas Komisi HAK yang berlangsung di Bali, 6 – 9 Maret 2022, para fungsionaris Komisi HAK yang datang dari seluruh Indonesia itu mendapat pembekalan “Analisis Gunung Es” untuk mendalami sebuah masalah, khususnya terkait dengan persoalan toleransi beragama.
Dr. H. Sholehuddin, S.Ag, M.Pd.I, Tenaga Widyaswara (Trainer) Diklat Surabaya dan Instruktur Nasional Moderasi Beragama, kembali tampil sebagai narasumber untuk memberikan pembekalan tentang analisis (teori) gunung es, ini. Sehari sebelumnya, Gus Sholeh, demikian akrab disapa, juga tampil dengan materi “Membongkar Asumsi, Membangun Prespektif.”
Mengawali pemaparannya, Gus Sholeh menegaskan bahwa agama seringkali menjadi sumber konflik ketika yang dilihat adalah soal perbedaannya, padahal banyak persamaan yang ada. Hal ini akibat dari orang hanya melihat yang tampak di permukaan atau melihat sisi luar (kulitnya), tidak pernah melihat kedalamannya, seperti dilihat pada fenomena gunung es.
Di sisi lain, katanya, ketika terjadi suatu persoalan, orang hanya melihat kejadiannya (apa yang terjadi), namun tidak mendalami dengan bertanya ‘mengapa’ kejadian itu muncul. Dalam konteks ini, analisis ‘gunung es’ penting dipakai sebagai pisau analisis.
“Analisis gunung es ini tujuannya untuk mendalami masalah. Dengan melewati tahap-tahap analisis ‘gunung es’ kita bisa memahami mengapa masalah itu terjadi sampai terwujudnya perubahan yang kita harapkan atau terjadinya kondisi ideal,” kata Gus Sholeh.
Adapun tahapan analisis ‘gunung es’ adalah mulai dari melihat ‘kejadian.’ Kejadiannya apa, atau apa yang terjadi? Untuk memudahkan pemahaman peserta, Gus Sholeh coba mengangkat sebuah kejadian sebagai contoh yaitu “Ada kelompok masyarakat yang beragama secara ekstrim dalam berbagai bentuk dan respon Kemenag belum optimal.”
Dengan tahu kejadiannya, lalu tahap kedua adalah melihat ‘pola atau trend yang berkembang.’ Dengan contoh ‘adanya kelompok masyarakat ekstrim tadi’ dianalisa pola atau trend yang berkembang, misalnya bagaimana trend spiritualitasnya, trend beragama secara instan, penceramah populer, trend teknologi informasi, trend mayoritarianisme, atau trend munculnya kelompok yang mempromosikan praktek beragama yang ekstrim atau tidak moderat.
Tahap ketiga adalah melihat ‘struktur penyebab.’ Ini bisa berupa budaya, hukum atau aturan-aturan (regulasi) pemerintah yang belum responsif, bisa juga tatanan sosial, pendidikan agama yang kurang memperkuat keberagamaan yang moderat, kelompok agama yang tidak moderat, bisa juga Pemda yang mengikuti tekanan kelompok mayoritas, atau media sosial yang memberikan ruang untuk pesan ekstrim.
Ketika trend itu menguat maka kemudian dapat membentuk ‘mental model’ berupa paradigma atau prespekstif yang membentuk dirinya sebagai akibat dari struktur penyebab tadi. Biasanya, mental yang sudah terbentuk sedemikian itu sulit hilang, terutama paradigma ataupun prespektif.
Untuk mengubah mental model atau paradigma (pola pikir) dan prespektif yang sudah terbentuk itu, maka dibutuhkan tahap berikutnya yaitu ‘sumber untuk netralisir’. Sumber ini bisa dari sumber hukum (ditegakan), pencerahan melalui ayat-ayat Kitab Suci yang relevan, nasehat tokoh agama/rohani, dokumen-dokumen agama yang relevan, dan sebagainya. “Ini penting untuk mengubah pola pikir atau melawan mental model tadi,” katanya.
Setelah tahapan tersebut, tahapan berikutnya adalah melakukan ‘redesigning’, atau mendesign ulang, misalnya memperbaiki kebijakan-kebijakan, melakukan penyadaran hukum di tengah masyarakat, dan sebagaianya.
Sampai pada tahap ‘redesigning’ sebetulnya belum aman. Maka, perlu tahapan berikutnya yaitu ‘reframing’ untuk membingkai ulang yang sudah terbentuk itu (misalnya sudah ada paradigma baru) agar tidak keluar lagi.
Tahap akhir yang harus dilakukan adalah ‘reacting’ untuk mencapai kondisi yang ideal, yaitu mengubah dari yang tidak baik, menjadi baik.
ANALISA MODERASI BERAGAMA PENDEKATAN TEATRIKAL
Masih ada kaitannya dengan teori gunung es, materi selanjutnya adalah Analisa Moderasi Beragama dengan pendekatan Teatrikal yang disampaikan oleh Instruktur Nasional Moderasi Beragama lainnya, Dr. Paulus Tasik Galle’, LIC.
Teater yang dipentaskan adalah tentang paham radikalisme (ekstrimisme). Beberapa peserta diminta oleh Pak Paul, demikian akrab disapa, untuk memainkan peran, antara lain sebagai: anak yang terpapar radikal, orang tua, guru agama, tokoh agama, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Anggota DPRD, Walikota, Polri, TNI, tokoh Radikal. Peserta lainnya adalah masyarakat umum.
Usai mementas teatrikal itu, kepada media ini Pak Paulus menjelaskan yang mau dicari dari pementasan itu adalah bagaimana pemahaman yang dimiliki oleh para pemain atau konsep dasar dalam pikirannya tentang isu radikalisme.
“Kita sadar benar bahwa persoalan radikalisme itu tidak berdiri sendiri tetapi ada jaringan yang bersifat sistematis, ungkapnya.
Dengan demikian, lanjutnya, dalam penyelesaiannya juga tidak bisa hanya oleh satu pihak saja, misalnya pemerintah, tetapi harus melibatkan jaringan dari berbagai steakholder, mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, guru agama, tokoh-tokoh agama, dinas/lembaga pemerintah terkait seperti dinas pendidikan, Polri, TNI, pimpinan wilayah (Walikota/Bupati), anggota DPRD, media dan sebagainya.
“Dari teatrikal tadi, kita melihat reaksi awal para pemain sangat terlihat terpengaruh oleh prinsip atau konsep dasar yang mereka miliki,” katanya.
Kemudian, dari treatikal tadi, ada masukan dan kritikan dari masyarakat (peserta lain) atas posisi yang kurang pas dari beberapa pemain peran. Ini menunjukkan bahwa masukan, kritikan atau ekspresi apapun bentuknya dari masyarakat sangat penting dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi, bukan hanya mereka yang berwenang saja.
“Sangat nyata terlihat dalam teatrikal tadi bahwa kritikan atau masukan masyarakat sangat berpengaruh untuk terjadinya perubahan atau reposisi para pemain peran setelah adanya masukan masyarakat,” imbuhnya.
Peran media, lanjut Pak Paulus, baik media mainstream maupun media sosial juga sangat penting dalam mengubah tatanan masyarakat maupun paradigma atau prespektif masyarakat.
“Pesan teatrikal tadi, dalam konteks terwujudnya moderasi beragama yang mau kita capai adalah mengubah cara pandang, sikap dan prilaku beragama supaya lebih moderat, tidak ekstrim kanan-ekstrim kiri, tetapi berada di posisi tengah,” urainya.
Selanjutnya, Pak Paul dan Gus Sholeh, kembali tampil bersama untuk memberikan pencerahan tentang “Membangun Gerakan Kepemimpinan dan Kepeloporan.” Dalam materi ini, peserta disajikan dengan menonton sebuah film pendek.
Inti dari materi ini, yang dibantu dengan film pendek tersebut bahwa ketika bicara tentang moderasi beragama, tantangannya besar sekali bahkan terjadi pertentangan dan penolakan, tetapi ini harus dilihat sebagai proses pembinaan pandangan dan pasti membutuhkan waktu.
Untuk itu, Pak Paulus menegaskan, “Kita tidak boleh berpangku tangan sebab untuk terjadinya perubahan atau dalam konteks moderasi beragama, gerakan ini akan berhasil dibutuhkan kepemimpinan dan kepeloporan. Ini bisa dimainkan oleh para tokoh agama apapun, termasuk para fungsionaris Komisi HAK.”
Penulis: Hironimus Adil
Inspirasimu: Hari Kedua Pernas Komisi HAK Dihadiri Menteri Agama Yakut Cholil Qoumas
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.