MIRIFICA.NET – Memasuki ambience festival film international, hati kita memang harus siap untuk gelisah. Dan inilah cara film membuat filmnya berdampak pada penonton. Orang diaduk-aduk perasaannya dahulu, lalu terciptalah ruang refleksi bagi para penonton untuk menyerap nilai-nilai yang ditawarkan oleh sebuah film. Film yang berdampak kuat pada emosi penonton tidak pernah berhenti hanya di layar bioskop. Film yang baik adalah film yang berhenti pada diskusi nilai. Dan untuk membuat film yang seperti ini, kita berangkat dari konsep kita sendiri tentang film dan mulai mengeksekusi film kita berdasarkan pemahaman kita tentang film tersebut. Film-film festival ini seringkali membuat gelisah, karena nilai-nilai yang kita hayati dan yakini sedikit terganggu di sini. Film-film semacam inilah yang membuat kita mempertanyakan lagi hal-hal yang sudah mapan dalam hati kita, maka sering kali kita yang sudah hidup di zona aman ini menjadi terganggu. Gangguan-ganguan inilah yang menggerakkan kita untuk terus “mencari”, untuk menemukan yang baik dan yang jahat, untuk duduk bersama dan berdiskusi, dan mulai bergerak berbuat sesuatu. Kalau kita nonton film, filmnya semua baik, lalu kita keluar bioskop merasa gembira karena filmnya semua baik-baik, lalu setelah itu lupa filmnya, ini film yang menurut saya tidak terlalu bagus, tidak menimbulkan diskusi, tidak berdampak pada kehidupan kita.
Dan inilah yang sering terjadi dalam film-film Gereja kita, kalau boleh sedikit mengkritisi film-film yang diproduksi atas nama Gereja. Supaya lebih mudah menyebutnya dan kontekstual, saya sebut saja film-film produksi Komsos, termasuk film-film saya, produksi SAV Puskat. Sebenarnya tidak terlalu jelas definisi film Gereja. Saya pernah diwawancarai oleh para mahasiswa yang sedang belajar jurnalisme tentang film film Gereja. Saya balik bertanya, Film Gereja yang dimaksud apa ya? Apa kriteria Film Gereja itu? Maka supaya lebih mudah sebut saja film-film yang diproduksi atas nama Gereja, lebih sederhana lagi film-film produksi Komsos. Tidak ada yang salah dengan film-film gereja ini, bahkan secara tehnis, anak muda Gereja jaman sekarang sangat menguasai tehnis termasuk pengambilan gambar yang indah. Yang perlu dikritisi adalah cara bertuturnya masih terlalu verbal, terlalu banyak kotbahnya, apalagi jika pesan terakhir film digambarkan seorang pastor keluar dan langsung berkotbah dan mengutip kutipan Kitab Suci. Film-film seperti ini menjadi terlalu verbal, hanya memindah kotbah dalam format film, atau kotbah yang dibingkai dengan cerita. Penyelesain model “Deus Ex Machina” menjadi terlalu memberi beban pada film dengan muatan katekese yang verbal. FIlm yang harusnya bercerita dengan adegan-adegan yang memikat hati, terpaksa ada pesan sponsor berupa kotbah pastor. Kotbah seharusnya di Mimbar-Mimbar Gereja, bukan di layar film. Kita tidak bisa memindah kotbah begitu saja ke dalam layar film.
Saya pernah mewawancarai seorang selebgram Gereja Katolik. Saya bertanya bagaimana saya bisa berdialog dengan orang muda? Selebgram tersebut berkata, Orang Muda suka yang receh-receh, mereka tidak suka yang berat-berat. Bersama orang muda kita harus menjadi teman. Tidak ubahnya dengan film. Orang muda tidak suka dikotbahi, orang muda tidak suka digurui. Materi berat sedikit ia akan pergi dan tidak nonton lagi film-film yang kita buat. Maka film-film Gereja sekalipun dibuat untuk pewartaan atau katekese, berceritalah, sentuhlah hati penonton kita dengan ‘tendangan emosi’ yang kuat. Storytelling bekerja pada emosi penotonnya. Film is emotion! Dengan emotion ini hati penonton dibuat gelisah, dan setelah itu terciptalah ruang-ruang diskusi. Di sinilah Film menemukan peran pewartaan dan formatio nilai pada kemanusiaan kita.
NO CONFLICT, NO DRAMA
Esensi dari Film adalah cerita. Dan cerita dibangun dengan Dramaturgi yang baik. Drama yang mengaduk-aduk perasaan penontonya dibangun dengan konflik yang menarik. Istilah yang sangat dikenal dalam dunia film adalah No Conflict, No Drama. Dan Film yang baik berawal dari skenario yang baik pula.
Dalam dunia penulisan naskah dikenal istilah “Drama Tiga Babak”. Sturktur penulisan naskah ini dipakai di seluruh dunia. Intinya film dibagi dalam tiga babak besar. Babak pertama adalah perkenalan tokoh sekaligus planting problem. Di menit-menit awal sebuah film penonton harus sudah tahu siapa tokoh-tokohnya dan apa masalahnya. Dan yang terbaik adalah memperkenalkan tokoh dan problem dengan kejadian, jangan dengan dialog yang verbal. Kejadian yang menjadi pemicu sang tokoh untuk berjuang di scene-scene berikutnya. Ini yang disebut turning point pertama. Bagian kedua adalah pengembangan masalah. Konflik yang sudah dibangun di awal dikembangkan konfliknya menjadi lebih kompleks sampai di titik pemeran utama mengalamai keputus-asaan, sampai ditemukannya jalan keluar. Lagi-lagi jangan terlalu verbal, bangunlah dengan kejadian sampai pemeran utama mengalami peristiwa “Eureka”. Akhir bagian kedua adalah Klimaks. Di dalam keputusasaan pemeran utama akhirnya ia menemukan jalan keluar yang melegakan, inilah klimaksnya, sering disebut juga turning point kedua. Setelah semua masalah diatasi, masuklah ke babak ketiga, yaitu resolusi. dalam resolusi ini kita bisa memilih endingnya. Jika perjuangan si tokoh utama akhirnya mencapai tujuannya maka endingnya adalah happy ending, jika tidak tercapai, maka akhirnya sad ending. Jika di Babak pertama atau perkenalan kita melakukan planting problem, maka di babak resolusi ini kita menuai values. Di sinilah kita bisa mengenali nilai-nilai yang diwartakan. Sekalipun tokoh utama kita dikalahkan misalnya di film ini, biasanya nilai tetap dimunculkan sebagai buah dari pengorbanan si tokoh utama.
Dari pelajaran drama kita dari dulu waktu kita masih duduk di bangku sekolah, protagonis disebut sebagai tokoh baik, dan antagonis sebagai tokoh jahat. Film film masa kini tidak demikian mendefinisikan protagonis antagonis. Dalam film-film jaman sekarang, protagonis adalah tokoh utama yang akan mendapat simpati dari penontonnya. Antagonis adalah tokoh yang akan menghalangi atau memberi halangan bagi si tokoh utamanya. Struktur semacam ini akan memberi konflik yang jelas. Masing-masig tokoh diberi tujuan dalam film itu. Protagonis diberi tujuan yang akan dia perjuangkan sampai akhir film dan antagonis akan menghalanginya dengan berbagai cara. Semakin tokoh utama berjuang keras mencapai tujuannya, semakin besar halangannya, maka semakin memikat hati penonton untuk menyaksikan perjuangan si tokoh utama dalam mengatasi masalah. Itulah film. Film is action. Film is emotion. Film adalah medium untuk melihat perjuangan kemanusiaan kita dalam mengatasi masalah-masalah kita dan memenangkannya. Itu yang orang ingin lihat ketika ia nonton film.
UNDERCOVER FAITH
Di kelas saya di sekolah film international di Paris, ada 2 orang imam yang masuk dan lulus bersamaan, saya seorang jesuit dan seorang imam muda Salisihan, SDB. Sejak hari pertama masuk kuliah saya langsung mengenali dia seorang imam karena dia memakai cincin rosario. Dan dia terkejut juga ketika tahu saya seorang imam jesuit. Lalu langsung kami sepakat selama 2 tahun kuliah ini kita sembunyikan imamat kita. Saya sangat mendukung gerakan menyembunyikan identitas ini karena kita sungguh-sungguh di lingkungan yang profan, kita juga ingin belajar profesional. Tetapi tampaknya teman saya ini tidak tahan, dia memang suka show off, akhirnya ketahuanlah kami bahwa kami dua orang imam katolik. Dan di akhir kuliah saya, saat menjelang produksi film pendek tugas akhir, dosen penyutradaraan saya yang atheis bertanya,”Apakah iman sangat penting buatmu?”. Saya agak kaget mendapat pertanyaan itu, itu saya menjawab,”Tentu saja penting, karena iman saya adalah keyakinan, keyakinan saya yang selama ini menuntun saya untuk mengambil keputusan, untuk memilih hal-hal yang baik dalam hidup saya,”. Lalu dosen itu menjawab, “Hemm… Saya seorang atheis”.
Film thesis saya sendiri berkisah tentang dua orang yang menderita sakit kanker terminal berjumpa di rumah sakit dan mereka menemukan cinta di saat-saat yang paling kritis. Tokoh perempuan saya gambarkan sebagai seorang yang beriman katolik, dan tokoh laki-laki adalah seorang Atheis yang tidak mengenal Tuhan. Yang mempertemukan mereka adalah cinta. Ketika orang menemukan cinta, ia siap mati kapanpun, berbahagialah orang yang mati karena sudah menemukan cintanya. Dan kita semua ini tahu bahwa cinta adalah bagian dari iman kita, yang kita yakini dalam kehidupan kita sehari hati.
Saya sering meledek teman-teman muda para sineas yang katolik ini. Saya sering menyebut mereka agama mereka bukan katolik lagi, agama mereka adalah film. Biasanya mereka hanya tertawa saja. Yang ingin saya katakan, iman seorang sutradara pasti akan mempengaruhi film-film mereka. Iman adalah bagian dari apa yang kita yakini dan ikut mempengaruhi keputusan-keputusan kita dalam kehidupan kita sebagai manusia. Demikian juga dengan film. Iman para sutradara ini menjadi keyakinan kuat bagi para sutradara ini dalam menyuarakan nilai-nilai kebaikan melalui film. Meskipun iman ini tidak tampak nyata dalam bendera agama tetapi iman kekatolikan kita itu sudah melebur dalam kebaikan universal, bonum communae, yang dituangkan dalam nilai-nilai yang tersembunyi di dalam cerita. Film Soegija yang kami produksi tahun 2012, misalnya, meskipun tokohnya seorang Uskup yang jelas-jelas katolik, tetapi nilai kekatolikan itu sudah melebur dalam semangat nasionalisme yang ingin diangkat dalam film ini. Sekali lagi esensi dalam film adalah cerita. Iman kita tersembunyi dalam nilai-nilai universal di dalam film-film kita, iman yang terlalu diverbalkan menjadi tidak terlalu menarik untuk ditonton. Sekian!
FX. Murti Hadi Wijayanto, SJ
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.