Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2018 bertema Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa, dengan sub-tema Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan. Setelah membaca buku kecil berkelas Magisterium Gereja ini, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi sutradara untuk menjadikannya sebuah film yang bercerita dan enak ditonton tanpa mengurangi bobot Nota Pastoral para Uskup di Indonesia ini. Membaca buku kecil Nota Pastoral ini memang tidak semudah membaca novel, dahi harus berkerut, dan kadang harus membaca ulang lagi bagian-bagain tertentu yang mungkin belum terlalu bisa dipahami dengan sekali membaca. Tentu hal ini bisa dipahami, karena buku ini memakai bahasa setingkat para uskup dalam konferensi waligereja di Indonesia. Untunglah bahwa pokok-pokok permasalahan yang dihadirkan dalam buku kecil ini sangat jelas, dan hal ini sangat memudahkan dalam meletakkan pokok-pokok permasalahan dalam film pendek.. Dan pendekatan dalam buku ini juga sejalan dengan film pendek yang saya tulis naskahnya dan akan saya sutradari ini. Buku ini memakai pendekatan permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia. Porsi ini mendapat tempat yang cukup banyak dalam penulisan Nota Pastoral ini. Pendekatan semacam ini sejalan dengan pendekatan film pada umumnya yang pada intinya adalah “No Conflict, No Drama”, yang intinya supaya film itu bercerita maka harus ada masalah yang dimunculkan supaya masalah ini bisa diperjuangkan untuk bisa diatasi oleh para tokoh dalam film tersebut.
Film pendek ini mencoba merangkum semua permasalahan yang dimunculkan dalam Nota Pastoral 2018 ini, namun tentu saja karena keterbatasan media film apalagi dengan durasi yang pendek, tidaklah mungkin memindahkan semua yang tertulis dalam buku itu menjadi sebuah film yang berdurasi pendek. Tetapi saya kira saya sudah mencoba memasukkan sebagian besar permasalahan yang ada dalam buku kecil Nota Pastoral tersebut. Dalam film pendek kali ini ada banyak simbolisasi yang saya masukkan dalam film untuk menyentuh semua permasalahan yang ada dalam Buku Nota Pastoral tersebut.
Bahasa Simbol yang utama dalam film pendek ini adalah judul film itu sendiri, yaitu Museum Kejujuran. Frasse Museum Kejujuran ini memiliki makna ganda yang sering dipakai dalam dunia film. Makna yang pertama adalah bahwa kejujuran itu hanyalah sebuah museum di jaman ini, artinya kejujuran itu hanyalah cerita usang, cerita masa lalu, akan susah mencari orang jujur di jaman ini. Kisah tentang kejujuran yang usang ini dimunculkan dalam film pendek ini melalui tokoh utamanya yang adalah seorang pensiunan guru tua yang suka memakai baju korpri, sederhana hidupnya, dan tidak mau memakai segala fasilitas yang diberikan anak-anak yang adalah juga hasil korupsi. Kisah para pahlawan sederhana seorang guru seperti lagu Iwan Fals yang terkenal waktu itu yaitu “Oemar Bakri” yang miskin namun tetap setia mengabdi negara tanpa korupsi,akan saya munculkan dalam film pendek ini. Maka pesannya adalah kebalikannya, jangan sampai kejujuran itu hanyalah sebuah museum masa lalu yang saat ini hanya jadi tontonan saja.
Pesan kedua dari frasse Museum Kejujuran adalah Gereja adalah tanda kesaksian dari kejujuran itu sendiri. Kehadiran Gereja dalam dunia politik di Indonesia adalah tanda yang jujur akan kejujuran itu sendiri. Kehadiran Gereja di kancah hidup berbangsa di Indonesia sudah ada sejak jaman dulu. Sebut saja Mgr. Soegijaprana yang sangat terkenal dengan slogannya “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Slogan ini menyemangati para pahlawan katolik waktu itu seperti Adi Sutjipto, Yos Soedarso dan masih ada beberapa pahlawan nasional yang lain. Di era orde baru, banyak orang katolik yang hadir di pemerintahan karena keteladanannya akan kejujuran. Dan ketika bangsa ini memasuki era reformasi sampai sekarang, orang-orang katolik tetap exist di kancah perpolitikan di Indonesia dengan kehadirannya yang khas yaitu soal integritas dalam nilai kejujuran. Tentu saja tidak bisa dipungkiri ada orang-orang katolik yang terlibat dalam tindak korupsi yang memalukan ini, namun film ini tetap memberi kesan kuat agar orang katolik tetap harus menjadi kesaksian akan kejujuran di manapun dan kapanpun mereka berada.
Tokoh Pensiunan Guru sebagai peran utama dalam film ini dengan segala kebiasaannya yang selalu ingin mengibarkan bendera Merah Putih, memberi hormat pada foto ayahnya yang adalah pejuang kemerdekaan dan Garuda Pancasila menjadi sangat penting. Orang tua yang terkesan kuno ini adalah orang yang selalu ingin menanamkan semangat nasionalisme pada anak cucunya dalam keluarga.
Sayangnya kedua anaknya tidak mengindahkannya lagi. Anak pertama adalah seorang Pejabat anggota DPR, dan Anak kedua adalah seorang pengusaha kelapa sawit. Kedua anak ini menggambarkan dunia politik yang carut marut karena korupsi, karena trilogi kongkalikong antara kekuasaan, uang, dan sex. Melalui kedua anak inilah kisah carut marut di negeri ini dimunculkan. Kekuasaan digambarkan dengan kehadiran anak pertama yang adalah pejabat negara yang adalah juga aktivis partai yang suka jual beli undang-undang dengan para pengusaha yang punya uang dan tidak peduli pada lingkungan hidup. Demi uang, ia rela menghabiskan hutan dan diganti dengan tanaman industri yang lebih cepat menghasilkan uang namun keuntungan terbesar hanya dinikmati oleh segelintir orang yang empunya bisnis tanaman industri itu sendiri.
Kisah tentang pensiunan guru dan cucunya yang masih SD menggambarkan dunia pendidikan yang juga disinggung dalam Nota Pastoral tahun 2018 ini. Kebiasaan mengibarkan bendara Merah Putih dan memberi hormat pada pahlawan, serta Burung Garuda Panca Sila mewakili keprihatinan Gereja akan hilangnya upacara bendera di sekolah dan pendalaman Panca Sila sebagai ideologi negara. Kebiasaan bullying di sekolah mewakili kisah-kisah kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Dan kisah bullying di sekolah ini terjadi karena hoax yang dalam film ini dihadirkan dengan kehadiran dua intel yang menyamar menjadi tukang becak dan preman yang suka nonkrong di depan rumah.
Film pendek ini memakai setting keluarga, karena keluarga itu Indonesia kecil dan Gereja kecil yang konkrit di dalam kehidupan sehari-hari di dunia nyata. Kisah istri yang teraniaya karena ulah suami yang korup dan suka main perempuan yang bukan muhrimnya juga menjadi tontonan menarik yang bisa menggerus hati para penonton film pendek ini. Dan dalam keluarga ini ada tokoh pembantu yang terlibat dalam gerakan Islam radikalis. Saya tidak terlalu memperpanjang cerita tentang Islam radikalis ini, karena ini wilayah agama lain, tetapi dalam film ini hanya sedikit memberi bumbu ketegangan, tetapi berbuah manis di akhir cerita. Gereja harus pernah bicara bahwa Islam di Indonesia ini adalah Islam yang Damai. Dan tokoh pembantu inilah yang akhirnya meneruskan cita-cita tokoh utama, menjaga rumah sederhana itu menjadi Museum Kejujuran.
Banyak kisah yang dihadirkan dalam film pendek ini untuk merangkum pokok-pokok penting dalam Buku Kecil Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia ini, dengan harapan semoga bisa menjadi film yang utuh, satu kesatuan, bisa dinikmati dengan mudah dan enak ditonton, serta kuat dalam menyampaikan pesan para Uskup Indonesia, dan bisa menumbuhkan diskusi-diskusi di dalam masyarakat.
Film Museum Kejujuran merupakan persembahan Gereja Katolik untuk masyarakat (umat) Indonesia yang mau merayakan HUT Kemerdekaan ke-73. Mengajak semua manusia berkehendak baik untuk mencintai dan mengamalkan kejujuran dalam hidup sebagai orang beriman dan warga masyarakat Indonesia. Film akan diupload di Youtube Komisi Komsos KWI tanggal 14 Agustus 2018.
Yogyakarta, Agustus 2018
Penulis: FX Murti Hadi Wijayanto SJ (Sutradara Film Museum Kejujuran)
Editor: RD. Kamilus
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019