DI kala para peserta datang sejak pukul setengah 12 siang, kami baru tiba pukul empat sore. Di saat bus-bus pengantar sudah berjajar parkir manis, kami masih menuju kantor Radio Montini 106 FM untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.
Menyambut pembukaan IYD Manado 2016 yang diadakan di Stadion Klabat, saya dan Mbak Wulan melaju tinggi menulis berita dan menyunting video liputan. Duo jurnalis utusan Komsos KWI ini mau melaporkan hasil kunjungan kami ke beberapa paroki di Manado yang menampung peserta live-in kontingen kota lain: OMK Bandung, OMK Kinabalu, OMK Jakarta, dan OMK Denpasar.
Kejar tayang ini menguji keuletan, ketangguhan, dan pengendalian diri saya. Edit video harus santai dan dalam suasana tenang. Namun, kali ini, tidak lagi. Saya harus naik level supaya bisa edit video dengan tidak santai dan dalam suasana ramai. Siaran langsung Radio Montini menggema mengisi ruang tamu tempat kami berada. Mars IYD Manado 2016 dikumandangkan hampir setiap kali saya mendengar siaran ini. “Kalau kami sudah tiap hari dengar,” kata Alvin, seorang panitia sewaktu mengobrol dengan saya tempo hari.
Hari ini (4/10), 3.000 OMK Indonesia akan memenuhi Stadio Klabat, membawa budaya dan tradisi masing-masing, menjadikan dua faktor ini sebagai wujud kecintaan dan nasionalisme, mengusung tinggi hal biasa di daerahnya menjadi suguhan luar biasa dan unik untuk OMK kontingen lain.
Tak ayal kami turun oto (bahasa setempat untuk ‘mobil’) di depan stadion, Pastor Steven, Pr., Ketua Komisi Komsos Kevikepan Manado, menjadi ID Pass kami untuk masuk jalur khusus ke dalam sasana terbesar di Manado itu. Riuh gemuruh peserta sudah menyambut, warna warni pakaian mereka yang duduk di kejauhan memperkaya semangat, dan kami langsung berpencar.
Bangku-bangku stadion sudah penuh, mulai dari pastor, frater, suster, OMK Manado, dan umat awam menyambut antusias kedatangan OMK dari 36 keuskupan itu. Suasana pembukaan ajang temu raya OMK tanah air ini bisa dibaca lebih lengkap di sini.
Saya memperhatikan hal-hal lain, pihak di luar para peserta dan panitia IYD beserta jajarannya. Penduduk sekeliling menjajakan dagangan mulai dari rokok, makanan kecil, minuman, es krim, dan lainnya. Stadion Klabat diselimuti pasar kaget. Di seberang maraknya penjagaan pintu masuk stadion, di situlah para penduduk menanti pembeli.
Di bagian dalam, ada juga pengasong minuman, bahkan, photobooth berjalan. Tukang foto ini menawarkan kesempatan mengabadikan momen IYD bersama dengan seekor burung hantu yang jinak. Disentuh-sentuh paruhnya, ia tetap tenang dan menoleh kembali kepada saya. Jadi tidak enak.
Ujung kiri stadion ramai dengan antrean pendatang untuk buang air. Saya pernah melihat WC portable dari tahbisan Mgr. Pidyarto di Stadion Gajayana – Malang dan Perayaan 25 tahun Seminari Tinggi St. Mikhael – Kupang. Toilet itu berbentuk seperti kontainer, dipisahkan dua tangga, untuk pria dan wanita. Ketika saya tidak tahan buang air, niat menjadi warga negara yang baik untuk mengantre segera datang. Namun, antrean yang panjangnya sampai berkelok-kelok hampir sepanjang stadion itu sendiri, wow. Saya menengok berkali-kali untuk memastikan bahwa ini antrean untuk ke WC, bukan antrean beli rokok. “Wah ini mah keburu keluar di sini,” kata saya kepada seorang ibu yang masih setengah jalan. Ia hanya diam, mungkin setuju.
Di seberang pintu masuk bagian dalam, ada dua pagar kawat yang bolong. Lubang itu menjadi ‘pintu ajaib’ para pendatang dari podium ke lapangan, bahkan sebaliknya. Rio, anggota seksi transportasi yang setia menemani tim Komsos KWI, segera bertindak. Bersama dengan saya, ia sigap memanggil bagian keamanan lewat handie talkie. Tidak ada yang datang.
Rio langsung memanggil dua polisi yang membantu keamanan dekat sana. Ia menjelaskan bahwa itu berbahaya dan wajib dijaga. Seorang polisi itu malah langsung membantu dua perempuan untuk naik ke podium; ternyata berteman. Melihat mereka, Rio langsung kesal dan mencoba memanggil polisi lain.
Saya jadi lupa, mau buang air. Rio segera mengantar saya ke luar stadion, karena di situ ada tanaman yang haus. Baiklah, syukur pada Tuhan saya terlahir pria.
Barisan de file semua kontingen dan marching band sekolah/seminari menguras cepat baterai kamera dan telepon saya. Panik mulai datang: tidak dapat foto lagi itu nomor dua, yang terpenting tidak bisa menghubungi RD Kamilus atau Mbak Wulan dari ribuan hadirin.
Sambil berkeliling, saya mendapati bahwa ada beberapa rumah penduduk yang bertingkat: mereka dapat menyaksikan torang yang di dalam stadion. Sampai malam pun, masih ada yang menonton.
Ribuan makanan kotak berlogokan IYD Manado 2016 dibagikan, para peserta segera lahap. Acara sebesar ini hampir mustahil untuk disiplin buang sampah pada tempatnya. Orang yang rajin buang di tong sampah pun jadi tersugesti buang di mana saja karena memang agak bertebaran, khususnya di pinggir stadion.
Mgr. Antonio Guido Filipazzi, Nuntius Indonesia, hendak meninggalkan arena seusai makan. Dengan pengawalan cukup lenggang, ia santai menyapa para umat, khususnya anak kecil. Begitu pula uskup dan imam lain.
Syukurlah pada 5% baterai ponsel, saya bertemu dengan RD Kamilus. Ia mengunjungi OMK Weetebula yang sedang duduk manis menyaksikan acara di panggung. Tujuh jam lewat, kami putuskan untuk pulang. Saya melihat beberapa nasi kotak terhamburkan ke lantai, belum termakan. Memang demikian kurbannya setiap acara besar.
Ada pula penjaja rokok yang ketika kami hadir, rokok itu masih berbaris-baris di etalase. Sepulang kami, tinggal lima kotak. Ditambah kembang api penutup yang meriah, pembukaan IYD Manado 2016 ini membawa sukacita untuk para uskup dan imam, biarawan/ti, OMK Indonesia, umat, dan juga warga sekitar. Puji Tuhan.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.