Beranda KWI KOMSOS KWI FEATURE: Petualangan OMK Jakarta Menyusuri Sumatera Selatan

FEATURE: Petualangan OMK Jakarta Menyusuri Sumatera Selatan

PELATIHAN talkshow radio perdana yang saya ikuti bersama tim Komsos KWI 12-13 September ini membawa kesan unik tersendiri. Seperti kota-kota lainnya, Tuhan izinkan saya melayani di daerah kampung halaman papa saya: Sumatera Selatan.

Dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, kami dijemput Ketua Komisi Komsos Palembang sekaligus Presiden SIGNIS Indonesia, RP Frans de Sales, SCJ.

“Lima jam…” kata RP Frans memperkirakan lama perjalanan kami ke tempat pelatihan. Saya, Errol Jonathans, dan RD Kamilus Pantus segera bersiap diri.

Romo Frans melajukan mobil cukup berani: menghantam lubang, melincah menghindari jalan rusak dan truk besar. Sekretaris Eksekutif Komisi Komsos KWI berkata, “Seperti pembalap ini.”

Saya berdoa supaya tidak mabuk seperti perjalanan ke Ruteng lalu. Lima jam kami akan melalui Lintas Timur Sumatera, petualangan sesungguhnya dimulai ketika kami keluar dari kota Palembang.

“Ini namanya Timbangan 32, karena jaraknya 32 km dari Palembang,” kata Romo Frans tanpa mengurangi kecepatan di persimpangan itu.

100 km pertama perjalanan kami tidak ditemani pepohonan saja, tapi pemukiman. Jarak perumahan dan jalan raya hanya selangkah kaki. Untunglah pengemudi kami sudah ‘doktor’ sehingga ayam, kambing, kucing, anjing, sepeda motor tanpa spion bisa dihindari dengan baik.

Bukan berita baru lagi, bahwa Sumatera Selatan sempat heboh karena tingkat kriminalitasnya. Kami melewati Desa Campang Tiga. “Dulu Uskup Soudant, SCJ sempat dirampok di sini. Tongkat dan peralatan liturginya diambil. Ketika pangdam yang adalah kenalan baiknya tahu, dikirimlah para prajurit menindak keras kampung ini,” cerita Romo Frans.

Bukan hanya Campang Tiga, ada Mesuji di piksel lain Sumatera Selatan yang sempat terjadi beberapa kali aksi begal dan pembunuhan. Kami bertiga jadi was-was dengan cerita Romo Frans.

Sambil melahap getas dan kemplang, saya memerhatikan jalanan. Ada dua jembatan peninggalan Jepang dan Belanda yang kami lalui. “Sudah tua, tapi masih bagus,” ujar Romo Frans.

Saya melihat beberapa plang yang masih membuat penasaran. Di pinggir jalan, saya melihat plang bertuliskan “DILARANG”. Itu saja. Apanya yang dilarang?

Tidak jauh lagi, saya melihat “STEM MOTOR”. Mungkin maksudnya cuci steam (uap).

Ada lagi “KENTAKI”. Oh, yang ini saya yakin benar, tempat makan.

Peringatan antinarkoba juga menghiasi sepanjang perjalanan kami. Saya agak lupa persisnya, tapi kurang lebih isinya: pakai narkoba, keluarga kecewa, setan pasti senang.

Sebuah spanduk lain bertuliskan “JANGAN BOSAN AJAK ANAK MAKAN” Hm..

Memasuki daerah kebun karet, pepohonan ini ditanam begitu rapi seperti pola polkadot. Kami melihat sebuah truk sedang bongkar muat karet balok. “Kami sebutnya tahu sumatera, dan orang percaya kalau itu tahu,” kata Romo Frans sambil tertawa. Pasalnya, bentuk karet itu balok berwarna putih pucat berkerut seperti tahu.

Selanjutnya yang paling menarik, saya lihat seorang anak kecil memegang pistol air hijau di depan ayahnya. Si anak seperti menembak air kepada kerbau yang diikat tidak jauh di sana. Mereka tertawa, sampai si kerbau kesal, bangun, dan seperti ingin menyeruduk si bocah. Si ayah langsung menarik anak itu menjauh. Saya masih tersenyum melihat kepolosan bocah dan kerbau itu.

Itu perjalanan pergi, sekarang perjalanan pulang.

Berangkat pukul lima subuh, jalanan masih penuh lubang kejutan. Perut sudah terkocok pagi-pagi betul. Kami melewati rute yang berbeda menuju bandara Palembang: menyusuri 60 ha kebun tebu milik sebuah perusahaan gula.

Dari langit masih gelap sampai matahari terlihat jelas bundar, barisan tebu masih ada di kiri kanan kami. Barisan truk membawa tebu dan para buruh berlalu lalang. Kami sempat melewati rombongan buruh yang santap sarapan sebelum bekerja. Nasinya begitu banyak, makan dari rantang dan tas anyaman yang mereka bawa. Setiap buruh membawa galon lima liter sebagai minum mereka. Semangat, bapak-bapak.

Di ujung per-tebu-an, kami masuk zona sawit. Jalanan tanah gundul tanpa aspal ini ditutup sawit dan tanaman liar lain sehingga seperti dinding tinggi. Keren.

Rumah penduduk mayoritas berbentuk panggung: didasari tiang-tiang, untuk menghindari binatang liar. Ada beberapa rumah blaster: lantai atas terbuat dari kayu, lantai dasar dibuat rumah lagi dari semen dan keramik. “Karena sekarang sudah tidak banjir, bisa ada dua keluarga tinggal di rumah itu, satu di atas, satu di bawah,” kata Romo Frans.

Saya tertidur, berhasil menundukkan ganasnya jalan Sumatera Selatan.

“Kevin, Sungai Musi,” kata Romo Kamilus. Oh, sudah di kota Palembang. Setelah singgah mengisi perut dengan pindang patin, kami siap pulang ke Jakarta.

Terima kasih Tuhan.