Beranda KWI Feature: Mgr. Pidyarto Berpesta, Saya Bercengkerama

Feature: Mgr. Pidyarto Berpesta, Saya Bercengkerama

“YANG tidak menikah saja resepsinya semewah ini..”

Hanya itu premis benak saya sepanjang menunggu acara dimulai. Pesta pascatahbisan uskup terbaru Keuskupan Malang ini buat saya sangatlah berkesan. Dekorasi ballroom, meja khusus para uskup, dan barisan kursi format seminar yang tidak pernah saya temui pada resepsi pernikahan umumnya.

Sebagai OMK, hal yang paling saya senangi pada resepsi hanya satu: tenda makanan. Rasanya ekstra, porsinya sedikit, stoknya apalagi. Inilah tempat makanan yang selalu membuat para ibu-ibu bersepatu hak itu mengantre silang-menyilang. Belum lagi kalau ada yang menyerobot. “Mas, tolong dua porsi ya biar sekalian.” , “Permisi ya ko, si om sama saya duluan, uda laper nih.” Iya tante, silakan.

Sambil mengambil gambar, saya survei menu makanan tenda. Siomay, prioritas nomor satu. Awas kau, may. Masih ada rawon, sekoteng, dan buffet kentang goreng, spaghetti, pastel tutup, sosis utuh (utuh, tidak dipotong, utuh), pepes, dll.

Sungguh saya kagum pada stamina Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, O.Carm.. Dari dua hari lalu sejak salve agung, lanjut lagi makan malam bersama, esok paginya langsung misa tahbisan, disusul resepsi. Ilustrasi keletihan beliau pada kepala saya sesimpel menjadi pengantin, tapi tiga hari, berikut misa perdananya hari ini. Karmelit ahli Kitab Suci ini tetap tersenyum ramah, rendah hati menyapa ribuan umat satu per satu, dan lebih lagi, masih tetap dapat melucu dalam sambutannya.

Ketika saya asyik menyeruput kopi hitam tanpa gula di depan ballroom, di situ juga saya melihat Mgr. Pid sedang berfoto bersama sanak saudaranya.

"Waduh, om-ku ada yang jadi uskup."
“Waduh, om-ku ada yang jadi uskup.”

Digendong seorang keponakan perempuannya, diajak bermain, dicium kedua belah pipinya.

Hmm… og aku ndelok tresno’e Gusti Yesus yo?

Syukur puji Tuhan saya masih sadar diri bahwa banyak orang yang mau bertemu sapa dengan Mgr. Pid; Mengingat beliau juga belum tentu tahu di dunia ini ada saya, yo wes, saya bercengkerama dengan yang lain.

Setelah mendengar beberapa sambutan, persembahan, dan video singkat, MC mengatakan, “Inilah saat yang kita tunggu-tunggu, ramah tamah.” Ya, betul sekali mbak.

Di sinilah saya mulai sok kenal sok dekat, khususnya dengan beberapa uskup.

“Selamat Mgr. Sinaga,” saya segera cium cincinnya. Uskup Keuskupan Agung Medan ini berkata, “Eh, kapan Komsos KWI datang lagi? Harus lebih rajin ya!” masih dengan stamina dan volum tawa yang sama ketika kami bertemu dengan beliau Februari lalu di Medan.

“Mgr., bagaimana kabar Romo kemarin? Tidak parah kan? (Saya merujuk kepada percobaan bom bunuh diri di Gereja Stasi St. Yosef, Medan, dan serangan ke Romo Albertus Pandiangan)”

“Aman. Sudah sehat beliau!” beliau membalas.

“Respon Mgr. ketika diwawancarai media menanggapi kejadian ini, betul-betul luar biasa!” saya tersenyum. Spontan ia tertawa, “Bahkan Romo Albert bilang, ia tidak dendam dengan pelaku. Justru kita harus menghadapi dengan cara seperti ini. Daripada nanti mancing keributan,” ujarnya.

“Ini uskup yang memberi contoh luar biasa, kebijaksanaan,” saya menyenggol tangannya beberapa kali sambil melihat ke Mgr. Johannes Liku Ada, uskup Keuskupan Agung Makassar yang berbincang bersama kami.

Catatan pelengkap, saya belum makan apapun, jadi sebaiknya segera meluncur ke tenda makanan.

“Ini sekitar 400 orang..” saya menguping seorang pegawai berkata kepada teman-temannya. Namun, saya masih terheran-heran karena antrean tenda tidak ada yang terlalu panjang dan lama seperti di Jakarta. Siomaynya masih bersisa, MASIH BERSISA.

“Selamat Mgr. Pius,” kata saya di tenda rawon (Beliau mengantre nasi rawon di sebelah tenda siomay). “Loh, kamu sampai di sini?” Kami bertemu saat Konferensi Pers Indonesian Youth Day 2016 di kantor KWI beberapa bulan silam. Saat itu, saya juga segera berdiskusi mengenai seminar Narkotika dan Love, Sex, Dating yang akan beliau fasilitasi di Paroki saya (Sta. Maria Imakulata – Kalideres). Mungkin Uskup Ketapang ini ingat saya karena saya bawel mengingatkan beliau mempersiapkan materi.

“Sebagai umat yang baik, saya mau mengingatkan bahwa Pastor Kepala Paroki saya hari ini ulang tahun (RP Andri Atmaka, OMI, teman baik Mgr. Pius sejak seminari),” tukas saya dengan gagah. Beliau langsung mengeluarkan handphone-nya, mencari sesuatu di dalamnya. Semenit saya bingung harus berbuat apa menunggu beliau.

“Nih..” kata Mgr. Pius. Ia menunjukkan ucapan ulang tahun kepada RP Andri dalam Boso Jowo. Dibalasnya, “Nggih.. Lagi transit di Dubai.” Menurut Mgr. Pius, pastor kepala saya dalam perjalanan ke tanah suci.

“Kapan ke Jakarta lagi Mgr.?”

“Setelah IYD nanti ya,” jawabnya. Saya pamit.

Siomay tenda ini sepertinya sumbangan seorang umat. Seorang ibu berjaga bersama tukang potong siomay. “Gak mau dipotong gak papa ya,” katanya kepada antrean saya. Baru kali ini saya mendengar kabar gembira, sebuah perjanjian baru yang begitu menenangkan jiwa. Saya habiskan lima butir besar, dua kali perjalanan.

“Kevin!!! Kemari!” senyum riang RD Siprianus Hormat, Ketua UNIO Indonesia. “Ini ada suster baru pulang dari Roma, tolong fotokan kami.” Hasil jadinya, mereka foto bertiga dengan Mgr. Pidyarto, tapi Mgr. Pid yang tidak bergerak, terbuat dari Flexi Korea 300 gsm. Hanya gambar beliau di spanduk.

“Besok pulang pukul berapa? Kalau pas, mari kita bersama.”

Setelah siomay dan rawon, saya cicip western food yang jarang pula saya temui pada resepsi. Lumayan.

“Mgr. Agus, selamat!” Segeralah saya menunduk dan bermaksud mencium cincinnya, tapi batu pada cincin itu menghantam dahi saya. “Maaf,” kata uskup Pontianak sekaligus Administrator Apostolik Sintang ini.

Kami bertemu ketika saya datang bersama beberapa 11 rekan (seperti 12 Murid, kan?) dalam semangat persaudaraan Oblat Maria Imakulata untuk membantu melayani spiritualitas umat di Desa Miau Merah, Dangkan Silat, sekitar tiga jam dari Sintang. “Ah, nanti saya Oktober ke sana lagi. Ada dua gereja baru yang mau diberkati. Yang pegang masih Romo Robert, OMI,” jelasnya pada saya.

Memang saat misa tahbsan, saya melihat Mgr. Ludovicus Simanullang (uskup Sibolga) dan Mgr. Petrus Turang (uskup Kupang). Ketika tim Komsos KWI tiba di Telukdalam, Nias untuk Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) KWI 2016, Mgr. Ludo menyambut kami di Paroki Kristus Raja Gido untuk santap pagi. Kami duduk bersebelahan sambil menyantap roti tawar dan telur rebus.

Mgr. Petrus Turang adalah satu-satunya uskup yang menyuruh saya menjadi imam dalam dialog tatap muka. Setiap selesai beracara pada PKSN lalu, tim Komsos KWI bersama dengan Mgr. Petrus dan Vikjen Sibolga, Pastor Dominikus Domi Ola, ngobrol di meja biara sampai satu per satu dari kami tumbang mengantuk.

Romo Kamilus, Sekretaris Eksekutif Komisi Komsos KWI, memimpin tawa tim komsos KWI menanggapi anjuran Mgr. Petrus dan Vikjen Domi. “Ini sudah uskup yang berkata. Kalau sudah sampai tingkat uskup, tidak mempan juga..” kata RD Kamilus. Namun, Mgr. Ludo dan Mgr. Petrus tidak terlihat di resepsi.

“Beberapa uskup terpaksa pulang karena pekerjaan mendesak,” kata Mgr. Herman Joseph Pandoyo Putro, uskup Emeritus yang digantikan Mgr. Pidyarto dalam sambutan resepsi kemarin.

Setelah meneguk jus jeruk dan sirsak, saya kembali ke Pusat Pastoral untuk menulis artikel ini.

Selamat melayani Keuskupan Malang, Mgr. Pidyarto. Maaf saya cuma numpang makan enak

 

Loh, bukannya memang ramah tamah seperti ini?

Tapi, ini kan harinya Mgr. Pidyarto!

Mgr. berpesta, saya malah asyik bercengkerama.

Sugeng dalu.