“I prefer a Church which is bruised, hurting and dirty because it has been out on the streets, rather than a Church which is unhealthy from being confined and from clinging to its own security” (49)
“Saya lebih bersimpati pada Gereja yang rapuh,terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan ketimbang sebuah Gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri.” Seruan ini dikumandangkan oleh Paus Fransiskus kepada umat Katolik di seantero jagad dalam Seruan Apostoliknya berjudul Evangelii Gaudium (Sukacita Injili) hari Selasa, 26 November 2013. Seruan Apostolik ini boleh dibilang sebagai program kerja Paus Fransiskus. Ia mencita-citakan sebuah Gereja yang lebih terbuka, yang mampu menampilkan diri sebagai sebuah budaya tandingan (counterculture) bagi gambaran manusia homo economicus yang tengah terpasung perangkap budaya konsumerisme.
Akar dari konsumerisme adalah kapitalisme tanpa kendali yang tengah menghancurkan dunia dan menebarkan malaikat maut ke segala penjuru kehidupan manusia. Tak ada sistem sosial yang tidak tunduk pada imperatif ekonomi pasar bebas yakni profit. Yang tak mendatangkan profit dianggap tidak ada atau harus ditiadakan. Dalam sebuah tatanan sosial yang tunduk pada logika profit sebagai prinsip sakral, term-term seperti solidaritas, keadilan sosial dan subsidiaritas tak mendapat tempat. Karena itu atas nama efisiensi, persaingan bebas dan kalkulasi untung rugi, pelayanan-pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, air bersih, pangan, transportasi umum semuanya diprivatisasi. Kapitalisme terutama dalam wajahnya yang paling ekstrim yakni neoliberalisme bertanggungjawab atas ketidakadilan, kemiskinan, peperangan dan kematian massal. Sistem ekonomi kapitalis adalah mesin pembunuh umat manusia, tulis Paus Fransiskus. Kapitalisme berfungsi berdasarkan hukum rimba. Sistem kapitalisme telah menciptakan bentuk-bentuk perbudakan baru seperti sindikat perdagangan manusia untukkepentingan tenaga kerja murah di fabrik-fabrik, prostitusi dan pekerja anak dibawah umur. Persoalan-persoalan ini harus mengganggu ketenangan nurani kemanusiaan setiap orang beriman.
Karena itu Paus meminta semua orang Kristen agar dengan cara-cara damai menentang sistem ekonomi yang eksploitatif tersebut.Sebab Fransiskus lebih menaruh simpati pada model Gereja yang rapuh seperti bejana tanah liat dan kotor karena menceburkan diri dalam pergulatan umat manusia ketimbang Gereja yang sakit karena membangun menara gading dan sibuk mengurus birokrasinya sendiri.
Gereja tidak boleh menarik diri dari dunia, tapi harus masuk ke tengah dunia. Gereja harus menjadi Gereja missioner. Itu berarti, Gereja harus mewartakan SabdaAllah yang membebaskan. Ia harus mampu mendengarkan jeritan para tawanan,menyembuhkan yang sakit, mengadvokasi para korban yang dirampas hak-haknya, dan menurunkan semua yang congkak dari singgasana kekuasaan termasuk singgasana imperium ekonomi yang dibangun di atas piramida kurban manusia. Keterlibatan misioner Gereja ini harus dibangun atas basis spiritualitas yang kokoh yakni iman akan inkarnasi. “Lewat peristiwa inkarnasi Putera Allah telah mengundang kita menuju revolusi cinta yang mesrah,” (88). Yesus adalah seorang revolusioner dan sekaligus panutan satu-satunya bagi semua orang Kristen. Dalam nada teologi pembebasan dan pisau analisis Marxian Paus Fransiskus berpandangan bahwa seorang Kristen yang tidak revolusioner sudah pasti bukan Kristen. Perubahan dunia menuju yang lebih baik hanya mungkin lewat revolusi gaya hidup yang radikal baik pada tataran individual mapun struktural.
Revolusi cinta itu hanya mungkin tercapai jika kita menjadi simbol harapan bagi dunia dan tidak terjerumus ke dalam bahaya pesimisme yang radikal. Pesimisme radikal adalah ciri khas masyarakat yang menggantungkan seluruh hidupnya pada “yang duniawi” semata dan menutup diri terhadap hal-hal adikodrati. Pesimisme radikal adalah karakter dasar orang-orang yang hidup tanpa Allah. Hal ini tampak dalam patologi sosial seperti pragmatisme, individualisme, krisis identitas dan raibnya idealisme.
Dalam situasi ini orang cenderung menarik diri dari dunia dan mencari rasa aman dalam spiritualitas kesenangan (spiritualityof well-being)” minus hidup komunitas atau “teologi kemakmuran tanpa solidaritas sosial bagi kaum miskin” (90). Spiritualitas dan teologi seperti ini tidak pernah mencari kehendak Allah, tapi keamananan dan kebesaran dirinya sendiri (93). Orang miskin mendapat tempat istimewa dalam seruan apostolik Paus Fransiskus. Orang-orang miskin mampu menobatkan Gereja dari Gereja triumfalistik menuju Gereja yang melayani dan dialogal. Karena itu bagi Gereja, orang miskin pada tempat pertama merupakan sebuah kategori teologis, baru pada tahap berikutnya dipandangsebagai kategori sosiologis dan politis. “Karena itu saya mencita-citakan sebuah Gereja yang miskin untuk orang-orang miskin” (198). Dan setiap komunitas dalam Gereja yang melupakan kaum miskin akan berada dalam bahaya menghancurkan dirinya sendiri, sebab tanpa keberpihakan pada kaum miskin kegiatan religius tidak menghasilkan buah dan akan mabuk sempoyongan dalam candu spirituality of well-being (207). Paus Fransiskus mendorong Gereja untuk memberi perhatian khusus bagi kaum lemah dan termarginalkan. Mereka adalah para pengungsi, tunawisma, para pecandu narkoba,penduduk asli yang terpinggirkan dan para penderita HIV. Negara-negara industry maju diminta untuk lebih membuka diri terhadap para pengungsi dari dunia ketiga. Dengan kedatangan para pengungsi negara-negara maju tidak perlu takut akan kehilangan identitas, tapi harus berani menciptakan sintesis kultural yangbaru (210).
Evangelii Gaudium mengundang semua umat beriman untuk bercermin pada hidup para pengarang injil yang selalu membuka diri terhadap karya Roh Kudus. Roh Kudus mengaruniakan kita kekuatan untuk mewartakan kabar gembira secara baru kapan dan di mana saja, kendati harus melawan arus zaman. Untuk itu Paus Fransiskus memberanikan seluruh Gereja:“Lantaran kita tidak selalu menyaksikan benih-benih yang sedang bertumbuh itu,maka kita membutuhkan kepastian dan keyakinan hakiki bahwa Allah dapat bertindak setiap saat, juga di saat-saat kegagalan, sebab harta ini kita punyai dalam bejana tanah liat” (279).
Otto Gusti, SVD
(Dosen Filsafat Politikdan HAM di STFK Ledalero)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.