Perkembangan teknologi komunikasi melalui internet menjadi sebuah dunia baru bagi pengguna jejaringnya karena mampu menghubungkan antara masyarakat untuk saling mengeksplorasi dan membagikan berbagai aktifitas kesehariannya. Relasi itu bukan hanya membangun peta pengalaman di dunia nyata, namun ada sesuatu yang ekstra di dunia maya. Akselerasi perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat saat ini membawa manusia pada sebuah tatanan dimana jarak dan waktu tidak lagi menjadi permasalahan untuk berkomunikasi.
Saat ini model komunikasi digital menjadi tren baru dalam masyarakat seiring berkembangnya beragam situs media sosial di internet seperti Instagram, facebook, twitter, myspace, youtube, google plus dan sebagainya. Keunggulan dari situs atau aplikasi ini adalah desainnya yang multiplatform, yaitu dapat diakses dan terhubung di berbagai perangkat digital. Akibat kemajuan teknologi digital khususnya internet, kita kini hidup di dalam sebuah “dunia yang terhubung” (connected world) atau “zaman berjejaring” (the age of networking). Namun, dalam analisis Didik Purwanto (2012) hampir sebagian besar pengguna internet Indonesia merupakan pelanggan internet mobile. Sebagian besar pengguna internet mobile tersebut hanya menggunakan fungsi internet untuk chatting dan mengakses situs-situs media sosial, bukan mengakses dan mengunduh informasi penting.
Konsekuensinya, adalah konstruksi ruang digital yang diproduksi teknologi membuat manusia hanyut di dalamnya dan terinterupsi dari ruang realitasnya. Dengan kata lain memalsukan relasi sosial menjadi simulasi realitas sosial, yaitu suatu realitas yang dibangun tanpa referensi, sehingga ilusi, maupun citra layar dari smartphone saat berkomunikasi menjadi tampak nyata. Selain itu, penyebaran berita hoaks yang kian marak di media sosial menjadi sumber konflik yang merontokkan kohesi sosial di tengah masyarakat. Tulisan ini berikhtiar untuk memproposalkan etika komunikasi di era digital agar relasi yang dibangun dalam jejaring sosial menjadi suatu komunitas insani yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Komunikasi Digital di Jagat Tak Terhingga: Antara Peluang dan Tantangan
Komunikasi merupakan bagian yang terpenting dan vital dalam kehidupan manusia. Tanpa komunikasi maka manusia dapat dikatakan “tersesat” dalam menjalani kehidupan. Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman, baik secara lisan, tulisan, gambar, langsung maupun tidak langsung. Ruang lingkup komunikasi menyangkut persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan substansi interaksi sosial orang-orang dalam masyarakat, termasuk konten interaksi yang dilakukan secara langsung maupun dengan media komunikasi baik cetak, elektronik maupun digital yang terhubung dengan internet. Internet mampu mengatasi hambatan jarak, waktu dan ruang. Internet memiliki karakteristik interactivity. Jadi peranan internet sebagai media baru dengan keunggulan interaktif dan membangun hubungan secara personal, kelompok maupun massa. Bermacam-macam fasilitas yang disediakan oleh internet mengukuhkan keberadaan komunikasi digital secara aktif satu sama lain.
Era komunikasi digital ini ditandai dengan kedahsyatan perkembangan teknologi yang memunculkan sebuah masyarakat jejaring (network society). Ruang yang terdapat dalam era digital dikenal dengan “ruang siber” sedang realitas di dalam era digital disebut dengan “realitas virtual”. Ruang siber atau realitas virtual bukanlah sesuatu yang maya, halusinasi, ilusi. Realitas virtual (virtual reality) sungguh merupakan virtualitas yang riil (real virtuality) dimengerti sebagai suatu metafora dan manusia masuk ke dalamnya secara imajinatif dan bukan halusinasi.
Jejaring sosial sebagai situasi khas era digital membawa perubahan dalam pola komunikasi antar manusia. Fitur-fitur yang ditawarkan jejaring sosial memudahkan setiap orang untuk membangun komunikasi yang benar, relasi-relasi yang mematangkan pertemanan dan koneksi-koneksi yang dapat mempermudah terciptanya persekutuan. Pemanfaatan jejaring sosial dalam mewujudkan potensi ini membawa orang tidak hanya berbagi gagasan dan informasi, tetapi pada akhirnya orang mengkomunikasikan dirinya sendiri. Dunia digital memberikan kemudahan untuk saling bertemu di luar batas-batas ruang dan budaya kita sendiri, dengan menciptakan sebuah dunia yang sama sekali baru dari persahabatan-persahabatan potensial.
Jejaring sosial kemudian disebut Manuel Castells (2012) sebagai “mass self-communication” – penggunaan internet dan jaringan nirkabel sebagai platform komunikasi digital. Disebut komunikasi massa karena internet meneruskan pesan dari banyak orang ke pihak-pihak lain yang potensial menjangkau penerima pesan yang berganda-ganda dan menghubungkan jaringan-jaringan tanpa penghujung yang menyalurkan informasi digital ke lingkungan terdekat atau bahkan ke seluruh dunia.
Dengan terlibat dalam produksi pesan-pesan jejaring sosial secara massal dan dengan mengembangkan jaringan-jaringan komunikasi horizontal yang otonom, komunikasi digital telah menjadi ruang publik alternatif untuk menyatakan pendapat. Komunikasi yang terbentuk dalam ruang publik berada pada kondisi ideal, di mana tidak ada satu pihak pun dibiarkan menggunakan cara-cara manipulasi, pemaksaan bahkan dominasi. Sebaliknya komunikasi yang dibentuk adalah wacana yang fair.
Namun, perluasan jejaring sosial di ruang publik ini tak pelak menimbulkan tantangan yang serius. Karakteristik jejaring sosial yang otonom menciptakan peluang kelahiran pelbagai persoalan yang kompleks. Adapun sejumlah masalah krusial.
Pertama, komunikasi digital dalam jejaring sosial adalah sebuah ruang tak bertuan. Setiap orang memiliki otonomi untuk mereproduksi informasi. Siapapun dapat berjejaring dan berpendapat tanpa dikendalikan oleh orang lain. Nuasa aktualisasi diri dan sensasi otonomi diri merupakan barang mahal ini tersedia secara gratis melalui youtube, twitter, blog dan website. Setiap orang dapat menunjukkan keragaman identitas, orientasi etis-moral dan cita rasa estetis yang digarap secara mendiri baik yang mengacu pada tradisi budaya masyarakat maupun diracik dengan nilai dan pola hidup baru yang dipelajari dalam jejaring sosial. Konsekuensinya, setiap orang mengklaim kebenaran tunggal dan menolak narasi-narasi kecil dari kekayaan kebudayaan lain. Setiap orang menjadi hakim dan tuhan di media jejaring sosial.
Kedua, intensitas relasi pada jejaring sosial menciptakan jarak dengan realitas. Alih-alih berkomunikasi di jejaring sosial dan menikmati tayangan yang menarik, sejumlah besar orang terjerabut dari realitas nyata. Konstruksi ruang digital yang diproduksi teknologi membuat manusia hanyut di dalamnya dan terinterupsi dari ruang realitasnya. Semakin orang gencar terhubung dengan ruang digital maka orang hidup dalam dunia hiperrealitas yaitu dalam keadaan tidak mampu membedakan antara kenyataan dan fantasi. Fenomena ini merupakan problematik karena hiperrealitas menjauhkan orang dari kehidupan nyata dan dapat mengakibatkan kematian realitas.
Ketiga, hoaks. Penetrasi berita hoaks melalui jejaring sosial menjadi kegelisahan baru dalam perkembangan komunikasi digital. Kebebasan dan otonomi setiap individu tak pelak memudahkan orang untuk mereproduksi hoaks. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa masifnya berita bohong atau hoaks di jejaring sosial tak bisa dilepaspisahkan dari perkembangan teknologi yang begitu pesat. Hoaks berkembang di jejaring sosial didalangi oleh motif-motif tertentu. Hoaks menjadi pintu masuk paham liberalisme, fundamentalisme, sekterianisme dan radikalisme. Ekses negatif ini berpotensi merontokkan kohesi sosial masyarakat.
Etika Komunikasi di Era Digital: Dari Komunitas Jejaring Sosial Menuju Komunitas Insani
Keseluruhan uraian di atas hendak memperlihatkan sentralnya posisi, peran dan tanggung jawab jejaring sosial dalam komunikasi di era digital. Perkembangan Jejaring sosial menuntut komitmen: orang melibatkan diri di dalamnya untuk membangun relasi dan menjalin persahabatan, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mencari hiburan, tetapi juga dalam menemukan dorongan intelektual serta berbagi pengetahuan dan keterampilan. Jejaring sosial semakin menjadi bagian dari tatanan masyarakat sejauh menyatukan orang dengan berpijak pada kebutuhan dasar. Jejaring sosial dengan demikian terpelihara oleh aspirasi yang tertanam dalam hati manusia.
Bertolak dari pengalaman saat ini bahwa relasi jejaring sosial di era digital menimbulkan persoalan yang kompleks. Berhadapan dengan persolan tersebut, kita sebagai pengguna jejaring sosial perlu ‘meniti jalan pulang’ untuk mengembalikan jejaring sosial sebagai sarana komunitas insani yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan. Kita dituntut untuk menjunjung tinggi etika berkomunikasi di era digital. Penulis menawarkan etika komunikasi di era digital sebagai sebuah imperatif moral untuk berelasi di jejaring sosial.
Pertama, dari ada bersama kepada hidup bersama. Manusia bukanlah makhluk yang dapat berdiri sendiri, terlepas dari dunia sekitar. Hidup manusia tidak terlepas dari pengalaman dan tanggung jawabnya berhubungan dengan yang lain. Dengan kata lain, manusia bukanlah suatu suku nomad yang bertualang sendiri di dunia. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada sebuah humanisme sejati yang terfokus pada diri sendiri dan panggilan manusia atau humanisme semata-mata manusiawi. Manusia adalah pribadi otonom yang tidak terlepas dari yang lain. Semua orang yang terlibat dalam proses komunikasi digital perlu menyadari bahwa hidup berarti berinteraksi bersama. Saling berhubungan atau berkomunikasi satu sama lain mutlak mengharapkan situasi persaudaraan dan kebersamaan dengan yang lain, dan dalam kebersamaan itu, setiap orang sanggup mengangkat komunikasi digital menjadi suatu komunikasi yang manusiawi demi kemanusiaan dirinya dan kemanusiaan orang lain. Relasi saling berbagi informasi dan komunikasi antarmanusia perlu didasarkan pada paradigma, pilihan dan keputusan bebas manusia yang dilakukan secara sadar.
Kedua, dari kebebasan kepada pembebasan. Komunikasi di era digital menjunjung tinggi kebebasan dalam menyebarkan informasi dan pengetahuan. Idealisme kebebasan ini seringkali menjadi skandal yang melahirkan aneka konflik karena mentuhankan kebenaran sendiri sembari menolak narasi kebenaran dari orang lain. Hal ini menciptakan kerontokan kohesi sosial. Terhadap konsep kebebasan tersebut, kita perlu merombak konsep kebebasan yang bersifat eksklusif. Kebebasan yang diharapkan dalam komunikasi digital mengarah pada suatu nilai-nilai kemanusiaan. Kebebasan moral hendaknya bermuara pada keputusan untuk melakukan hal yang benar. Jejaring sosial dan komunikasi di era digital hendaknya mengarah orang untuk melayani kebenaran dalam bentuk penyebaran informasi yang benar dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Ketiga, relasi dari jejaring sosial menuju komunitas insani. Komunikasi di era digital hadir sebagai produk dari teknologi yang diciptakan dan sekaligus dikonsumsi oleh manusia. Digitalisasi dalam segala bidang seperti sebuah virus yang tak terdeteksi perlahan menghancurkan manusia. Ia menawarkan kebebasan dan kemudahan yang virtual tetapi dibalik semua itu sebenarnya manusia sedang diatur dalam sebuah sistem yang terstruktur. Hiper-realitas merupakan kondisi di mana keadaan seakan telah melampaui realitas, suatu keadaan seakan telah melampaui realitas, suatu keadaan dimana fantasi berusaha untuk diwujudkan sehingga batas antar keduanya nyaris tiada.
Meskipun relasi di jejaring sosial menciptakan kemudahan. Namun, perlu kita ingat kembali pentingnya komunikasi sebagai kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan sosial manusia, sehingga meminimalisasi kesalahan persepsi, prasangka dan salah paham. Sebaiknya kita menjalin hubungan komunikasi yang seimbang antara dunia nyata dan dunia virtual. Selain itu, mengefektifkan komunikasi antara dua arah secara langsung juga dapat meminimalisasi terpaan fenomena simulacra yang sarat akan hiperrealitas yang membuat kita semakin jauh dari hubungan yang nyata.
Sebaiknya, intensitas penggunaan media virtual tidak dilakukan secara berlebihan untuk meminimalisasi efek negatif yang timbul dari penggunaan yang berlebihan tersebut, seperti waktu terbuang, pencitraan diri yang berlebihan, kurang berinteraksi dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Hal ini dapat merenggangkan relasi sosial di dunia nyata dan akan menggangu orang lain jika dilakukan di tempat umum. Karena pada dasarnya posisi kita yang nyata adalah diri kita yang berada di dunia nyata bukan diri kita yang berada di dunia virtual.
Pada akhirnya, kita semua sepakat bahwa komunikasi di era digital membantu menciptakan ruang baru tempat manusia berbagi gagasan, informasi dan pendapat dan dalamnya dapat terwujud relasi-relasi dan bentuk-bentuk komunitas yang baru. Namun, karakteristik media jejaring sosial sebagai ruang tak bertuan melahirkan aneka tantangan dalam bentuk pengabsolutan kebenaran, penyebaran hoaks dan menjauhkan manusia dari realitas nyata. Berhadapan dengan aneka tantangan ini, maka perlu diatur sebuah etika komunikasi di era digital agar mampu menciptakan dunia hidup bersama yang harmonis dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Perwujudan etika komunikasi mendorong relasi jejaring sosial menuju komunitas insani yang ramah, humani, toleran dan inklusif. Melalui etika komunikasi di era digital ini, diharapkan agar relasi jejaring sosial menciptakan persekutuan-persekutuan hidup bersama untuk memajukan kesetiakawanan umat manusia, damai dan keadilan, dan penghargaan terhadap hidup manusia.
Daftar Pustaka
Purwanto, Didik. “Dominasi Penggunaan Internet Mobile”. http://tekno.kompas.com/read/2012/02/22/17525296/Chatting-dominasi-penggunan-internet mobile-di-indonesia, diakses pada 22 Februari 2019.
Castells, M. (2012). The Network of Outrage and Hope: Social Movement in the Internet Age (Cambridge, UK: Polity)
Ilustrasi: rawpixel
Penulis: Yohanes De Brito Nanto
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.