Rm Agus Alfons Duka, SVD
Sekretaris Eksekutif Komsos KWI
Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Tangerang- Banten membawa lagi cerita kematian bagi bangsa Indonesia. Air bah yang datangnya begitu pagi meluluhlantakan pemukiman warga. Nyawa ratusan manusia direngggut oleh air bah, belum terhitung warga yang hilang dan rusaknya pelbagai saranan publik lainnya seperti rumah, tempat ibadah, sekolah dll. Ayah yang kehilangan putranya, anak yang menemukan ibunya terkulai kaku di tengah reruntuhan, ibu yang menggendong putri terkasihnya yang tak bernyawa…menjadikan Situ Gintung sebagai hikayat kematian yang tak patut dilupakan. Peristiwa ini seolah-olah menjadi klimaks dari rupa-rupa bencana tanah air di awal tahun 2009.
Warga kota Jakarta kian hari tidak bisa lagi membuat prediksi tentang kapan datang hujan atau kapan kemarau tiba. Setiap hari bumi ibu kota itu bisa saja terendam air. Tata ruang kota Jakarta menjadi kacau balau karena tidak memperhatikan konsep pelestarian fungsi ekologi. Bandar udara Soekarno-Hatta kacau karena jalan tol terendam, akibat semakin habisnya lahan serapan air di sekitarnya serta penurunan tanah tujuh centimeter tiap tahun akibat besarnya volume pengambilan air tanah. Permukaan air laut pun naik sekitar 15 cm setiap tahun akibat pemanasan global. Dan cepat atau lambat Jakarta Utara akan terendam air pasang. Ini baru merupakan peristiwa di kota Jakarta. Belum kita inventaris semua bencana serupa di seluruh wilayah tanah air tenggat waktu setahun.
Walaupun pihak kepolisihan masih mengolah data untuk mencari tahu asal muasal air bah yang mematikan itu, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) sebenarnya sudah sejak awal menprediksi dan memaparkan secara ilmiah tentang akan datangnya bencana oleh ulah dan kelalaian manusia itu sendiri.
Di sini kita melihat adanya keterkaitan langsung antara pencemaran lingkungan hidup dan yang lain merujuk kepada bencana bagi umat manusia. Maka nuansa persoalan ini bermuatan ekologis. Karena kepedulian ekologis yang menjadi sasaran survei para ekolog modern justru bermuara pada unsur yang menyangkut keterkaitan manusia (populasi) dan pencemaran lingkungan hidupnya (polusi).
•1. Komunikasi Ekologi: banyak anggota, tetapi satu tubuh
Kata Yunani “oikos” (pemilahan term ekologi) sebenarnya memiliki makna rumah tempat tinggal, lingkungan hidup atau ruang hidup. Lazim kita sebut habitat, yang dihuni oleh manusia, mahkluk organik (tumbuhan, binatang) dan anorganik yang terdiri dari udara, batu, kayu, mineral serta kekayaan alam lainnya. Katakanlah ” oikos” adalah pondok huni bersama manusia dan lingkungannya. Di dalamnya manusia memiliki tiga kemungkinan peranan. Ia bisa menjadi penata rumah, ia juga bisa menjadi perusak rumah dan juga bisa menjadi korban.
Keanekaragaman hayati dan bahan anorganik yang menjadi penghuni oikos (rumah) itu secara bersama-sama membentuk satu lingkaran lingkungan yang masing-masingnya bergantung satu dari yang lain. Suatu bentuk ketergantungan yang begitu alami sehingga bila satu di antaranya tercemar, yang lain turut merasakan dampaknya. Dia dapat kita ibaratkan dengan kisah banyak anggota dan satu tubuh dalam refleksi Santo Paulus dalam Roma pasal 12. Ada keseimbangan ekologis (equilibrio ecologico). Kesimbangan ekologis ini hanya bisa terjadi kalau manusia masuk menjadi bagian dari seluruh tatanan rumah itu. Dengan demikian, manusia tidak seenaknya membuat distansi (jaga jarak) lalu mengatur sesukanya realitas ekologi seolah-olah ia berada di luar ekologi.
Keseimbangan itu bersifat kodrati mengikuti proses dan rentetan seleksi alam. Ia juga sangat labil yang bila dimanipulasi akan serempak berpengaruh pada kualitas hidup manusia dan relasinya kini dan di masa datang. Ekologi dalam konteks ini bermakna relasi antara manusia dengan lingkungan hidup mereka. Suatu relasi yang bersifat komunikatif ( ada interaksi dan sirkulasi pesan/message). Manusia mensyeringkan rasarespect terhadap lingkungan dan lingkungan memungkinkan terciptanya favourable environment (rasa nyaman) bagi manusia. Tak ada prasangka kepentingan. Dengan demikian manusia bisa survive, dan lingkungannya terus lestari. Keutuhan ciptaan (integrity of creation) pada akhirnya menjadi buah dari proses komunikasi. Itulah idealnya komunikasi ekologis (eko-komunikasi).
Maka yang disebut sebagai drama ekologi adalah terputusnya relasi komunikasi itu dengan segala jaringannya. Udara dan air menjadi tercemar, tanah subur dirusakkan, hutan tropis dihancurkan, berkurangnya keanekaragaman hayati dan lain sebagainya yang langsung bedampak pada populasi seperti, kesehatan terganggu dan higiene terancam, prakiraan cuaca menjadi tidak relevan, rawan pangan marak di mana-mana, munculnya wabah penyakit baru dengan simton yang aneh, yang semuanya merupakan konsekuensi ketidak mampuan manusia untuk menanta oikos, rumah kediamannya sendiri. Dengan kata lain, manusia kehilangan rasa ramah terhadap lingkungannya. Ada koneksi antara destruction of ecology (pengrusakan ekologi) dandeteriorization of communication (pemincangan komunikasi).
•2. Spiritualitas Ekologi: duc in altum (bertolak ke tempat yang lebih dalam)
Titik tolak refleksi ekologi harus dilandaskan pada pemahaman bahwa manusia merupakan bagian utuh dari lingkungannya. Pandangan antropomorphisme yang melihat manusia sebagai sentra segala ciptaan telah menjadikan dia penguasa tunggal dan sebagai konsekwensi, alam lingkungan (oikos) tidak memiliki posisi tawar untuk dipertimbangkan dalam rupa-rupa kebijakan manusia. Alam semesta dan segala isinya dengan demikian dikuras habis-habisan untuk memenuhi hasrat manusia.
Pada pihak lain, dibutuhkan penyempurnaan konsep kita tentang ekologi yang pada umumnya masih bersifat reduksionis. Yakni memahami ekologi sebatas upaya menata taman kota agar indah, mengelola situs-situs purbakala demi mempertinggi daya tarik turisme (pleasure travelers) atau melestarikan binatang -hewan piaraan agar tidak punah, dll (konservationisme). Ini bukanlah cara pandang salah, tetapi penekanan yang berlebihan terhadap alam lingkungan sebagai ‘obyek rekreasi’ dan unsur katarsis justru secara laten menyingkapkan kokohnya posisi manusia sebagai penguasa segala dan bukan penanggungjawab segala. Manusia masih saja cenderung menempatkan diri di luar rumahnya (oikos-nya). Pemisahan diri manusia ini sebenarnya adalah sebuah pengurusakan komunikasi ekologi itu sendiri. Hubungan asali manusia dan alam lingkungannya dengan demikian menjadi rusak. Ada kesombongan di satu pihak (manusia) dan ketakberdayaan di pihak lain (alam lingkungan). Jadi sebenarnya, ekologi bukan sekadar persoalan teknis tentang hijaunya dedaunan ( go green), tentang birunya laut atau beningnya air. Ekologi adalah persoalan etika tentang cara berada manusia, cara menempatkan diri, cara berelasi. Suatu cara berelasi (berkomunikasi) yang pada gilirannya mengantar manusia untuk peka melihat misteri yang berada dalam alam dan mengakui bahwa hakekat Allah terungkap dalam ciptan-Nya tanpa harus meragakan sembah kita kepada alam (animisme) atau membaurkan Allah dengan alam (panteisme).
•3. Peran Media Kristiani : Panggilan Komunikasi
Denunsiasi
Media komunikasi pada umumnya atau media Kristen masih kecut membuat denunsiasi (baca: kritikan) terhadap kejahaan-kejahatan moral sosial terhadap ekologi. Bukan berarti bahwa kemasan informasinya yang lebih berkutat di seputar kaki altar gereja dianggap salah, tetapi bahwa panggilan sosial dan moral semestinya menggairahkan panggilan profetisnya untuk menjadikan realitas ketidakadilan ekologi sebagai isi-pesan meditasi bagi jemaatnya. Arah kamera Kristiani belum cukup tertuju kepada realitas ekologi yang sengaja dirusakkan. Mikrofon radio Kristiani masih malu-malu menyuarakan realitas pengrusakan relasi manusia dengan alam lingkungannya. Karena dalam jaman dimana, agenda setting media menjadi dominan (apa yang dibicarakan oleh media akan menjadi tema pembicaraan masyarakat), maka sikap diam media Kristiani akan dekadensi ekologi justru melunturkan hakikat media itu sendiri. Memang ada sekelompok aliran yang mengatakan bahwa, media Kristiani harus mengembangkan jurnalisme damai. Namun hal itu tidak boleh membuat media Kristiani menutup mata terhadap pengrusakan. Bagaimana ada kedamaian kalau terdapat ketidakadilan ekologi dan moral. Damai tak bisa berjalan berdampingan dengan ketidakadilan. Media Kristiani tidak boleh menghamba pada dua tuan.
Anunsiasi
Anunsiasi yang dimaksud disini sebanarnya adalah memberikan solusi, jalan keluar dan alternatif pemecahan masalah. Maka butuh suatu telaahan dan paparan ilmiah tentang data, fakta dan jalan keluar bagi para khalayak media. Mengapa? Karena banyak sekali informasi tentang pengrusakkan ekologi yang bersifat gossip, menutup-nutupi, merekayasa fakta dll. Dengan konsekwensi, khalayak yang adalah masyarakat kebanyakan mendapat informasi yang salah dan timpang. Lebih menyedihkan kalau ketimpangan data itu mempengaruhi mereka untuk turut mendukung tindakan pengrusakkan alam dan kehilangan daya kritis menyikapi petaka ekologi. Media Kristiani sebenarnya harus bekerja berdasarkan data, analisis, jujur (tell the truth) dan menginformasikan itu kepada khalayak dalam tampilan media mereka. Kalau perlu, media Kristiani mencari sumber perdana dalam memberikan informasi. Obyektivitas disini menyangkut tingkat kepercayaan masyarakat. Sekali media mengurangi kepercayaan masyarakat, ia akan ditinggalkan oleh khalayaknya dan belum tentu akan kembali kepadanya lagi. Apalagi dengan kompetisi media yang kian hari kian marak, membangun kepercayaan dan menginformasikan yang benar menjadi unsur hakiki kalau media mau menjadi daya pengubah kegagalan penataan oikos kita (rumah kita bersama).
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.