SEKETIKA ruang pertemuan para ketua dan utusan Komos regio Sumatera tampak hening begitu Romo Murti SJ selesai bicara. Waktu masih pagi, sekitar pukul 09.30. Selama beberapa menit, keheningan itu berjalan. Entah terpukau atau memang belum menangkap penjelasan Romo Murti tentang Sinematografi, keheningan seperti itu mengundang tanya.
“Äda yang mau bertanya?,”tiba-tiba Romo Murti bertanya ke peserta.
Tetapi, sekali lagi, semua masih diam. Tak ada suara tanggapan dari peserta. Hingga Romo Kamilus Pantus, Sekretaris Komisi Komsos KWI, akhirnya bersuara. Sambil membalikan pandangannya ke arah peserta, Romo Kamilus bertanya kepada Pastor Antonius Eko Susanto. “Romo Eko sudah mengerti dengan penjelasan tadi?”
Rekaman suasana seperti itu seakan menyiratkan sebuah pesan bahwa menggeluti dunia sinematografi itu tak semudah yang dibayangkan. Apalagi bagi para pemula seperti saya sendiri. Gampang untuk dibayangkan, namun susah untuk dipraktikan. Nyatanya, ada begitu banyak hal yang mesti dipelajari, dipahami dan dipraktikan. Untuk memasuki dunia sinematografi dibutuhkan sebuah pemahaman estetik melalui paduan seni acting, fotografi, teknologi optic, komunikasi visual, industri perfilman ide, cita-cita dan imajinasi yang sangat kompleks. Pemahaman estetik dalam seni (secara luas), bentuk pelaksanaannya merupakan apresiasi. Apresiasi seni ini mencakup proses sadar yang dilakukan dengan penuh penghayatan sebagai sebuah karya seni (termasuk film). Tidak gampang, bukan?
Lagi pula, sebagaimana disampaikan Romo Murti, untuk memahami dunia sinematografi secara baik, orang mesti belajar juga tentang prinsip-prinsip sinematografi. Disebutkan bahwa prinsip sinematografi itu mencakup tata bahasa (5C)), yakni camera angle atau sudut pengambilan gambar, continuity atau jalan cerita, logika, sebab akibat. Imam Jesuit ini mengatakan bahwa di format apapun selalu ada jalan cerita atau plot di mana dalam penulisan naskah akan terlihat ada protagonjs dan antagonis. Ada konflik dan ada pula solusinya. Lalu, ada cutting atau editing, close up atau ekspresi sebagai kekhasan dunia audiovosial serta composisi.
Karena tindakan mengapresiasi itu tidak lain merupakan sebuah proses menafsirkan makna yang terkandung dalam sebuah karya seni, maka seorang penghayat film, terlebih dahulu harus mengenal struktur dasar film, mengenal bahasa visual film yang dihadirkan, mengenal konteks audio-visual dan semiotika atau system pelambangan, bahasa gambar, mengenal dimensi ruang dan waktu, serta mengetahui azas desain penggarapan film dan karakter setiap unsur pendukungnya.
Pemahaman atau apresiasi atas sebuah karya film selalu memiliki dimensi logis, sedangkan penikmatan hanyalah sebuah proses psikologis. Apresiasi film menuntut keterampilan dan kepekaan estetik untuk memungkinkan seseorang mendapatkan pengalaman estetik dalam mengamati karya film. Pengalaman estetik dapat tumbuh pada setiap orang apabila terdapat proses penghayatan yang sungguh-sungguh, terpusat dan pelibatan emosional. Bahwa pengalaman estetik merupakan hasil interaksi antara karya film dengan penghayatannya.
Anatomi film pada dasarnya dapat dibagi secara subjek dan objek. Subjek film terdiri dari kemampuan sensoris-visual. Dalam gambar film tersimpan visual auditif idiil yang saling berkaitan. Film merupakan sebuah proses kreatif, mimesis dan peristiwa, ada espresi/ide, ada simulasi peristiwa dan menimbulkan apresiasi. Sedangkan objek dalam film terdapat aspek material yang harus dipahami seperti medium celluloid, serta optik dalam compact disk, dll. Aspek formal berbentuk gambar, gambaran ruang dan waktu secara virtual, dan film dibuah berdasarkan pentusunan skenario yang didasarkan atas ide kehidupan manusia secara virtual.
Selama dua hari workhop audiovisual yakni sejak Jumat (22/3) hingga Sabtu (23/2), para ketua Komsos dan perwakilan komsos regio Sumatera berupaya memasuki dunia sinematografi. Sebuah dunia, yang juga diakui oleh sebagian pegiat komsos, masih awam. Namun, dengan dukungan dari para trainer berpengalaman seperti Romo Murti serta beberapa tenaga editing, para pegiat komsos regio Sumatera diharapkan dapat diperkaya dan pelan-pelan mulai masuk menggeluti dunia sinematografi. Dengan lebih banyak waktu praktik membuat film pendek, tentu ini dapat menambah pengalaman visual para peserta.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.