TEPAT dua tahun lalu -13 Maret 2013 – Konklaf yang dihadiri 115 Kardinal di Kapel Sistina, Vatikan, menghasilkan Paus baru.
Tiga kejutan besar sekaligus terjadi saat itu: untuk pertama kalinya seorang Jesuit menjadi Paus, untuk pertama kalinya pula Paus datang dari negara dunia ketiga, serta untuk pertama kalinya seorang Paus mengambil nama Fransiskus (Asisi).
Sebagai Jesuit, Mgr. Jorge Mario Bergoglio SJ mengambil nama patron Santo Fransiskus (Assisi) –dan bukan Fransiskus Xaverius yang Jesuit dan rasul agung Gereja– menjadi nama resminya sebagai Paus. Ini menunjukkan sikap kerendahan hati sebagai imam yang tidak terjebak dalam “persaingan” antar ordo, dan juga menegaskan arah kebijakannya akan berkiblat pada masyarakat marjinal.
Di kemudian hari dalam suatu wawancara dengan media, Paus menjelaskan mengapa dia memilih nama Fransiskus. Rupanya waktu dia telah jelas akan terpilih sebagai Uskup Roma yang baru, Kardinal Claudio Hummes dari Brazil memeluknya dan berbisik “jangan lupakan orang-orang miskin” yang membuat Paus langsung teringat pada Santo Fransiskus Assisi.
“Santo Fransiskus Assisi membawa gagasan kemiskinan melawan kemewahan, gengsi, kekuasaan berlebihan pada zamannya. Dia mengubah sejarah”, demikian ungkap Paus akan kekagumannya terhadap Santo tersebut.
Keserderhanaan sejati
Tanda-tanda perubahan telah muncul dari detik pertama masa kepausannya.
Ketika menerima ucapan selamat dari para Kardinal, Paus Fransiskus tidak duduk di kursi kepausan melainkan berdiri menyambut mereka satu persatu, menunjukkan formalitas akan berkurang di Vatikan.
Ketika dia muncul pertama kali di hadapan umat Katolik yang memenuhi halaman Katedral Santo Petrus dan juga di depan televisi yang menyiarkan siaran langsung upacara tersebut setelah secara resmi Habemus Papam (artinya; ‘Kami mempunyai Paus’) dikumandangkan oleh Mgr. Jean-Louis Tauran, penampilannya langsung menyiratkan karakter sederhananya.
Paus Fransiskus mengenakan busana amat sederhana untuk seorang Paus, juga tanpa sepatu merah dan salib emas yang secara tradisi ‘wajib’ dikenakan Paus. Perubahan juga ditunjukkannya ketika dia pertama-tama meminta doa dari seluruh yang hadir, untuk Paus emeritus Benediktus XVI dan untuk dirinya sendiri, baru dia memberikan berkat Urbi et Orbi (Untuk Kota Roma dan Dunia).
Francis’ effect
Dunia terpesona dan terkagum-kagum dibuatnya, tidak hanya umat Katolik melainkan juga umat beragama lain bahkan orang yang tak beragama. Muncullah kata ‘Francis effect’ di dunia untuk menggambarkan bagaimana perubahan-perubahan terjadi dari seorang Paus Fransiskus.
Kesederhanaannya tidaklah dibuat-buat dan berlanjut terus. Cerita bagaimana dia menolak tinggal di istana kepausan, bagaimana dia membayar sendiri sewa kamar dan membawa sendiri kopernya, duduk bersama di bis bersama para Kardinal bukan di mobil kepausan menghiasi media massa di dunia, bukan hanya media khusus Katolik.
Banyak julukan positif disematkan kepadanya, mulai dari yang serius Tokoh Tahun ini, Orang Paling Berpengaruh di Dunia, sampai yang remeh temeh seperti Berbusana Terbaik.
Pengaruhnya berlanjut selama dua tahun ini, kita menyaksikan melalui pemberitaan yang begitu positif atas kiprahnya.
“Paus merubah bagaimana Gereja menampilkan diri ke dunia,” jelas Pastor Thomas Reese SJ, analis senior dari suratkabar National Catholic Reporter.
“Jika kita kembali ke tiga tahun lalu dan bertanya kepada orang-orang di jalan, apa yang menjadi kepedulian utama Paus? Apa yang menjadi keprihatinan Gereja? Kita akan mendapatkan banyak tanggapan berbeda dibanding dengan kalau kita tanyakan hari ini,” urai Pastor Reese.
Dalam bahasa pemasaran, Paus Fransiskus berhasil me-rebranding Gereja Katolik.
Semoga Paus Fransiskus sehat dan panjang umur, supaya perubahan-perubahan positif terus berlanjut dan dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang.
Kredit Foto: CNA
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.