DI bawah tatapan mata tak kurang dari dua milyar orang melalui TV yang dipancarkan ke seluruh sudut-sudut bumi melalui program siaran langsung, maka Minggu petang ini –tanggal 27 April 2014—bertambahkan dua Santo baru dalam Gereja: Karol Woytyla dan Angelo Guiseppe Roncalli.
Kedua Santo baru ini tak lain adalah Paus Yohannes Paulus II dan pendahulunya Paus Yohannes XXIII. Yang terakhir terkenal karena berani mengambil langkah revolusioner –di tengah usianya yang sudah sepuh banget—dengan menyelenggarakan Konsili Vatikan II. Gereja yang sebelumnya di ‘atas awang-awang’, sedikit feodal dan ‘menjaga jarak’ dengan dunia sekitarnya, oleh Konsili Vatikan II kiblatnya berubah: membuka jendela (aggiornamento), berpartisipasi dengan dunia dan peduli dengan sekitarnya.
Jasa besar
Sementara, Paus Yohannes Paulus II yang sengaja mengambil nama “Yohannes” karena mengacu diri pada Paus Yohannes XXIII juga tak kalah hebatnya. Meski selalu menolak anggapan umum, namun Paus asal Polandia ini –yang ketika dipilih masih berkecamuk Perang Dingin antara Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang komunis—konon disebut-sebut sebagai ‘orang paling berpengaruh’ hingga rezim komunis akhirnya rontok di Uni Soviet, Jerman Timur, Cekoslovakia, Rumania dan hampir semua negara bekas Blok Timur. Tak terkecuali juga di negara asalnya: Polandia.
Seorang vaticanisti –ahli Vatikan—selalu mengibaratkan peran Santo Karol Woytyla ini ibarat angin ribut yang akhirnya menggoyahkan pohon besar nan kokoh bernama komunisme.
Tentu lebih bukan karena ikut berperan menumbangkan komunisme di daratan Uni Soviet, Eropa Timur, dan Blok Timur semata, melainkan Paus Yohannes Paulus II layak menjadi Santo (orang kudus) berkat kesalehannya. Salah satu tonggak penting dalam hidupnya adalah kesediaan Paus mengampuni Mehmet Ali Aqsa, pemuda Turki yang berniat membunuhnya, dan mengunjungi dia di penjara. Pengampunan –seperti sudah menjadi jatidiri iman kristiani—menjadi semangat Paus Yohannes Paulus II, selain tentu saja hasratnya untuk melihat Gereja Katolik yang riil di seantero bumi. Inilah Paus fenomenal dalam sejarah yang paling banyak melakukan ‘pelesiran rohani dan apostolik’.
Mengunjungi Indonesia tahun 1989
Indonesia mendapat kesempatan dikunjungi Santo Karol Woytyla Paus Yohannes Paulus pada bulan Oktober 1989. Santo abad ke-21 yang pernah mendarat di bumi Indonesia ini menyempatkan diri memimpin misa akbar di Gelora Bung Karno Senayan dengan 120 ribu umat katolik, di Lapangan Dirgantara Akademi Angkatan Udara Yogyakarta, Maumere, dan Medan.
Santo ini juga mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh katolik nasional di Universitas Atma Jaya Jakarta. Kursi Paus yang hingga kini masih tersimpan rapi di pojok kaca di lantai dasar Unika Atma Jaya tentu saja sekarang ini menjadi relikui mahal, karena pernah ‘diduduki” Santo Paus. Juga bed yang hingga kini masih tersimpan rapi di Seminari Ritapiret, Flores, NTT.
Minggu petang tadi, hampir semua jaringan televisi internasional menyiarkan secara langsung prosesi kanonisasi Paus Yohannes Paulus II dan Paus Yohannes XXIII. Dengan dihadiri tak kurang dari 122 delegasi internasional –termasuk kepala negara dan kepala pemerintahan– 1.000-an Uskup dan 150-an Kardinal dari seluruh dunia, 5.000-an imam dari berbagai ordo dan kongregasi religius, prosesi kanonisasi ini juga dihadiri oleh mantan Paus Benedictus XVI.
Berkat Paus Benedictus XVI
Orang bilang, kalau saja Paus Benedictus tidak sampai mengundurkan diri pada akhir bulan Februari 2013 lalu, maka Sejarah Gereja juga tidak akan mencungulkan Paus Fransiskus. Tanpa ada Paus Fransikus –Jesuit pertama dan Kardinal dari tlatah Amerika Latin yang ‘berhasil’ menjadi Paus—maka bisa jadi juga tidak akan (pernah) ada Santo Karol Woytyla Paus Yohannes Paulus II dan Santo Angelo Guiseppe Roncalli Paus Yohannes XXIII.
Apa lacur, Sejarah Gereja kadang mengalir bukan karena ‘disetir’ oleh tangan-tangan manusia. Lebih tepat, Roh Kudus lah yang mengendalikan Sejarah Gereja hingga kemudian muncullah Paus Fransiskus dan keputusannya yang ‘heboh’: menetapkan Karol Woytyla dan Roncalli sebagai orang kudus.
Harus ada mukjizat
Padahal, jejak kisah iman berupa mukjizat berkat kedua Santo baru ini boleh dibilang tidak banyak. Suster Caterina Capitani dinyatakan sembuh berkat ‘campur tangan Tuhan’ melalui perantaraan Paus Yohannes XXIII. Juga Floribeth Mora Diaz, ibu dan istri Edwin Arce—juga dinyatakan sembuh dari kanker otak, setelah sekian lama selalu membawa foto dan berdoa melalui perantaraan Paus Yohannes Paulus II. Ia melakukan hal ini karena memandang Karol Woytyla sebagai ‘orang saleh’, begitu kesan pribadinya setelah Paus berdarah Polandia ini datang menginjak kaki dan mencium tanah Costa Rica, negara kecil di Amerika Latin.
Sementara, sebagaimana kita ketahui, Gereja selalu bersikap sangat hati-hati. Gereja juga membutuhkan waktu berabad-abad lamanya untuk kemudian resmi men-declare layak-tidaknya orang katolik saleh layak mendapat sebutan beato atau beata –satu jenjang sebelum akhirnya resmi dikepyake menjadi ‘orang kudus’ sebagai santo atau santa.
Ibu Teresa dari Kalkuta mungkin saja dalam dalam beberapa tahun lagi –siapa tahu—juga akan dicatat dengan tinta emas sebagai ‘orang kudus.
Menyemut hingga ke sudut-sudut jalan
Sepekan setelah Hari Raya Paska 2014, kembali Lapangan Santo Petrus Vatikan menjadi ‘jendela’ peristiwa iman Gereja Katolik. Di sinilah, persis pada Hari Raya Kerahiman Ilahi, Paus Fransiskus berkenan menyatakan kudus bagi Paus Yohannes Paulus II dan pendahulunya Paus Yohannes XXIII.
Lapangan Santo Petrus itu sendiri sudah sangat luas. Namun kali ini, konon lapangan maha luas ini tidak mampu menampung membludaknya satu jutaan orang dari seluruh dunia yang ingin mengikuti prosesi kanonisasi ini dari jarak dekat.
Sejak Sabtu malam, semua lorong jalan menuju San Pietro sudah sesak dipadati oleh para peziarah. Mulai dari “lorong utama” di depan Basilika hingga Lapangan Santo Petrus, terus ke depan mengikuti alur jalan besar Via della Conciliazione sampai menuju pinggiran Sungai Tiber dan Castel Sant’Angelo. Ribuan orang tidak berhasil mendekati ‘arena utama’, cukup hanya puas melihat seluruh prosesi ini dari ‘jauh’ melalui layar monitor raksasa.
Paus sendiri menyapa hangat dan berterima kasih kepada seluruh jaringan media telekomunikasi –radio, televisi, internet, online media—yang membantu prosesi kanonisasi itu hingga bisa diikuti hampir oleh dua milyar mata manusia: sekarang dan di sini.
Begitu keluar dan sampai di Lapangan Santo Petrus, tempik sora membahana menyambut Sri Paus. Pekik sorak juga berkumandang ketika Sri Paus Fransiskus memeluk hangat pendahulu Paus Benedictus yang ikut andil telah ‘melahirkan’ dia.
Dari tahta Regina Caeli, Paus Fransiskus menyapa hangat seluruh anggota delegasi dunia yang berkenan hadir menyemarakkan prosesi kanonisasi ini. Termasuk kepada beberapa representasi dari Gereja Anglikan dan Ortodoks, berikut 18 perwakilan komunitas Yahudi dari Amerika, Israel, Argentina, Polandia dan komunitas mereka di Roma.
Prosesi kanonisasi itu sendiri berlangsung sederhana dan hanya beberapa menit dan kemudian dilanjutkan dengan eksposisi sejumlah ‘benda relikui’ dari Paus Yohannes Paulus II –berupa segumpal darah—dan dari Paus Yohanes XXIII berupa jaringan kulitnya ketika beliau baru saja meninggal dunia.
Kedua benda ini dibawa ke altas oleh Floribeth Mora Diaz, perempuan Costa Rica yang berhasil sembuh ‘berkat’ perantaraan Paus Yohannes Paulus II. Karena Suster Caterina Capitani sudah meninggal dunia, maka relikui Paus Yohannes XXIII dibawa oleh sekelompok anggota keluarga Angelo Guiseppe Roncalli.
Pada hari Minggu Kerahiman Ilahi ini, Gereja Katolik mendapat berkah berlimpah: dua santo baru yakni Karol Woytyla dan Guiseppe Angelo Roncalli. Dan ribuan orang Indonesia pernah bersalaman, bersentuhan, melihat dengan kepala mereka sendiri dengan Santo Karol Woytyla Paus Yohannes Paulus II ini.
Deo gratias.
Mathias Haryadi
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.