TRADISI Rabu Abu datang dari kebiasaan orang Yahudi merayakan pertobatan pada hari Yom Kippur atau Hari Penebusan (dosa). Pada hari itu semua yang melakukan dosa berpuasa dengan berdoa sehari penuh sambil menyelubungi diri dengan karung dan duduk di atas debu.
Kebiasaan ini lalu diambil alih oleh Paus Gregorius I (590-604) dan dijadikan praktek gereja khususnya bagi yang melakukan dosa berat. Konsili Benevento (1091) mengesahkannya menjadi tradisi di seluruh kekristenan sampai saat ini. Sejak abad 11 kebiasaan menerima abu pada hari pertama prapaskah menjadi praktek yang umum. Rabu Abu dan Jumat Agung lalu menjadi hari puasa dan tobat secara penuh.
Nabi Yoel menyerukan pesan Allah: “Berbaliklah kepadaku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa dan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan Allahmu” (2,12-13).
Tanda salib abu yang diterakan pada dahi mengingatkan pesan nabi Yoel ini. Kita adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari debu tanah dan akan mati kembali menjadi debu. Hidup kita tak bisa diprediksi. Bisa sangat singkat tapi bisa juga sangat panjang. Lebih baik berbalik pada Allah dengan sukarela daripada dipaksa.
Jika kita tidak bertobat kembali ke jalan Tuhan kita bisa dihukum dengan hukuman kekal. Namun kita sekaligus juga disadarkan bahwa cinta Tuhan selalu mengundang dan siap untuk menerima kita kembali bagaikan “anak yang hilang”.
Kejahatan dan dosa adalah sebentuk “obesitas rohani”. Nampak sebagai tanda kemakmuran tetapi sesungguhnya adalah sumber penyakit bagi jiwa kita. Orang merasa hebat jika bisa “mengalahkan” orang lain. Orang merasa “puas” jika bisa “menaklukkan” sesamanya. Bahkan orang merasa bangga memiliki harta kekayaan walau dengan cara yang tak sepantasnya.
Puasa pada masa ini mampu mengurangi “lemak” dalam jiwa kita. Puasa bukan terutama berguna secara fisik-apalah artinya berhenti makan sehari seminggu. Puasa yang rutin membangun kesadaran untuk mengekang diri dari segala macam bentuk sikap dan tindakan dosa.
Salib dan abu menjadi simbol penderitaan sekaligus penyadaran diri. Kita sesungguhnya bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan. Tak ada yang perlu dibanggakan. Tak perlu bertepuk dada.
Jika kita harus menderita, sadarilah itu sebagai silih atas dosa-dosa kita. Jika kita dipermalukan, sadarilah itu sebagai jalan menuju pemurnian kita. Jika kita harus kelaparan, sadarilah itu sebagai upaya “diet rohani” bagi kesehatan jiwa kita. Jika kita harus bersusah payah, sadarilah itu sebagai latihan memasuki pintu yang sempit.
Masa prapaskah adalah masa mengurangi ke-AKU-an dan lebih mengutamakan ke-KITA-an.
Setetes Embun: P. Kimy Ndelo CSsR, Pater Provincial C.Ss.R Indonesia
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.