MIRIFICA.NET – Dalam rangka Sinode para uskup 2023, para teolog Katolik Indonesia berpartisipasi menuliskan refleksi-refleksi untuk membantu umat beriman mengalami dan menghayati Sinode yang saat ini sedang berlangsung di tingkat Keuskupan. Mari kita berefleksi bersama dalam tulisan yang diinspirasikan oleh tema ke enam dari 10 tema sinode seperti termuat dalam vademecum sinode. Lihat Paus Fransiskus Membuka Sinode Para Uskup: Merayakan Sinode Berarti Berjalan di Jalan yang Sama
Keberagaman merupakan kenyataan yang melekat dalam diri manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia berdinamika dalam relasi dengan sesama yang beragam, bahkan yang berbeda. Keberagaman itu nyata dalam ruang lingkup sosial, dari tatanan kecil seperti keluarga sampai yang lebih luas dan kompleks seperti agama dan negara. Fakta keberagaman juga menunjukkan bahwa setiap manusia adalah diri yang terbatas, dan karena itu membutuhkan sesama.
Gereja Katolik sungguh menyadari fakta keberagaman dalam masyarakat, dan menawarkan ajaran-ajaran yang memuat model-model berdialog dalam masyarakat. Dengan cara itu, Gereja sendiri juga membangun sebuah dialog dengan masyarakat di mana ia hadir. Artikel ini bertujuan memaparkan beberapa prinsip dasar berdialog dalam pandangan Paus Fransiskus.
Visi Dialog Global Paus Fransiskus
Melalui ajaran dan kesaksian hidupnya sendiri, Paus membangun sebuah etos dialog bagi Dunia dan Gereja. Baginya Gereja merupakan sebuah persekutuan yang memberi kesaksian tentang dialog yang otentik. Ilia Delio misalnya, meyakini bahwa visi dialog global Paus Fransiskus menampilkan corak katolik dalam arti kata sesungguhnya: “Bagaimana wujud kesadaran akan kekatolikan, dan siapakah model kekatolikan di masa sekarang? Tak ada model kekatolikan yang lebih besar di masa ini, selain uskup Roma asal Argentina, Paus Fransiskus”[1].
‘Mewujudkan kemanusiaan baru’, demikian inti visi kepemimpinan Paus Fransiskus[2]. Ensiklik, Surat Apostolik, Katekese, serta sikap nyata Paus memancarkan kehangatan kasih (tenderness) bagi segenap ciptaan. Ia secara konsisten mengajar dan memberi teladan bagi Gereja tentang penghargaan hak hidup segenap ciptaan, sebab hak hidup adalah anugerah yang hakiki. Visi itu tampak jelas dalam Ensikliknya yang ketiga, Fratelli Tutti (FT). Ia konsisten mengajar dan memberi teladan bagi Gereja dan masyarakat tentang dialog kemanusiaan.
Ensiklik Laudato Si’ dan Fratelli Tutti dijiwai gairah dialog universal dengan inspirasi spiritualitas Fransiskus Assisi. Cara hidup Fransiskus yang ditampilkan Uskup Bergoglio ialah cinta akan kehidupan. Mencintai kehidupan berarti merawat corak relasionalnya, yang oleh FT disebut persaudaraan (fraternity). Bagi Paus, dialog persaudaraan menekankan nilai khas Kristiani yang berbeda dari prinsip kesetaraan (liberty) dan kebebasan (egality) [FT.103].
Spirit FT menantang kita untuk keluar dari segala bentuk eksklusivisme: dari konteks lokal sampai komunitas internasional. Manusia terpanggil untuk mengasihi sesama, sebab ia memang tercipta untuk mengasihi. Corak dasar kasih (caritas) ialah memberi yang baik kepada sesama. Makna kata benevolentia ialah menghendaki yang baik bagi sesama.
Keberagaman Sebagai Hadiah
Ketika manusia terlahir di dunia, ia mendapati realitas keberagaman sudah ada. Keberagaman sudah tersedia baginya tanpa ia kehendaki. Memaknai keberagaman sebagai kekayaan berarti menerimanya ibarat sebuah hadiah, dan bukan ancaman bagi manusia. Dan jika kebinekaan adalah kenyataan dalam masyarakat, maka dialog sebenarnya juga sudah menjadi bagian hakiki dari setiap warga masyarakat. Ketika seseorang hadir sebagai pribadi dalam lingkungan sosial, sadar atau tidak, ia tumbuh dan ikut serta dalam dinamika berdialog.
Dalam Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mencita-citakan dialog sebagai sebuah budaya baru. Pada bab enam, dialog dan persahabatan sosial, Paus menekankan kata-kata kunci dalam berdialog: “saling mendekati dan mengungkapkan diri, saling memandang dan mendengarkan, mencoba mengenal dan memahami satu sama lain, mencari titik-titik temu” (FT. 198).
Paus merefleksikan pemaknaan martabat pribadi manusia dalam tatanan sosial. Semua individu tahu bahwa mereka adalah hadiah dari keluarga umat manusia yang lebih besar, yang tanpanya mereka tidak dapat memahami diri mereka sendiri secara penuh.
Saya tidak dapat sungguh berjumpa dengan yang lain kalau saya tidak berdiri di atas landasan yang kokoh, sebab hanya atas dasar landasan tersebut saya dapat menerima hadiah yang orang lain bawa dan sebaliknya memberikan hadiah yang otentik dari pihak saya. Saya dapat menerima sesama yang berbeda dan menghargai sumbangan uniknya yang mereka buat, hanya jika saya kokoh berakar dalam masyarakat serta budaya saya […]. Tanpa menjumpai serta berelasi dengan keperbedaan, sulit untuk mendapatkan suatu pemahaman yang jelas dan utuh bahkan tentang diri kita sendiri serta tanah air kita (FT. 143, 147).
Tujuan Dialog
Mengapa perlu berdialog? Paus Fransiskus memaknai seluruh tata ciptaan sebagai “rumah kita bersama” [LS 1]. Hidup dalam satu rumah bersama berarti hidup dalam spirit dialog dan kerja sama, di mana setiap orang bertanggung jawab merawat keberlangsungan rumah bersama. Dalam rumah bersama, setiap makhluk berada pada tempatnya yang unik. Dalam keunikan itu mereka menjadi sebuah keharmonisan yang indah.
Paus menegaskan bahwa tujuan final dialog ialah kebenaran dan kebaikan bersama. Kebenaran itu melampaui kepentingan pribadi dan kelompok (bdk. FT. 202). Dalam memaknai tujuan itu, dialog dibedakan dari tukar pendapat, perdebatan yang sering bersifat manipulatif, atau negosiasi yang bisa ditunggangi kepentingan kuasa politik, ekonomi, agama, dan media. Bagi Paus, “apa yang disebut kebenaran bukan hanya penyampaian fakta….tetapi terutama pencarian dasar-dasar paling kokoh yang menjadi landasan dari segala pilihan kita” (FT. 208).
Sasaran dari paradigma kebenaran dalam berdialog ialah keluhuran martabat manusia. Masa depan yang mau dicapai dalam dialog masyarakat ialah “mengembangkan rasa hormat yang tulus terhadap kebenaran martabat manusia, yang kepadanya kita tunduk” (FT. 207). Menempatkan kebaikan manusia sebagai sentrum implementasi kebenaran mengandaikan kesediaan orang untuk melawan bentuk-bentuk kepentingan pribadi dan kelompok yang berujung pada pelemahan hak asasi manusia. “Manusia memiliki martabat sama yang tidak dapat diganggu gugat dalam masa sejarah mana pun” (FT. 213).
Lebih jauh Bergoglio berbicara tentang ‘kebenaran abadi’. Baginya, kesadaran akan nilai-nilai etis dalam upaya mencapai kebaikan bersama, merupakan indikasi jelas bahwa terdapat kebenaran abadi di balik pemaknaan diri manusia dan masyarakat. Dalam pandangan kaum agnostik, keluhuran martabat manusia menjadi landasan universal yang valid dalam upaya berdialog. Bagi orang beriman Kristiani, landasan dari prinsip-prinsip penghormatan pada martabat manusia ialah keyakinan bahwa “ia diciptakan oleh Allah” (FT. 214).
Merajut Seni Dialog
Dengan prinsip menerima kebinekaan sebagai kesempatan untuk membangun dialog dalam masyarakat, dialog dapat digambarkan sebagai sebuah seni dalam hidup. “Hidup adalah seni perjumpaan, meskipun ada banyak bentrokan dalam hidup” (FT. 215). Sebagai sebuah seni, dialog perlu dirajut dan dirawat dengan tekun. Ibarat seni menenun kain, dialog adalah seni merajut aneka warna benang menjadi sebuah lembaran kain yang utuh dan indah.
Seni dialog menuntut kesediaan “mengembangkan budaya perjumpaan yang melampaui dialektika yang mengadu domba” (FT. 215). Paradigma berdialog itu oleh Paus digambarkan dengan bentuk polihedron, yaitu benda yang memiliki banyak segi, namun membentuk satu kesatuan yang kaya akan nuansa. “Polihedron menggambarkan sebuah masyarakat di mana perbedaan-perbedaan hidup berdampingan dengan saling melengkapi, saling memperkaya, dan saling menerangi, meskipun disertai katidaksepakatan dan ketidakpercayaan” (FT. 215).
Memaknai dialog sebagai budaya berarti menjadikannya sebagai “cara hidup yang menjadi ciri khas kelompok manusia” (FT. 216). Dialog mengandaikan sebuah ‘budaya perjumpaan’, yaitu kesediaan untuk berjumpa, mencari titik temu, membangun jembatan, merencanakan sesuatu yang melibatkan semua orang. Dalam paradigma ini, dialog bertujuan menciptakan damai tanpa kekerasan. Sebab damai bukan hanya konsensus di atas kertas, melainkan proses perjumpaan yang menuntut kerja keras serta kesediaan untuk menerima perbedaan (FT. 217).
Demi terwujudnya perdamaian berdasarkan budaya perjumpaan, Paus menekankan bahwa agama memainkan peran sangat penting. Bab terakhir FT berbicara tentang dialog antara agama sebagai media bagi persaudaraan universal. Dialog yang dimaksud bukan sekedar toleransi atau diplomasi, melainkan jalinan persahabatan sosial bermotif kasih dan persaudaraan. Inti ajaran agama ialah kasih dan damai. Perang dan teror bukan ajaran agama.
Paus menekankan bahwa agama yang baik mengajarkan damai dan kasih bagi segenap makhluk. Mengasihi Tuhan berarti mengasihi sesama: “Barangsiapa tidak mengasihi sesama yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya” (1 Yoh. 4: 20). Jika ajaran agama merusak etos humanum, ia kehilangan nilainya yang paling esensial. Sikap orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25-37) memberikan pesan bahwa ketika ajaran agama dihayati secara otentik, ia bukan menjadi halangan perjumpaan dengan sesama. Paus menyerukan cara baru memandang sesama: bukan yang lain melainkan kita [FT 35].
Tantangan dalam Berdialog
Salah satu tantangan bagi dialog di masa sekarang ialah peran media. Di satu sisi media membantu kita merasa lebih dekat satu sama lain. Paus bahkan memaknai kemajuan dunia internet sebagai sebuah anugerah Tuhan. Anugerah ini dapat menjadi sarana jejaring yang baik, sebagai media penyatu segenap umat manusia. Paus melihat bahwa “internet menawarkan kesempatan yang lebih besar untuk perjumpaan dan solidaritas” (FT. 205).
Di lain pihak, media juga sering disalahgunakan untuk memanipulasi informasi. Berita di media sering kali hanya bertujuan menyampaikan opini, lalu orang saling menyerang kesalahan, tanpa menyampaikan pandangan baru yang lebih berbobot. Arus umum berita ialah mendiskreditkan lawan, sehingga tidak memungkinkan sebuah dialog terbuka untuk menemukan sintesis yang merangkul semua. Narasi untuk kampanye politik pun menjadi sebuah bahasa umum, sehingga bahasa sehari-hari pun diwarnai dengan manipulasi.
Tantangan lainnya ialah kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Pihak yang mendominasi masyarakat berdialog dengan perhitungan keuntungan dan kerugian. Pihak yang berkepentingan lebih suka pada konsensus dan kompromistis. Tantangan paling serius dalam dialog kemasyarakatan ialah “bahwa yang berkuasa atau paling licik akan mampu memaksakan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran” (FT. 209; bdk. 210). Dalam dunia yang maju dalam sarana komunikasi, orang justru menjadi tuli dan tidak saling peduli: “Dalam segala hiper-konektivitas kita, kita menyaksikan suatu keterpecahan yang menjadikannya semakin sulit untuk mengatasi persoalan yang melanda kita semua” (FT. 7).
Faktor penting yang memungkinkan dialog dalam masyarakat ialah sistem politik yang sehat. Paus berbicara tentang politik kasih: para leaders mengupayakan keberlanjutan hidup seluruh rakyat. Politik dimaknainya sebagai kesempatan bagi para leaders untuk membangun sistem pemerintahan yang menjamin kebaikan bersama. Indikasi sebuah negara dengan sistem politik kuat ialah terjaminnya kesempatan kerja demi keberlangsungan hidup rakyat.
Terhadap tantangan terakhir ini, Gereja (Paus Fransiskus) menawarkan model kepemimpinan yang relevan. Leonardo Boff[3] meyakini bahwa pilihan nama Fransiskus dari Assisi bagi Uskup Roma bukan sekedar nama, melainkan sebuah proyek bagi Gereja. Bagi Boff, Gereja ideal bagi Paus Fransiskus ialah sebuah Gereja miskin bagi orang miskin, di mana para pemimpinnya berbau domba. Kepemimpinan Paus Fransiskus memancarkan sebuah Gereja sebagai communio yang ditandai dengan tiga ciri: diresapi semangat kasih (caritas), berpusat pada Umat Allah (gairah Konsili Vatikan II), dan figur pemimpin yang rendah hati.
Penutup
Visi Paus Fransiskus yang telah dipaparkan di atas melukiskan tantangan serius yang dihadapi umat manusia. Dunia kontemporer sering diibaratkan sebagai dunia terluka, wounded world.[4] Manusia lebih suka berbicara tentang aku daripada kita. Artinya corak relasional diri manusia terluka oleh primat eksklusivisme pribadi maupun kelompok. Dalam konteks ini, Gereja giat berdialog serta mendorong masyarakat untuk berdialog demi kebaikan bersama.
Visi ini tentu relevan bagi Gereja dan Negara Indonesia. Indonesia memiliki beragam pulau, agama, budaya, suku, bahasa. Corak tersebut nyata pula dalam komunitas religius, komunitas gerejani, serta organisasi sosial. Masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini, sayangnya mudah diadu oleh populisme sempit, yaitu politik yang suka melemparkan isu sentimental agama demi kepentingan politik, yang dalam istilah FT disebut divide et impera [FT 12]. FT dapat menjadi acuan dialog persaudaraan bagi Gereja dan masyarakat Indonesia.
Penulis: Andreas Bernadinus Atawolo – dosen STF DRIYARKARA
Sumber Bacaan
Boff, Leonardo, Francis of Rome and Francis of Assisi. A new Spring Tie for the Church, Orbis Books, Maryknoll, NY., 2014.
Delio, Ilia, Making All Thing New. Catholicity, Cosmology, Consciousness, Orbis Books, NY., 2015.
Fransiskus, Paus, Ensiklik Laudato Sí. Terpujilah Engkau (Pnerejemah: Martin Harun OFM.
Editor: F.X Adisusanto SJ., Maria Ratnaningsih & Bernadete Harini Tri Prasasti), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2016.
Fransiskus, Paus, Fratelli Tutti. Saudara Sekalian (Penerjemah: Martin Harun OFM), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2021.
Prodi, Mateo Per una nuova umanità. L’orizzonte di Papa Francesco, Cittadella Editrice, Assisi, 2018.
Vanier, Jean, We Need One Another. Responding to God’s Call to Live Together, Orleans, Paraclete Press, 2018.
[1] Bdk. Delio, Making All Things New. Catholicity, Cosmology, Consciousness, Orbis Books, Maryknoll – NY., 2015, hlm. 184.
[2] Lihat Mateo Prodi, Per una nuova umanità. L’orizzonte di Papa Francesco, Cittadella Editrice, Assisi, 2018, hlm. 51.
[3] Bdk. Leonardo Boff, Francis of Rome and Francis of Assisi. A new Spring Tie for the Church, Orbis Books, Maryknoll, NY., 2014, hlm. 36-41.
[4]Jean Vanier, We Need One Another. Responding to God’s Call to Live Together (Orleans: Paraclete Press, 2018), hlm. 93.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.