Keuskupan Agung Pontianak, Komsos KWI, Komsos Pontianak, konfensi waligereja Indonesia, Mgr. Agustinus Agus, OBOR Indonesia, Para Uskup Indonesia, Sang Gembala, Uskup Agung Pontianak
Ilustrasi Cover: Obor

Judul   : Dengarkanlah Uskupmu (20 Tahun Episkopat Mgr. Agustinus Agus)

Penulis : Masri Sareb Putra, M.A

Tahun  : 2020

Penerbit: OBOR

Tebal : XIV + 211 halaman

Uskup adalah pengganti para rasul (bdk. Christus Dominus, 8 $ 1). Mgr. Agustinus Agus, Uskup Keuskupan Agung Pontianak, mengemban jabatan itu sejak ditahbiskan sebagai uskup pada 6 Februari 2000. Sejak tahun 2000 hingga 2014, pelantun “Mak Odop” itu menjadi gembala di Dioeses Sintang. Kemudian, pada  2 Juni 2014, Paus Fransiskus memilihnya menjadi Uskup Keuskupan Agung Pontianak.

Perjalanan panjang dan penuh liku itulah yang ditampilkan dalam buku “Dengarkanlah Uskupmu: 20 Tahun Episkopat Mgr. Agustinus Agus”, yang ditulis putra Dayak, Marsi Sareb Putra, M.A. Di dalamnya terangkai jalinan kisah kehidupan seorang Mgr. Agus; seseorang imam Tuhan yang mau dipakai oleh Tuhan untuk menjadi gembala umat di  Tanah Borneo.

Bagaikan bejana tanah liat di tangan si tukang priuk (bdk. Yeremia 18), begitulah putra Dayak itu memaknai hidup dan anugerah panggilan Allah. Ada kisah getir kala ditugaskan di tempat-tempat sulit (hlm. 59): Turne ke pedalaman-pedalaman Borneo untuk mejumpai kawanan gembalaan yang hidup menyatu dengan alam dan kesederhanaan, dll. Ada kisah yang sukses dan ada pula kisah yang “keberhasilannya tertunda”.

Buku setebal 211 halaman ini juga mengelaborasi secara singkat “panorama” keluarga jasmani Mgr. Agus di Pedalaman Lintang, Kalimantan Barat. Terlahir sebagai putra Panglima Budjang, salah satu tokoh Meliau dan Tayan pada masa pendudukan Jepang, ternyata membentuk  “DNA” kepemimpinan dalam diri Mgr. Agus. “Makna kekinian dari ”panglima” adalah menjadi seorang pemimpin sejati, yang pertama-tama berpikir, berbuat, dan bertindak untuk kepentingan masyarakat. Benih kepemimpinan dalam dirinya telah ada dan mengalir. Tinggal diimplementasikan dalam situasi dan kondisi yang tepat (hlm. 47).

Selain itu, pembaca akan “meneguk” sejarah singkat Keuskupan Agung Pontianak dan para uskup terdahulu yang membangun fondasi yang kokoh bagi keuskupan tersebut. Apa yang dibangun oleh para uskup terdahulu dilanjutkan dengan baik oleh Uskup kelahiran 1949 itu. ”Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan” (1 Korintus 3:6). Dengan demikian, suksesi kepemimpinan dalam Gereja Katolik, dilihat dalam perspektif rohani: Manusia berusaha, tapi Allah yang memberi pertumbuhan.

Akhirnya, buku ini layak dibaca oleh siapa saja; umat awam, biarawan/ti, para imam, dan juga para uskup. Pembaca akan tercelikan matanya bahwa Tuhan berkarya di tengah-tengah umat-Nya melalui seorang gembala yang baik, yang menuntun kawanan gembalaannya ke padang rumput yang hijau dan sumber air yang tenang (Mzm. 23). Selain itu, pembaca juga akan menemukan kisah keteladanan seorang gembala yang mau hidupnya “dipecah-pecahkan” dan dibagi-bagikan” untuk kemaslahatan banyak orang. “Bahwasanya seorang pemimpin atau gembala umat dituntut pandai membangun komunikasi di semua level, sedemikian rupa, dengan cara dan gayanya, seiring perubahan dan tuntutan zaman. Bagaimana membawa pesan dari altar ke pasar agar diterima oleh semua khalayak tanpa kehilangan makna kekudusan (hlm. x).” Rian Safio