Beranda OPINI Dasar-dasar Evangelisasi melalui Media

Dasar-dasar Evangelisasi melalui Media

Paus Yohanes Paulus II sedang berselancar di internet

1. Pendahuluan

Dengan judul di atas saya tidak bermaksud memberikan kuliah Misiologi, namun demikian thema  yang ditetapkan oleh panitia, dan,  menurut saya, itu tidak keliru. Karena itu saya berusaha mengupas thema ini dalam seminar ini. Saya, dengan perspektif teologis-filosofis,  akan berusaha masuk ke dalam persoalan dasar-dasar evangelisasi itu dan kemudian ke dalam persoalan penggunaan media komunikasi sosial dalam pewartaan. Dan supaya materi ini tidak hanya bersifat normatif-teologis melainkan juga lebih menjadi  sebuah teologi kontekstual, maka saya akan merefleksikan penggunaan media komunikasi sosial sebagai bentuk pelayanan kepada orang miskin. Mengapa? Karena pada tahun ini kita merayakan dan merenungkan Tahun Injil Orang Miskin.

Para uskup di Asia, pada tahun 1970, memandang penggunaan media massa  perlu “untuk memperdengarkan suara Kristus secara lebih relevan mengenai soal-soal aktual … seperti keadilan sosial, pendidikan dan kebebasan politik”.[1] Media massa dapat mengontrol segala program pemerintah, khususnya program pemberdayaan orang miskin. Media massa bisa mengawasi apakah dana bantuan bagi orang miskin sudah sungguh sampai ke tangan mereka atau tidak.

Dalam kerangka dasar itu, maka berikut ini, saya akan pertama-tama mengemukakan gagasan-gagasan teologis pokok dalam evangelisasi, seperti  communio dan communicatio, evangelisasi dan evangelisasi baru, dan terutama evangelisasi dan kesaksian. Pada bagian kedua saya akan mengemukakan gagasan-gagasan filosofis pokok berkaitan dengan media komunikasi sosial, seperti causa principalis dan causa instrumentalis, gagasan tentang wartawan dan pewarta, dan kemudian bagaimana media itu digunakan untuk melayani orang miskin. Akhirnya, ditutup dengan refleksi tentang  wartawan dan pewarta dalam evangelisasi melalui media dan evangelisasi melalui mimbar Gereja.

2. Dasar-Dasar Evangelisasi

2. 1. Communio dan Communicatio 

Hakikat dasar hidup Gereja adalah kenyataan dirinya sebagai persekutuan, sebagai suatu kesatuan (communio). Gereja bukanlah pertama-tama untuk berkumpul menegaskan atau menentukan sesuatu, namun untuk menghidupi sabda yang diterimanya. Dan gagasan Gereja communio ini berkaitan erat dengan communicatio (komunikasi). Gagasan komunikasi dalam Gereja berakar dari realitas inkarnasi Sabda Allah karena di dalamnya terwujud communio antara Allah dan manusia. Inkarnasi Sabda Allah adalah komunikasi diri Allah dalam diri Yesus Kristus. Karena itu, perjumpaan dengan Kristus, Sabda yang menjadi manusia, adalah pintu masuk dan pusat kehidupan Gereja sebagai persekutuan. Dan kalau Gereja itu disebut sebagai sakramen keselamatan maka itu berarti sakramen keselamatan dalam persekutuan (communio sacramentalis).[2] Disebut persekutuan sakramental karena persekutuan itu berakar dan berdasar pada persekutuan atau kesatuan dengan Allah.

Atas dasar communio dengan Allah ini baru kita bisa berbicara tentang communio sebagai ambil bagian dalam hidup ilahi melalui sabda dan sakramen, misalnya sakramen ekaristi. Melalui sabda dan sakramen manusia dipersatukan dengan Allah dan dimasukkan ke dalam persekutuan para orang beriman. Persekutuan orang beriman ini pada tempat pertama  ialah jemaat setempat yang berkumpul merayakan ekaristi. Kemudian baru kita berbicara tentang communio antara Gereja-gereja partikular dengan Gereja universal, dan tentang communio jemaat Gereja lokal yang diperagakan pada tingkat keuskupan oleh persatuan para pastor dengan  uskup sebagai pastor utama di dalam keuskupannya.[3]

Dengan ini jelas bahwa communicatio adalah gagasan kunci berkaitan  dengan Gereja  communio itu. Kesatuan atau persekutuan itu hanya terwujud kalau ada komunikasi antara pihak-pihak atau unsur-unsur yang bersatu itu. Semua orang beriman yang dipanggil ke dalam communio, dipanggil untuk berperan serta yang sadar dan aktif yang tidak hanya berlaku untuk liturgi melainkan untuk seluruh hidup dan tugas Gereja. Maka seluruh Gereja dalam seluruh hidupnya mempunyai  maksud misioner, yakni  ia dipanggil menjadi sakramen keselamatan bagi semua orang, menjadi ragi yang meresapkan semangat dan nilai-nilai Kerajaan Allah, semangat communio dan communicatio ke dalam seluruh dunia. Jadi, semua manusia dan bangsa memperoleh communio dan communicatio satu sama lain.[4]

2. 2. Evangelisasi dan Evangelisasi Baru 

2. 2. 1. Evangelisasi

Istilah evangelisasi relatif baru dalam lingkungan Gereja, yakni baru sejak Konsili Vatikan II (1962-1965). Sebelumnya Gereja menggunakan istilah misi bukan evangelisasi, dan kegiatan misi  itu berorientasi pada menobatkan orang.   Dalam Konsili Vatikan II istilah evangelisasi sebanyak 31 kali dipakai, sedangkan istilah Evangelium (Injil) sebanyak 18 kali dan 157 kali mewartakan Injil.[5] Yang dimaksud dengan evangelisasi adalah pemakluman pewartaan kristiani yang paling dasar kepada orang-orang yang belum percaya kepada Kristus. Evangelisasi di sini  masih searti dengan misi, yakni pewartaan amanat dasar Injil kepada mereka yang belum mengenal Yesus Kristus.

Kemudian Paus Paulus VI memakai istilah evangelisasi itu dalam arti seluas-luasnya sehingga istilah itu praktis berarti segala usaha untuk mewartakan, memperkenalkan dan meresapkan kabar gembira tentang Yesus Kristus dan nilai-nilai Injil kepada umat manusia dalam semua aspeknya.  Dengan maksud memberikan orientasi yang lebih jelas kepada perutusan Gereja, Paulus VI memilih tema “Evangelisasi Dalam Dunia Moderen” dalam sinode para uskup pada tahun 1974. Berdasarkan bahan dari sinode ini lalu ia menerbitkan Amanat Apostolik Evangelii Nuntiandi (1975), di mana di dalamnya beliau mengartikan evangelisasi secara lebih luas. “Evangelisasi adalah rahmat panggilan khas Gereja, merupakan jati dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan Injil, artinya untuk memaklumkan dan mengajar, menjadi saluran anugerah rahmat, untuk mendamaikan orang-orang berdosa dengan Allah dan untuk melanggengkan kurban Kristus dalam ekaristi, yang adalah kenangan akan wafat dan kebangkitanNya yang mulia” (EN 14).

Menurut Paulus VI, Yesus adalah “penginjil pertama dan terbesar” (EN 7). Karya Yesus sebagai evangelisator adalah mewartakan Kerajaan  Allah. Tentang Kerajaan Allah inilah Yesus bersaksi dalam karya penyembuhan dan pemeriharaanNya dan Ia mewujudkan dalam misteri terdalam kepribadianNya. Kunci untuk memahami kerajaan ini adalah gagasan tentang keselamatan yang disediakan Yesus bagi semua orang yang dijumpainya, dengan satu-satunya syarat bahwa orang itu terbuka sepenuh-penuhnya kepada kasih Allah dengan melewati “suatu pembaruan batin yang menyeluruh … suatu keterlibatan yang radikal, perubahan pikiran dan hati yang mendalam” (EN 10).

Selanjutnya Gereja mengambil bagian dalam tugas misi Yesus itu, yaitu mewartakan, melayani dan bersaksi tentang Kerajaan Allah dengan segenap hati. Di sini paus merefleksikan corak majemuk dari proses evangelisasi itu:[6] Pertama,  Evangelisasi bermula dengan “pewartaan Kabar Gembira secara diam-diam”, yaitu ketika orang Kristen memberikan kesaksian melalui cara hidup bersama mereka, melalui solidaritas mereka dengan kebudayaan lokal, melalui tindakan yang luhur dan baik mereka (EN 21). Kedua, ketika orang mulai bertanya mengenai motivasi mereka  bersikap dan bertindak demikian, maka orang Kristen menjawabnya dengan pewartaan Injil khusus (EN 22). Ketiga, lalu orang menyatakan minat mereka lebih lanjut akan amanat Injil, mendekatkan diri mereka ke dalam Gereja sebagai katakumen dan melalui pembabtisan menjadi Gereja (EN 23). Kemudian mereka yang baru dibabtis bersama mereka yang lama sama-sama melakukan pewartaan baru lagi.

2. 2. 2.  Evangelisasi Baru

Istilah Evangelisasi Baru berasal dari Paus Yohanes Paulus II. Istilah itu diungkapkannya pada tahun 1983 di hadapan para Uskup Amerika Latin, di Haiti, dalam rangka perayaan 5 abad kedatangan Injil untuk pertama kalinya di benua itu. Paus berpesan: “Peringatan 500 tahun evangelisasi hanya akan mempunyai makna yang sepenuhnya, apabila perayaan tersebut disertai dengan komitmen anda, para uskup, bersama dengan kaum klerus dan awam, suatu komitmen bukan kepada evangelisasi kembali (re-evangelisasi) melainkan kepada suatu evangelisasi baru, baru dalam semangatnya, dalam metodenya, dan dalam ungakapan-ungkapannya”.[7]

Dalam pidato itu Bapa Suci tidak menguraikan lebih lanjut secara jelas dan ekplisit apa yang dimaksud semangat baru, metode baru dan ungkapan baru. Akibatnya, para penulis tentang Evangelisasi Baru tidak selalu sepakat dalam menafsirkan ketiga kategori kebaruan dari evangelisasi baru itu. Berikut ini kita mengikuti tafsiran Mgr. J. E. Bifet, yang dikemukakannya dalam tulisan, “Church Renewal for a New Evangelization.[8]

Pertama, Evangelisasi Baru dalam semangat:[9] Semangat baru adalah dorongan atau tekad yang diperbarui untuk mewartakan Kabar Gembira. Tekad itu disertai dengan kerelaan dan kesiapsediaan orang untuk menjadi pewarta Kabar Gembira. Tekad itu mengandaikan juga usaha-usaha serius untuk menggalakkan panggilan menjadi pewarta Kabar Gembira itu. Dan yang dimaksud pewarta Kabar gembira itu tidak terbatas pada   klerus dan religius melainkan juga kaum awam. Gereja membutuhkan keterlibatan semua orang kristen untuk mewartakan Kabar Gembira tentang Yesus Kristus. Alasan utama pembaruan semangat ini adalah kenyataan berikut ini: setelah hampir dua ribu tahun Yesus Kristus mengutus Gereja untuk mewartakan Injil kepada seluruh bangsa, ternyata masih dua pertiga  penduduk dunia ini belum mengenal dan menyerahkan diri kepada kasih Kristus.

Kedua, Evangelisasi Baru dalam metode:[10] Metode baru bisa dalam beberapa arti.  Pertama, menurut Leonardo Boff, metode baru dalam evangelisasi adalah bahwa orang miskin sebagai titik-tolak evangelisasi. Dasarnya adalah karena Yesus Kristus sendiri menggunakan pendekatan ini. Ia mewartakan Injil sebagai orang miskin dan kepada orang miskin. Yesus datang untuk membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia, terutama orang miskin dan menderita. Pewartaan Injil harus ditujukan pertama-tama kepada mereka untuk membebaskan mereka dari segala bentuk kemiskinan yang membelenggu. Kedua, metode baru juga berarti penggunaan sarana dan teknik komunikasi yang baru. Pewartaan Kabar Gembira membutuhkan teknik-teknik manusiawi yang cukup menunjang keberhasilan evangelisasi. Teknik dialog misalnya dapat membuat Alkitab menjadi lebih hidup karena orang tidak menjadi pendengar pasif. Selain teknik komunikasi itu, evangelisasi baru mendorong juga penggunaan sarana-sarana komunikasi massa yang baru yang lebih sesuai dengan kemajuan zaman.

Ketiga, Evangelisasi Baru dalam ungkapan:[11] Wujud baru evangelisasi adalah bagaimana pewartaan Injil itu diintegrasikan ke dalam kebudayaan bangsa setempat, dan itulah yang kita namakan inkulturasi. Pengintegrasian Injil dengan kebudayaan bangsa setempat dilakukan sejauh unsur-unsur kebudayaan itu tidak bertentangan dengan isi Injil. Dengan inkulturasi itu barulah kita bisa berbicara tentang Gereja Indonesia dan tidak lagi hanya tentang Gereja di Indonesia. Akan tetapi menurut Yohanes Paulus II, inkulturasi itu adalah suatu proses yang panjang, karena tidak sekadar soal adaptasi luaran semata-mata.[12] Inkulturasi adalah “suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui suatu proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia” (Redemptoris Missio 52). Jadi, evangelisasi yang benar harus sampai kepada manusia dengan segala kekhasaan kebudayaannya. Evangelisasi harus mengambil unsur-unsur yang baik dan otentik dari kebudayaan itu, meresapi dan menyempurnakan dengan semangat Injil dan mengintegrasikannya ke dalam penghayatan iman Kristen. Hanya dengan cara demikian, orang dapat menghayati iman Kristen, yakni menghayati Injil sebagai sesuatu yang tidak asing baginya.

            2. 3. Evangelisasi dan Kesaksian 

            Pada tahun 1991 Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa bekerjasama Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama mengeluarkan Dialog dan Pewartaan.[13] Menurut dokumen ini, perutusan evangelisasi, atau lebih sederhana evangelisasi, mengacu pada perutusan Gereja sebagai keseluruhan. Sedangkan istilah pewartaan diartikan sebagai “komunikasi pesan Injil, misteri keselamatan yang dilaksanakan Allah bagi semua orang dalam Yesus Kristus berkat kuasa Roh Kudus. Pewartaan merupakan suatu ajakan untuk menyerahkan diri dalam iman kepada Yesus Kristus dan melalui pembabtisan masuk ke dalam persekutuan kaum beriman yang adalah Gereja. …Pewartaan biasanya terarah pada katekese yang bertujuan untuk memperdalam iman itu. Pewartaan adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak dari evangelisasi” (Dialog dan Pewartaan 10).

Menurut Mortiner Arias,[14] pewartaan adalah tindakan mengkomunikasikan Injil tentang Yesus dan Injil dari Yesus. Injil tentang Yesus maksudnya bahwa pewartaan yang dilakukan Gereja berarti mengisahkan cerita tentang Yesus, kehidupan, pelayanan, kematian dan kebangkitanNya. Sedangkan pewartaan Injil dari Yesus berarti bagaimana perumpamaan-perumpamaan yang dikemukakan Yesus menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka menjadi orang-orang yang rela mengampuni; bagaimana mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka juga menjadi pelaku penyembuhan; bagaimana pengusiran setan yang dilakukan Yesus menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka juga menentang secara mutlak kejahatan dalam segala bentuknya; bagaimana gaya hidup Yesus yang merangkul semua orang menjadi imperatif bagi para muridNya agar mereka juga  menjadi manusia yang bisa merangkul semua orang.

Dengan ini jelas bahwa pewartaan bukan melulu komunikasi tentang sebuah kisah di masa silam, yakni sekadar Injil tentang Yesus, melainkan bagaimana kita mewujudkan nilai-nilai yang dikemukakan melalui perkataan dan perbuatan Yesus itu di era kita sekarang ini, jadi Injil dari Yesus.  Kata kunci di sini adalah kesaksian. Paulus VI menulis “sarana utama bagi evangelisasi adalah kesaksian hidup Kristen yang otentik” (Evangelii Nuntiandi 41). Sedangkan “pewartaan” menurut Dialog dan Pewartaan, “adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak evangelisasi” (10).  Jadi, pewartaan Gereja bukanlah urusan perkataan semata melainkan terutama urusan perbuatan  yaitu kesaksian hidup orang-orang Kristen. Mengapa kesaksian hidup? Karena misi Yesus sendiri dicirikan oleh perkataan dan perbuatan, di mana yang satu menjelaskan yang lain. Dan mandat misioner Yesus bagi Gereja diungkapkan oleh Injil Lukas 24: 47-48: “pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa. Kamu adalah saksi dari semuanya ini”, dan Kis 1:8: “kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”.

Maka masalah evangelisasi kita dewasa ini sebenarnya bukan pada soal ketidakmampuan para evangelisator untuk berkata-kata tentang Yesus Kristus melainkan pada soal kesesuaian antara apa yang diwartakan oleh evangelisator dan apa yang dia sendiri hayati dalam hidupnya. Singkatnya, masalah kita adalah masalah  kesaksian hidup, yaitu kesaksian hidup kita sebagai orang Kristen tidak sejalan dengan apa yang kita wartakan dan bahkan justru bertentangan dengan apa yang  kita wartakan. Kalau kita mencermati bahasa Evangelii Nuntiandi 41, di sana kita temukan penekanan Paulus VI pada kesaksian hidup. Menurut Paulus VI di dalam Evangelii Nuntiandi artikel 41 ini, manusia dewasa ini lebih senang mendengarkan para saksi daripada para pengajar. Mengapa? Karena para pengajar bisa saja berbicara secara gemilang tentang Yesus Kristus namun hidupnya sendiri jauh dari apa yang dikatakan itu. Karena itu, manusia dewasa ini hanya mau mendengarkan para pengajar  itu sejauh didukung oleh kesaksian hidupnya.[15]

3. Menggunakan Media Komunikasi Sosial  dalam Pewartaan

Salah satu unsur kebaruan dari evangelisasi baru adalah menyangkut motode, yakni  menyangkut teknik dan sarana baru dalam pewartaan. Evangelisasi baru mendorong juga penggunaan sarana-sarana komunikasi baru yang lebih sesuai dengan kemajuan zaman, seperti, penggunaan radio, televisi, media cetak, dan internet.  Semua sarana komunikasi sosial itu memang  bukan pewarta namun mereka sebagai alat dapat “berperan” dalam pewartaan.

3. 1. Causa Principalis (pewarta) dan Causa Instrumentalis  (media)

Kalau pewartaan dan kesaksian berkaitan erat, seperti dikatakan oleh Paus Paulus VI itu, apakah sarana-sarana komunikasi sosial dapat digunakan dalam pewartaan? Apakah radio, televisi, surat kabar, majalah, buku, internet, dan film, bisa memberikan kesaksian. Betul bahwa semua sarana itu dapat menyampaikan pesan kepada penerima, tetapi apakah mereka sebagai alat bisa memberikan kesaksian seperti dituntut oleh evangelisasi itu? Jawaban kita, meski sarana-sarana itu tidak memberikan kesaksian namun mereka sebagai alat dapat “berperan” dalam mewartakan dan sekaligus memberikan kesaksian kepada manusia.

Dalam konteks ini, evangelisator (pewarta Injil) adalah causa principalis dan sarana komunikasi sosial adalah causa instrumentalis. Di sini causa principalis adalah sebab yang sendiri mengakibatkan sesuatu. Ia menghasilkan sesuatu dengan dayanya sendiri. Sedangkan causa instrumentalis juga disebut sebab tetapi  sebab yang tidak oleh sendirinya mengakibatkan sesuatu ada.[16] Suatu alat tidak mempunyai daya untuk menghasilkan sendiri suatu hasil. Kegiatan suatu media  sebagai causa instrumentalis bergantung pada pengaruh sepenuhnya dari apa yang dia terima dari causa principalis yakni para pekerja media.

Meski benar bahwa suatu alat tidak bergiat dari sendirinya, namun tidak benar bahwa alat itu tidak berbuat atau tidak menyebabkan apa-apa. Bagaimanapun alat itu ikut menentukan atau mengakibatkan sesuatu. Jadi, alat sebagai alat mempunyai kausalitas yang khas bagi mereka. Kausalitas dari alat terletak dalam kenyataan bahwa suatu alat memodifikasi atau menspesifikasi suatu akibat. Suatu akibat bergantung secara riil dari jenis alat yang dipergunakan, meskipun kegiatannya sepenuhnya bergantung pada causa principalis. Jadi, kesempurnaan suatu alat bersifat relatif, karena bagaimanapun kausalitas dari alat itu bergantung dari maksud untuk apa ia dipakai, jadi bergantung pada penyebab utama.[17]

Berdasarkan distingsi antara causa principalis (penyebab utama) dan causa instrumentalis (penyebab alat) ini, kita dapat menjawab pertanyaan di atas, bahwa pewartaan Injil tetap berada di tangan sang pelaku atau pekerja media, hanya bagaimana pewartaan Injil itu disampaikan kepada penerima di situlah peran media sebagai causa instrumentalis. Jadi, keterlibatan atau kausalitas dari  radio, televisi, surat kabar, majalah, dan internet,  dalam pewartaan, semuanya bergantung pada untuk apa mereka dipakai oleh pelaku media.[18] Dan bagi media Katolik, sarana komunikasi sosial itu dipakai untuk, dalam arti luas, “mewartakan” Injil. Karena bagaimanapun, dalam arti tegas, mewartakan Injil tetap dilakukan oleh  manusia.

  1. 2. Analisis Media: Posisi Media dan Posisi Wartawan 

Dalam Filsafat Media sampai dengan saat ini dikenal dua paradigma utama mengenai media, yakni paradigma realis dan paradigma kritis.  Kedua paradigma ini memiliki pandangan berbeda tentang posisi media dan posisi wartawan. Bagi paradigma realis, juga disebut paradigma pluralis, realitas adalah bersifat eksternal, yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi ada realitas yang objektif. Karena itu berita adalah pencerminan dari realitas. Sedangkan bagi paradigma kritis, yakni paradigma yang bersumber pada filsafat atau teori kritis Mashab Frankfurt, realitas tidak pernah objektif melainkan selalu sudah terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Karena itu, berita adalah realitas yang telah disikapi atau dibentuk oleh wartawan.[19]

Tentang  posisi media, bagi kaum realis/pluralis, media adalah saluran yang netral. Ia memberitakan apa saja sebagaimana adanya tanpa melibatkan sikap dan pandangan dari pelaku media. Sedangkan bagi kaum kritis, media bukanlah saluran netral melainkan saluran pertarungan ideologi antara kelompok yang ada di dalam masyarakat. Media bukan saluran yang netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok yang ada dalam masyarakat secara apa adanya. Titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis ini adalah bagaimana media melakkukan politik pemaknaan.[20]

Sedangkan posisi wartawan sejalan  dengan  posisi terhadap media itu. Bagi kaum realis, wartawan adalah pelapor. Ia hanya menjalankan tugas untuk memberitakan fakta, dan tidak diperkenankan pertimbangan moral dari wartawan. Pertimbangan moral yang dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan harus disingkirkan. Sedangkan bagi paradigma kritis justru sebaliknya. Bagai mereka, wartawan tidak sekadar pelapor. Wartawan bukanlah robot yang merekam apa adanya, melainkan ia meliputi dengan sekaligus menentukan fakta atau kejadian itu menurut pertimbangan-pertimbangan moral dan nilai-nilai tertentu lainnya, yang tidak bisa dihilangkan dari pemberitaannya. Jadi, wartawan bukanlah subjek yang netral, melainkan bagian dari anggota masyarakat yang ikut menilai kejadian sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Wartawan adalah partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Ia mempunyai nilai-nilai tertentu yang diperjuangkan dalam pemberitaan itu.[21]

Dari dua posisi media itu, yang akhirnya berakibat pada dua macam posisi wartawan itu, di mana posisi media Katolik sebagai sarana evangelisasi, apakah menganut paradigma realis atau paradigma kritis? Kalau kita bertolak dari dasar-dasar evangelisasi yang dibicarakan di atas, maka media Katolik di sini menganut paradigma kritis. Karena, seorang pelaku atau pekerja media, tidak sekadar memberitakan peristiwa Yesus dari masa lampau melainkan memberitakan hal itu dengan terlebih dahulu ia sendiri terlibat dalam apa yang diberitakan. Seorang pelaku atau pekerja media  (wartawan) mengambil bagian dalam apa yang dia beritakan. Jadi, ia tidak bersikap netral terhadap apa yang disampaikan melalui radio, televisi, media cetak dan internet itu. Apa yang dia sampaikan melalui media itu, itulah juga sikapnya, itulah hidupnya. Dengan demikian, perannya ganda, ia wartawan sekaligus pewarta.

3. 3. Media Komunikasi Sosial sebagai Pelayanan Orang Miskin

Seperti dikatakan oleh Leonardo Boff di atas bahwa metode baru dalam evangelisasi adalah orang miskin sebagai titik-tolak evangelisasi. Mengapa orang miskin sebagai titik tolak atau sebagai tujuan evangelisasi? Karena Yesus Kristus sendiri menggunakan pendekatan ini. Ia mewartakan Kabar Gembira, dimana Ia memberikan perhatian kepada orang miskin, dan Ia sendiri juga hidup sebagai orang miskin.[22] Atas dasar itu, dalam hal penggunaan media komunikasi sosial saat ini, keterlibatan Gereja perlu ditempatkan di dalam situasi  orang miskin ini.

Media Katolik harus berorientasi pada pelayanan terhadap orang miskin. Mengapa? Karena tradisi spiritual dan mistik dalam kekristenan selalu melihat Yesus dalam diri orang yang menderita, orang miskin dan korban kekuasaan. Kehidupan kebanyakan orang kudus dari Fransiskus Asisi sampai Ibu Theresia memperlihatkan hal itu. Michael Mollat menyebut orang miskin, dalam kerangka teologi Kristen, sebagai vicarius Christi, wakil Kristus.[23] Orang miskin menghadirkan Kristus. Bila orang miskin dan menderita menghadirkan Kristus, maka sebagai konsekuensinya kita harus memberikan perhatian kepada mereka.

Kebaruan evangelisasi baru menurut Boff adalah bahwa orang miskin sebagai titik tolak dan tujuan evangelisasi. Evangelisasi melalui media berarti media komunikasi sosial (radio, televisi, surat kabar, majalah, buku, dan internet) bisa menjadi sarana yang efektif untuk menghasilkan semangat pelayanan, sebuah kebudayaan solidaritas dan terutama untuk membangun kesadaran kritis. Media memiliki tanggung jawab sosial  yang besar yang tidak boleh dikompromikan demi alasan persaingan dan pencapaian keuntungan ekonomis semata. Intinya, sarana komunikasi sosial yang sangat penting ini harus diarahkan untuk melayani kepentingan banyak orang, terutama orang miskin. Kesadaran baru ini mengajak orang Kristen yang berkeyakinan kuat agar masuk ke dalam dunia media sosial, tidak saja media sosial milik Gereja tetapi juga milik masyarakat lainnya dan bahkan milik pemerintah. Di sana mereka bisa menciptakan pendapat publik dan dengan itu mereka bisa mempengaruhi kebijakan publik yang adil sehingga orang miskin tidak semakin menderita melainkan berubah menjadi lebih baik.

Media yang berorientasi pada pelayanan orang miskin tidak dalam arti bahwa media itu dijual kepada orang miskin dengan harga yang murah, atau dihadiahkan saja kepada orang miskin, melainkan dalam arti, media itu memberitakan tentang keadaan orang miskin dengan semangat keberpihakan kepada mereka. Jadi, media tidak netral dalam pemberitaannya, melainkan ia memberitakan fakta kemiskinan itu dengan melibatkan penilaiannya sebagai seorang Kristen. Dengan pemberitaan itu maka lahirlah sikap dan jaringan solidaritas kristiani di seluruh dunia. Dari sana bisa muncul sikap dan tanggapan dari pelbagai pihak berupa memberikan bantuan untuk menanggulanginya.

Pemberitaan media tentang orang miskin dan menderita yang melahirkan jaringan solidaritas internasional sudah umum dilakukan oleh media Katolik. Namun masih ada satu peran media dalam kaitan dengan orang miskin ini yakni media membangun kesadaran kritis. Itu berarti, pertama, media, seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan internet, isi pemberitaannya membangunkan kesadaran kritis kaum miskin itu sendiri, untuk bisa keluar dari situasi itu; kedua, sarana komunikasi sosial itu mengeritik struktur-struktur masyarakat yang tidak adil yang menyebabkan orang menjadi miskin dan menderita. Di sini media mengambil posisi profetis, yakni menantang kebijakan-kebijakan publik yang tidak adil demi terciptanya kondisi sosial-ekonomi yang adil.

Tetapi seberapa efektif Gereja menggunakan media komunikasi sosial untuk mendukung perkara orang miskin? Kita perlu, sejak hari ini, pada HARI KOMUNIKASI SOSIAL NASIONAL ini, merubah sikap dan pendekatan kita terhadap media, yakni media tidak sekadar memberitakan apa yang dilakukan oleh Gereja, apa yang diimani oleh Gereja, atau apa yang dilakukan oleh para pemimpin Gereja, melainkan terutama memberitakan apa yang sedang dialami oleh orang miskin dan mengeritik struktur-struktur sosial yang tidak adil yang menyebabkan kemiskinan itu. Sudah saatnya, kita memperluas wawasan media sosial dalam rangka evangelisasi, terlebih dalam rangka semangat Paus Fransiskus  yang begitu besar memberikan perhatian kepada orang miskin. Jadi, media komunikasi sosial harus lebih berorientasi pada usaha pembebasan orang miskin dari kemiskinan yang membelenggu mereka.

  1. Penutup

Sebagai refleksi penutup saya hanya menggarisbawahi dua term yang digunakan dalam konteks evangelisasi melalui media, yakni term wartawan dan pewarta. Kedua istilah Indonesia ini berdasarkan kata dasar bahasa Indonesia yang sama, warta, yang artinya menyampaikan berita kepada yang lain. Seorang pastor yang memberitakan Yesus Kristus kepada segala manusia dan bangsa tidak disebut wartawan melainkan pewarta. Mengapa? Karena sebagai pastor ia tidak sekadar menyampaikan peristiwa Yesus itu dari masa lampau ke masa kini, melainkan ia sendiri terlibat dalam apa yang diberitakan. Pewarta  tidak sekadar melakukan penyampaian (transmissio) informasi melainkan terutama melakukan perubahan (transformatio).[24] Sedangkan wartawan  bertugas untuk melakukan transmissio informasi. Adapun evangelisasi melalui media mencakupi tugas wartawan (jurnalis) sekaligus pewarta (evangelisator).

Berkaitan dengan refleksi tentang evangelisasi melalui media itu, berikut ini saya  juga membuat catatan refleksif tentang evangelisasi melalui mimbar Gereja. Konstitusi Dogmatis Dei Verbum Vatikan II mengajarkan bahwa wahyu adalah komunikasi diri Allah sendiri yang mencapai puncaknya dalam diri Yesus. Vatikan II memberikan penekanan pada penyampaian diri Allah dan bukan pada penyampaian kebenaran-kebenaran tentang Allah yang diterima dengan ketaatan akalbudi oleh manusia, sebagaimana diajarkan oleh Konstitusi Dogmatis Dei Filius dari Vatikan I. Ajaran  Vatikan II ini mempunyai konsekuensi yang sangat penting bagi karya pastoral. Kalau iman itu bukan pada tempat pertama suatu sikap akalbudi yang menerima dan mengakui ajaran ilahi melainkan suatu sikap hati, maka pembinaan iman umat bukan pada tempat pertama suatu pengajaran kepada otak melainkan kepada interaksi pribadi. Dengan demikian, tantangan pewartaan sebenarnya bukan pada tempat pertama umat yang mendengarkan Sabda Allah melainkan agen pastoral yang menjalankan tugas pewartaan Sabda Allah itu. Baginya, Sabda Allah itu, itulah hidupnya, itulah bagian hidupnya, itulah cara hidupnya. Singkatnya, ia adalah seorang pewarta. Akan tetapi, manakala ia hanya menyampaikan informasi (transmissio) tentang kebenaran-kebanaran ilahi tanpa keterlibatan dirinya dalam kebenaran itu, maka ia seorang wartawan .

Pewartaan tentang keselamatan semua manusia dan bangsa, terutama mereka yang paling tertindas, miskin dan tersingkir, hanya bisa dimengerti, dipercayai, kalau pewartaan itu disertai oleh kesaksian hidup sang evangelisator. Tanpa kesaksian dan keterlibatan yang nyata sang pewarta, maka Injil akan dianggap omong kosong saja. Biarpun seorang agen pastoral berkotbah dengan sangat menarik tentang hidup miskin dan sederhana, namun realitas hidupnya menunjukkan konsumerisme, maka omongannya itu kosong. Ia tampil lebih sebagai wartawan bukan pewarta. Dalam bahasa logika, ia sementara memperlihatkan kepada umat apa yang disebut contradictio in exercito, kata-katanya yang hebat dan menarik itu digugurkan atau dilawan oleh kenyataan hidupnya. Atau, dalam bahasa moralnya, ia sementara berbohong.*

By: Dr. Norbertus Jegalus

[1] R. Hardawiryana SJ, “Katakese: Tradisi bagi Hidup Umat Sehari-hari”, dalam, Orientasi Baru, Pustaka Filsafat dan Teologi, No. 3, Tahun 1989, Yogyakarta: Kanisius, 1989,  hlm. 65.

[2] Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 92-95.

[3] Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani, Maumere: Ledalero, 2007, hlm. 424.

[4] Bdk. Dokumen Communio et Progressio. Intstruksi Pastoral Perihal Alat-alat Komunikasi Sosial, 1971, Ende: Nusa Indah, 1971, hlm. 16.

[5] Dr. I. Suharyo, “Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci”, dalam, A.S. Hadiwiyata (ed.), Evangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 12.

[6] Stephen B. Bevans & Roger P. Schoeder, Terus Berubah-Tetap Setia. Dasar, Pola, Konteks Misi (terj. Yosef Maria Florisan), Maumere: Ledalero, 2006, hlm. 521-522.

[7] Dr. H. Pidyarto Gunawan, OCarm, “Alkitab dan Evangelisasi Baru”, dalam, H.S.Hadiwiyata (ed.), Evangelisasi Baru, Op. Cit., hlm. 103.

[8] Ibid., hlm. 108.

[9] Ibid., hlm. 109.

[10] Ibid., hlm. 115-118.

[11] Ibid., hlm. 122-124.

[12] Bdk. A. Quack, “Antroplogi dan Karya Misi: Meneropong Ilmu Antropologi meurut Lensa Sasaran Misi SVD”, dalam, G. Kirchberger, John M. Prior (ed), Iman dan Transformasi Budaya, Ende: Nusa Indah, 1996, hlm. 51.

[13]  Judul lengkapnya, “Dialog dan Pewartaan, Refleksi dan Orientasi Mengenai Dialog Antaragama dan Pewartaan Injil” (Georg Kirchberger, editor, Dialog dan Pewartaan, Maumere: LPBAJ, 2002, hlm. 9-63).

[14] Stephen B. Bevans & Roger P. Schoeder, Terus Berubah-Tetap Setia, Op. Cit., hlm. 608.

[15] Ibid., hlm. 598.

[16] Norbertus Jegalus, “Metafisika Dasar. Pendekatan Aristotelo-Thomistik” (Manuskrip Perkuliahan pada Fakultas Filsafat Agama, Unwira Kupang, 2008), hlm. 88

[17] Loc. Cit. Bdk. Konsili Vatikan II, De Instrumentis Communicationis Socialis (Dekrit Tentang Alat-alat Komunikasi Sosial), Ende: Nusa Indah, 1966, hlm. 21: “Dari sebab itu Gereja mempunyai hak yang fundamental untuk menggunakan dan memiliki alat-alat itu sekedar alat-alat itu perlu dan berguna bagi pendidikan Kristen dan bagi karyanya demi keselamatan jiwa-jiwa”.

[18] Bdk. Communio et Progressio (Perihal Alat-alat Komunikasi Sosial) Artikel 126-134, tentang Penggunaan Alat-alat Komunikasi Sosial untuk mewartakan Kabar Gembira.

[19] Eryanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. 34-35.

[20] Ibid., hlm. 36-40.

[21] Ibid., hlm. 40-43.

[22] Bdk. Mgr. Petrus Turang, “Pemakluman Kabar Gembira: Dimensi Evangelisasi Baru dalam Konteks Kemiskinan”, dalam, Rm. Leo Mali, Pr, Katakese dalam Pelayanan Pastoral Gereja Nusa Tenggara. Dari Cura Animarum ke Cura Hominum. Roadmap Katakese Perpas IX Regio Nusra 2012, Kupang: Keuskupan Agung Kupang, 2013, hlm. 143-170.

[23] Felix Wilfried, “Keprihatinan Gereja Bagi Kaum Miskin Pada Zaman Globalisasi”, dalam, Georg Kirchberger (ed.), Misi- Evangelisasi-Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. 117.

[24] Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI, Op. Cit., hlm. 48.

 

Keterangan Foto: Paus Yohanes Paulus II sedang berselancar di internet/Foto: Dok.Komsos KWI