MIRIFICA.NET – “Bapa Uskup Vitus ingin seperti Yesus menjadi gembala yang mengenal domba – domba dan sebaliknya dikenal oleh domba-domba kalau menggunakan istilah dari Paus Fransiskus, Bapa Uskup Vitus ingin gembala yang berbau domba. Kalau ditempat saya di Keuskupan PangkalPinang karena tidak ada domba mungkin berarti menjadi gembala yang berbau ikan asin, atau kalau di Padang ini mungkin Bapa Uskup Vitus harus menjadi gembala yang berbau rumah makan Padang.”
Demikian diungkapkan Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Uskup Pangkalpinang yang menjadi salah satu uskup penahbis dalam kotbahnya pada Perayaan Ekaristi Penahbisan Uskup Padang (07/10) yang telah terlaksana dengan penuh syukur dan sukacita. Pernyataan-pernyataan Mgr. Narko dalam homilinya sungguh menarik untuk disimak dan direnungkan, karena itu kami turunkan transkrip lengkap homili bapa uskup dalam perayaan yang meski digelar di tengah pandemi Covid 19 dengan segala pembatasannya, tetap berlangsung khidmat dan sakral.
Homili Mgr. Adrianus Sunarko
Bapa Kardinal, Bapa Nuntius, Para Bapa Uskup dan saudara saudari sekalian yang terkasih dalam Kristus, khususnya Bapa Uskup Vitus yang akan segera ditahbiskan dan umat Keuskupan Padang yang berbahagia, selamat siang.
Saudara saudari sekalian, beberapa waktu yang lalu khususnya pada masa – masa setelah Pemilu 2019 hingga sebelum masa pandemi tetapi juga mungkin masih sampai sekarang. Kita masih sering secara langsung atau mendengar berita atau memperoleh informasi, tentang orang – orang yang mengaku beragama bahkan menganggap diri saleh, tetapi dalam perilaku kehidupan yang nyata, mereka menampilkan wajah agama yang mengkhawatirkan, menakutkan bahkan mengancam kerukunan hidup bersama.—Tidak luput dari perilaku seperti itu adalah mereka yang juga sering disebut tokoh-tokoh agama, para pemuka agama- Dari mereka seringkali kita dengar ujaran-ujaran kebencian yang bahkan kemudian memprovokasi orang untuk melakukan kekerasan.–
Dalam konteks hidup menggereja, Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan, seringkali berbicara tentang apa yang disebut keduniawian Rohani. Yang dimaksudkan antara lain adalah orang-orang yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan dan bahkan kasih kepada gereja tetapi sebenarnya- mencari bukan kemuliaan Allah- melainkan kemuliaan manusiawi dan kesejahteraan pribadi, seperti orang Farisi- mereka seringkali memusatkan perhatian pada peraturan-peraturan dan ritus-ritus yang rumit.
Dalam Evangelii Gaudium misalnya, Paus Fransiskus berkata, pada beberapa orang kita melihat perhatian orang yang berlebihan akan doktrin, akan gengsi gereja tetapi tanpa kepedulian apapun agar Injil memiliki dampak bagi umat Allah dan buah kongkrit masa kini. Para tokoh agama, pemuka agama model seperti ini dilukiskan Paus Fransiskus sebagai orang-orang yang percaya pada kekuatan sendiri dan merasa lebih unggul dari yang lain, karena mematuhi aturan-aturan tertentu.
Mereka cenderung menjadi kelompok elite yang otoriter, tidak memberitakan sukacita Injil melainkan cenderung menjadi hakim. Bukannya membuka pintu dan rahmat melainkan justru menghabiskan energinya untuk mengawasi dan memeriksa orang lain. Pemuka agama model seperti ini seringkali menetapkan begitu banyak syarat terhadap belaskasih dan kemudian mengosongkannya dari makna yang kongkrit.
Buku-buku sering dilihat seperti batu-batu yang siap dibebankan, dilemparkan kepada umat. Mereka tergoda untuk terlibat lebih menjadi pengontrol daripada fasilitator rahmat. Bukan mempermudah, mereka justru menjadi penghalang bagi umat yang hendak bertemu dengan Kristus. cara hidup beragama seperti ini, pemuka agama model seperti ini tentu saja membuat kita gelisah dan khawatir.
Tetapi saudara saudari sekalian umat keuskupan padang tidak perlu gelisah dan khawatir karena pemuka agama yang baru datang ke padang ini- Bapa Uskup Vitus yang datang ke padang ini tidak seperti itu atau paling tidak, tidak ingin seperti itu, justru sebaliknya.
Sesuai dengan motto yang dipilih “Misericordia Motus”, artinya “Tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan” (Luk 15:20). Beliau tidak ingin menjadi pemuka agama atau gembala yang otoriter, menerapkan syarat yang rumit-rumit dan menutup pintu rahmat, sebaliknya beliau ingin menjadi pemuka agama yang berbela rasa, yang tergerak hatinya oleh belas kasihan.
Wajah gereja yang ingin ditampilkannya kiranya bukanlah seperti pabean, melainkan rumah Bapa, di mana ada tempat bagi setiap orang dengan segala permasalahan mereka. Gereja seperti kata Paus Fransiskus seperti rumah sakit di medan perang yang bersedia menerima siapa saja yang datang.
Bacaan-bacaan yang dipilih untuk ekaristi hari ini memberi gambaran lebih kongkrit tentang Gembala, pemuka agama yang Misericordia Motus, Tergerak oleh belas kasihan itu. Sebagaimana dikatakan tadi dalam bacaan kedua dari surat pertama Petrus gembala untuk keuskupan padang ini akan akan menggembalakan domba tidak dengan terpaksa melainkan dengan sukacita, tidak untuk mencari keuntungan melainkan dengan pengabdian diri, tidak terutama memberi perintah melainkan dengan menjadi teladan.
Gembala keuskupan padang yang baru ini seperti yang dikatakan dalam Injil ingin meniru Yesus menjadi gembala yang baik, tidak akan lari serigala datang, sebaliknya rela mempertaruhkan dan memberikan nyawa bagi domba-dombanya. Tidak kalah penting tentu saja, Bapa Uskup Vitus ingin seperti Yesus menjadi gembala yang mengenal domba – domba dan sebaliknya dikenal oleh domba-domba kalau menggunakan istilah dari Paus Fransiskus, Bapa Uskup Vitus ingin gembala yang berbau domba. Kalau ditempat saya di Keuskupan Pangkal Pinang karena tidak ada domba mungkin berarti menjadi gembala yang berbau ikan asin, atau kalau di Padang ini mungkin Bapa Uskup Vitus harus menjadi gembala yang berbau rumah makan Padang.
Saudara-saudara sekalian sambil mengupayakan segala keutamaan di atas, Bapa uskup sadar dan ingin tetap rendah hati seperti diingatkan Paulus dalam bacaan pertama hari ini. Kepada para penatua jemaat yang datang ke miletus, Paulus berkata bahwa ia sudah berjuang memberi yang terbaik, tiga tahun lamanya malam dengan tiada henti-hentinya menasehati dengan mencucurkan air mata tetapi Paulus sadar bahwa yang berkuasa membangun jemaat bukan dirinya sendiri melainkan Tuhan dan firman kasih karunianya.
Ia berkata, “aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunianya yang berkuasa membantu kamu dan berkuasa pula menganugerahkan kepada kamu, bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan.” Gembala yang baik tidak lupa untuk menyerahkan jemaatnya kembali kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunianya. Gembala yang baik tidak lupa bahwa domba-domba itu bukan miliknya melainkan milik Tuhan sendiri. Allah dan firman kasih karunianyalah yang berkuasa membangun umat.
Saudara saudari sekalian yang terkasih, mendapatkan gembala yang seperti itu atau yang bercita-cita seperti itu, pantaslah umat keuskupan padang bersyukur, berterima kasih dan berbahagia. Apakah gembalanya sendiri juga berbahagia? Apakah Bapa Uskup Vitus akan berbahagia mendapat atau melaksanakan perutusannya di keuskupan padang ini? Tentu saja saya tidak tau, mungkin jika kita bertanya kepada Ebit maka akan disarankan ke rumput yang bergoyang, Bapa Uskup Vitus sendiri yang mengetahui isi hatinya yang terdalam. Tetapi kalau melihat foto cover buku misa yang di depan nampak beliau tersenyum lebar, dibandingkan vesper kemarin masih tidak selebar cover buku hari ini…. Mudah-mudahan itu tanda bahwa beliau bersukacita mendapat tugas perutusan di tempat ini.
Santo Agustinus pernah mensharingkan penghayatan hidupnya sebagai uskup melalui ungkapan sebagai berikut, “kalau posisi saya berhadapan dengan kalian, umat. Membuat aku sendiri menjadi takut maka posisi saya bersama kalian menghibur aku. Karena berhadapan dengan kalian saya seorang uskup, tetapi bersama dengan kalian saya seorang kristiani biasa.” Yang pertama menunjukan tugas, kemudian menunjukan rahmat. Yang pertama menandakan bahaya, yang kemudian menandakan keselamatan. Rupanya St Agustinus menemukan penghiburan sebagai uskup ketika bersama dengan umat, ketika dekat dengan domba-dombanya.
Semoga Bapa Uskup Vitus juga akan berbahagia, menemukan sukacitanya bersama umat di keuskupan padang, dan kalau umat keuskupan padang bersukacita mendapatkan gembala yang seperti ini, bila uskupnya menemukan sukacitanya bersama umat maka kami semua sebagai tetangga-tetangga keuskupan akan bersukacita.
“Bangun rumah alasnya batu, bila badai pastilah tahan. Kami turut datang memberi restu, semoga Mgr Vitus berbahagia, melayani Tuhan. Tuhan memberkati”. Amin.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.