Pengantar
Tahun ini negara kita tercinta Indonesia memasuki tahun politik yang akan dipenuhi dengan semarak pesta demokrasi. Mau dibawa ke mana bangsa Indonesia akan sangat ditentukan pada pesta demokrasi, yakni pemilu serentak pada tanggal 17 April 2019 mendatang. Umat Katolik di seluruh penjuru nusantara dengan pelbagai cara yang diadakan oleh keuskupan masing-masing telah diajak untuk terlibat aktif pada pesta demokrasi pemilu. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah keterlibatan kita sebagai paguyuban umat beriman Kristiani di Indonesia dalam pesta demokrasi ini hanya sebatas memilih para calon pemimpin bangsa ini? Tentu saja tidak. Tulisan ini secara komprehensif akan mengangkat suatu cara pandang baru bagaimana internet dalam konteks demokrasi mempengaruhi perjumpaan kita dengan sesama warga negara dan juga sesama orang Katolik.
Ruang Politik yang Baru
Internet bukan lagi barang baru dalam dunia teknologi, tetapi belum terlalu banyak dibicarakan dalam dunia politik. Sebagian besar spekulasi soal internet berfokus pada kesempatan baru untuk berdagang, berjejaring sosial, dan belajar. Selain itu, internet lebih sering dianggap sebagai pembawa dampak negatif terutama bagi kriminalitas dan kekerasan. Pemerintah telah berinisiatif untuk membuat kebijakan terkait pelayanan dan informasi online yang lebih murah dan efisien. Sebagai contoh, sekarang ini parlemen dan pemerintah lokal telah memiliki website. Para politikus dan calon-calonnya juga tidak mau kalah dengan adanya kehadiran web. Misalnya saja beberapa dari mereka sudah meluncurkan blog atau vlog di YouTube.
Pertanyaan fundamental yang masih dipertanyakan adalah apakah kemunculan internet mengubah keseimbangan kekuatan komunikasi dengan demokrasi liberal modern? Sekarang ini, apakah masyarakat lebih sering bertanya, menantang, berkomentar, dan mempengaruhi mereka yang berperan sebagai pemerintah? Apakah Internet mematikan demokrasi? Berbagai macam kritik sejauh ini masih menjadi problem serius yang mempertanyakan demokrasi. Internet sebagai kekuatan dari “ruang kosong”, di satu sisi bisa mencederai strategi pusat negara. Tetapi, di sisi lain internet bisa membuka peluang bagi warga negara untuk bisa mengekspresikan diri mereka sebagai jalan pembentukan demokrasi.
Internet Jaman “Now”
Keberadaan internet kerap menimbulkan beberapa persoalan yang deterministik, namun bukan berarti tidak ada hubungan antara internet dan demokrasi. Kita mengambil posisi bahwa internet membuka potensi yang amat rentan saat terjadi revitalisasi komunikasi politik, yakni antara yang representatif dan yang direpresentasikan, serta antara pemerintah dan yang diperintah. Kita tentu menolak bahwa pengaruh teknologi adalah asosial, dengan segala konsekuensi dan pengaruhnya terhadap organisasi sosial. Teknologi sebenarnya memiliki kesan yang lebih positif, yakni untuk membangun sebuah konstruksi sosial. Pandangan bahwa teknologi informasi dan komunikasi itu dibangun, dibentuk, dan diberi makna oleh kekuatan sosial sebetulnya akan berguna bagi pembentukan kebijakan normatif. Berakar dari potensi demokratis dari internet, penulis menegaskan posisi bahwa internet merupakan kekuatan komunikasi yang otomatis, sekaligus pengguna empiris yang berperan sebagai agen politik.
Argumen-argumen yang berkembang dari kajian ilmiah mengenai potensi kekuatan internet dalam demokrasi terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kita berargumen bahwa relasi antara anggota publik dan pemegang otoritas politik berada pada periode transformatif. Harapan dan pemaknaan yang baru dari warga negara adalah mereka bisa terhibur dan secara teratur berperan dalam demokrasi. Kedua, kita berjuang bahwa arus komunikasi politik mengambil tempat tersendiri. Sistem dan struktur media mengambil peran dalam mengatasi problem komunikasi masyarakat yang sulit untuk berkembang. Ketiga, kita menyarankan bahwa interaksi, seperti media digital, mempunyai potensi untuk mengembangkan komunikasi publik dan memperkaya demokrasi. Sekalipun potensi ini mengandung risiko, namun suatu infrastruktur tetap dibutuhkan dalam suatu pencapaian demokrasi. Perdagangan berkembang pesat seiring dengan adanya perkembangan internet.
Sementara muncul pelatihan konsultasi online, isu kebijakan publik yang terkait informasi deliberasi belum terintegrasi secara utuh di dalam struktur dan proses demokrasi liberal. Dengan dukungan secara institusional dan kebijakan yang memadai, beberapa pejuang media baru bisa diluncurkan dan demokrasi diberi kekuatan.
Pada awal abad ke-21 ini, kita hidup dalam suatu periode waktu industri komunikasi dan pengaruh masyarakat yang berkembang pesat. Internet sekarang ini menjadi media yang didominasi oleh para pengguna aktif. Selain itu, fenomena yang muncul dari kehadiran internet adalah memfasilitasi perubahan interaksi lateral, peer-to-peer, dan many-to-many, yang lebih menciptakan kekuatan komunikasi simetri daripada komunikasi satu arah.
Orang bisa berdiskusi dalam kurun waktu jam, hari, minggu, atau bulan, mengikuti debat secara lebih reflektif dan mengembangkan argumentasi, sehingga partisipasi bisa terbuka untuk semua. Diskusi online bisa dilakukan lebih dekat dengan bahasa masyarakat sehari-hari. Partisipan dalam diskusi online bisa mendukung munculnya ide-ide baru dan sumber-sumber informasi, serta cara-cara berpikir yang baru terkait isu yang sedang berkembang.
Kesan Umum Masyarakat di Dunia Cyber
Tantangan demokrasi bagi teknologi bukanlah untuk mensimulasikan komunitas atau persekutuan dalam suatu kebersamaan yang semu. Tetapi, demokrasi justru menawarkan suatu kehadiran untuk membantu kita dalam menghadapi dunia yang tidak pernah bersatu dan bersama. Bukan koneksi ulang yang paling dibutuhkan oleh demokrasi, tetapi penghargaan yang sehat terhadap realitas yang “terputus”. Penghargaan otentik dan sehat terletak pada tanggapan yang tidak beraturan dan tidak serba instan, sama seperti halnya suara musik pada instrumen yang tidak terprogram, namun memiliki ketukan yang teratur.
Fenomena yang menimbulkan pertentangan peran teknologi di dalam demokrasi dapat diatasi melalui kehadiran ruang publik yang terpercaya. Ruang publik ini menjadi energi yang tersebar, artikulasi diri, dan sekaligus aspirasi masyarakat di depan umum. Di dalamnya akan terjadi suatu proses umpan balik pada berbagai tingkat pusat pemerintahan, yakni tingkat lokal, nasional, dan transnasional. Situasi ini akan membentuk sebuah ruang dengan dua pengertian, antara lain sebuah ‘tempat umum’ yang dapat diakses dan dipercaya, serta suatu ‘ruang antara’ yang merupakan suatu lapisan yang tidak didominasi oleh negara atau diprivatisasi, serta tidak tergabung di dalam konstelasi kekuasaan yang ada.
Kekuasaan dari suatu masyarakat online biasanya akan kebal terhadap klaim dan taktik kepentingan pribadi yang ingin membeli, menutup, menenggelamkan, atau mengesampingkan suara-suara publik. Sebagai contoh, segala fitnah yang disebar melalui media sosial terhadap salah satu pasangan calon presiden sebetulnya tidak terlalu berpengaruh atau mengubah banyak pilihan masyarakat yang telah mengaksesnya. Yang terjadi malah sebaliknya, penyebaran fitnah dan hoax justru memicu terjadinya konflik yang memecah belah hanya karena perbedaan pilihan.
Pengamatan seorang filsuf, Hannah Arendt, dengan sangat cerdik mengungkapkan bahwa ketika kami mengatakan bahwa dia “berkuasa”, kami benar-benar mengacu pada pemberdayaannya oleh sejumlah orang tertentu untuk bertindak atas nama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi penting dari kewarganegaraan pada umumnya adalah sebagai ruang di mana kekuasaan diaktifkan atau difasilitasi daripada hanya diwariskan atau ditukar untuk sebuah suara. Penulis mengutip Arendt lagi, “Apa yang membuat masyarakat massal begitu sulit untuk ditanggung bukanlah dari jumlah orang yang terlibat . . . tetapi fakta bahwa dunia di antara mereka telah kehilangan kekuatannya untuk mengumpulkan dan menghubungkan mereka bersama.” Inilah yang menjadi gambaran besar dari situasi masyarakat di dunia cyber.
Di manakah Perjumpaan Sejati?
Tak dapat dipungkiri, internet memiliki pengaruh yang luar biasa bagi suasana demokrasi dewasa ini. Pengaruh yang paling besar muncul dari internet adalah adanya interaksi dan komunikasi. Meski demikian, internet sama sekali tidak menggantikan yang namanya perjumpaan langsung. Internet dalam arti tertentu hanya menjadi penghubung atau sarana yang bisa menghantar manusia supaya terjadi perjumpaan langsung. Pada bagian terakhir dari pesan Paus Fransiskus untuk hari komunikasi sedunia ke-53, dikatakan bahwa Gereja itu sendiri adalah sebuah jejaring yang diteguhkan bersama melalui Ekaristi. Ekaristi sebagai sumber dan puncak iman kita mengutamakan suatu perjumpaan langsung antara kita dengan Allah. Di dalam ekaristi yang kita rayakan, entah setiap hari atau setiap minggu, selalu ada keteduhan, damai, dan sukacita yang kita rasakan ketika berjumpa langsung dengan Allah.
Setiap dari kita yang merayakan ekaristi tentu datang dengan motivasi, doa, dan harapan yang berbeda-beda. Apakah kita menerima berkat dari Allah berbeda-beda pula? Tentu saja tidak. Kita menerima berkat yang sama dari Allah karena kita telah menyambut satu Tubuh Kristus yang sama. Sebagai orang Kristiani, kita semua mengakui diri kita sebagai anggota dari tubuh yang satu dan sama dengan Kristus sebagai kepalanya. Pengakuan ini membantu kita untuk melihat orang lain, meski berbeda pilihan dan keyakinan, bukan sebagai musuh atau lawan. Tetapi, orang lain yang berbeda adalah sesama anggota, sesama pengguna internet, sesama warga negara, dan sesama manusia yang diciptakan secitra dengan Allah. Inilah suatu perjumpaan yang sejati antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.
Cara hidup Kristiani memandang sesama bukanlah sebatas mereka yang menawarkan jawaban benar untuk mempengaruhi kita. Logika Injil berikut ini dengan sangat jelas memberikan perhatian tentang siapa itu sesama:
Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (Luk. 6:32-35)
Konteks saat ini yang ditawarkan Penginjil Lukas adalah masyarakat bisa mengembangkan kontak perjumpaan melalui partisipasi di dalam pelbagai aktivitas kegiatan. Salah satunya adalah partisipasi di dalam Pemilu menghadirkan perjumpaan yang sesungguhnya. Persahabatan sebagai sesama pemilih dibangun melalui segala kemungkinan untuk berkontak langsung, dan juga perlu ditumbuhkan kesadaran intensif di dalam “inkarnasi” relasi manusia. Yesus yang sungguh Allah berinkarnasi atau menjadi sama dengan kita manusia, kecuali dalam hal dosa. Artinya, pokok penting dari inkarnasi adalah perjumpaan langsung antara Allah dengan manusia. Di balik misteri inkarnasi Allah terjadi pengalaman sukacita dan damai, yakni penebusan Yesus Kristus atas dosa manusia melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Perayaan misteri penebusan inilah yang selalu dikenangkan oleh kita sebagai umat Katolik dalam Perayaan Ekaristi.
Seperti halnya Pesta Perjamuan Ekaristi, pesta demokrasi yang akan kita rayakan sebagai bangsa dan warga negara semestinya membawa kita kepada suasana negara yang damai dan teduh pada masa yang akan datang. Perjumpaan langsung sebagai sesama warga negara di tempat pemungutan suara nanti, meski berbeda pilihan, harapannya bisa mendatangkan pesta demokrasi yang penuh sukacita dan damai. Media teknologi atau internet yang setiap hari kita gunakan menjadi alat bagi kita untuk menciptakan kebersamaan yang sejati dalam kebhinekaan, serta menggerakkan kita untuk memberikan apresiasi atau penghargaan. Dengan demikian, suasana yang dapat terjadi adalah suasana yang memberikan rasa aman dan percaya satu sama lain, bukan lagi suasana yang ingin saling mendominasi apalagi menguasai.
Daftar Pustaka
Arendt, H. On Violence, (New York: Harcourt Brace), 1970.
Arendt, H. The Human Condition: 2nd edition, (Chicago: University of Chicago Press), 1998.
Coleman, Stephen, The Internet and Democratic Citizenship: Theory, Practice, and Policy, (New York: Cambridge University Press), 2009.
Spadaro, Antonio, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet, (New York: Fordham University Press), 2014.
Ilustrasi: Nicholas Pudjanegara
Penulis: Joseph Biondi Mattovano
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.