SEKARANG ini, kita hidup di zaman yang ditandai dengan pesatnya kemajuan alat-alat komunikasi atau yang disebut “rapid development of social communication,” menurut Paus Yohanes Paulus II.
Tentu saja, beragam penemuan baru di bidang komunikasi ini mengagumkan sekaligus menggoda konsumen untuk memilikiya.
“Alat komunikasi seperti hape atau gadget terbaru dari berbagai ‘merk’ dan tipe bermunculan. Peralihan model atau tipenya begitu cepat sementara kita baru belajar mengakrabi tipe sebelumnya,” ujar Romo Edy Menori dari Keuskupan Ruteng saat menjadi pembicara dalam Workshop Media Sosial Sarana Pewartaan di Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Barat, Rabu (2/7/2014).
Peminat dan pengguna alat-alat komunikasi ini berasal dari berbagai usia, terutama orang-orang muda dan remaja.
“Saya katakan peminat karena ini bukan terutama urusan kebutuhan tetapi soal selera dan gaya hidup,” tegas Romo Edy.
Romo Edy pun bertutur bahwa banyak cerita lucu seputar penggunaan gadget di Manggarai, Flores. Di awal kemunculannya, banyak orang orang tidak mengerti arti sms.
“Begitu hp berdering langsung diangkat, dan bertanya ‘sms atau telp ini?’. Orang mau ikut tren tapi gaptek alias belum beradaptasi dengan kultur baru. Ingin memiliki HP tapi tidak tahu menggunakannya mungkin juga tidak tahu kegunaannya. Keinginan untuk memiliki hape bukan terutama karena kebutuhan melainkan sekadar ikut gaya hidup baru,” tegas Romo Edy.
Pengaruh kuat
Sekarang ini hape dan internet bukan barang baru. Pemakainya banyak bahkan pengemis pun pakai HP, gunakan intenet. “Apakah ini tanda tingginya kebutuhan akan informasi atau hanya berkaitan dengan gaya hidup? Tapi tampaknya kedua alasan ini tidak bisa dipisahkan lagi,” tanya Romo Edy.
Orang yang tidak masuk dalam gaya hidup baru ini seolah terasing dari lingkungan pergaulan dan tidak dianggap sebagai anak zaman lagi. Orang akan merasa tidak nyaman kalau tidak membawa hape walaupun ke tempat yang tidak ada signal. Bahkan ada yang dalam perjalanan dan harus balik ke rumah meski sudah jauh meninggalkan rumah hanya karena lupa hape.
Fenomena, menurut Romo Edy meggambarkan kuatnya pengaruh media pada gaya hidup orang zaman ini. Media dengan karakter dan kulturnya mendominasi perilaku dan gaya hidup anak zaman ini.
Johanes Paulus II memandang perkembangan baru di bidang komunikasi sosial ini dengan sebutan “New Culture” yang dipicu oleh rapid development of social communication dan tertuang dalam dokumen Redemptoris Missio, 37c.
“Singkatnya, semua orang dari berbagai usia dan latarbelakang sudah menjadi bagian dari kultur baru ini. Gereja sebagai bagian dari masyarakat dunia hidup dalam arus kultur baru ini,” tegas Romo Edy.
Menurut Romo Edy, gereja tidak mencurigai perkembangan baru ini, tetapi bersikap positif, bahkan terlibat aktif. Namun Gereja tidak boleh terhanyut dan tenggelam dalam arus zaman.
Gereja masuk dalam kultur baru dan dari dalam membelokan arus baru tersebut untuk kesatuan dan kemajuan hidup bersama. Menjadikan kultur baru tersebut sebagai “budaya perjumpaan sejati”, perjumpaan dengan Tuhan, diri sendiri dan sesama dalam dunia yang nyata bukan virtual life.
Keterlibatan orang kristen dalam kultur baru ini khas atau unik. “Pertanyaan yang ingin kita gali adalah ‘apa kekhasan keterlibatan kita orang Kristen (Gereja) dalam komunikasi sosial?’. Apakah cukup kita mengemukakan dan berpegang pada pandangan teologis bahwa Media adalah Anugerah Allah? Apakah gereja perlu memberikan penekanan baru dalam memandang kemajuan komunikasi sosial dan tidak hanya melihat media sebagai sarana pewartaan (IM. 3) tetapi juga menanggapi perkembangan terbaru ketika media komunikasi telah menjadi kultur baru, bagian dari cara hidup zaman ini? Gereja perlu merefleksikan semangat dasar yang mengobarkan antusiasme /keterlibatan gereja dalam komunikasi sosial,”ujar Romo Edy.
Keterangan Foto : Pastor Mark Townsend dari Leominster, Herefordshire yang membuat Facebook relijius pertama di dunia (Foto: Thetimes)
Praktisi di bidang Public Relation, Tim Komsos KWI