ETIKA orang menyebut sepintas tentang “story telling”, sepertinya dalam benak mereka terbersit suatu gambaran tentang kebiasaan ibu-ibu tempo dulu. Kala itu, ibu-ibu punya kesukaan mendongeng. Biasanya dongeng untuk anak-anak di agar segera tidur. Sayangnya, kebiasaan ini perlahan hilang digerus arus zaman.
Demikian kata pengantar yang disampaikan Errol Jonathans ketika ia memberikan pelatihan bagi para pendamping SEKAMI Keuskupan Denpasar di Wisma Keuskupan Denpasar, Bali. Direktur Radio Suara Surabaya ini mengatakan bahwa story telling atau bercerita merupakan teknologi terhebat yang pernah dibuat oleh manusia.
“Siapa bilang bahwa teknologi terhebat itu adalah handphone dengan segala macam perangkat lunaknya. Bukan itu! Sesungguhnya kemampuan berbicara merupakan teknologi paling hebat. Teknologi ini abadi selamanya,” ujar Errol dengan nada tegas.
Menurutnya, kreativitas merupakan kunci dari story telling. Dengan kreativitas, cerita jadi lebih bermakna karena akan lebih mudah mempengaruhi pendengar baik secara intelektual maupun emosional. Errol mengingatkan para pendamping SEKAMI dari berbagai paroki di Keuskupan Denpasar bahwa sering karena kreativitas dalam bercerita pendengar bisa merasa sedih dan gembira.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa story telling merupakan basis kultural orang Indonesia. Karenanya, bercerita merupakan ciri keseharian orang Indonesia. Meskipun pada kenyataannya terdapat kesulitan untuk menerima warisan kultural ini di kalangan The Bubble-Wrap Generation, Errol tetap optimis bahwa story telling tetap bertahan.
Rasa optimisme itu ia tambahkan dengan harapan tentang perlu sebuah pertobatan. Ia pun menamakan model pertobatan ini dengan isitilah “pertobatan vokal”. Cara ini ia yakini mampu mengatasi kekurangan bukan hanya oleh karena perkembangan teknologi semata, tetapi juga karena ketidakmauan orang untuk bercerita lagi.
“Jangan-jangan kita perlu pertobatan vokal karena inti dari sotry telling adalah bercerita,” pungkasnya.
Belajar Bersama
Tiga hari pelatihan “story telling” yang dimulai pada Jumat (25/5) hingga Minggu (27/5) oleh Romo Herman Yoseph Babey, Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Denpasar, dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk belajar bersama. Romo Babey, demikian imam asal Nusa Tenggara Timur ini disapa, mengatakan bahwa para pendamping SEKAMI Keuskupan Denpasar selama ini sudah menjadi di bagian dari kehidupan anak-anak remaja. Karena merekalah, SEKAMI keuskupan Denpasar begitu hidup.
Karena itu, Romo Babey mengajak para pemandaping yang mayoritas kaum perempuan itu untuk terus mensyukuri buah-buah karya pelayanan. Mereka juga perlu bersyukur karena pada kesempatan kali ini, hadir bapak Errol Jonathans seorang narasumber dengan segudang pengalaman di bidang penyiaran. Tentu saja, mereka dapat belajar banyak dari pria yang saat ini juga dipercayakan menjadi pengurus Komisi Komunikasi Sosial KWI di Jakarta.
“Mulai sekarang, tidak lagi ada alasan lagi untuk mengeluh. Tidak ada lagi pendamping SEKAMI yang mengatakan bahwa mereka belum pandai berbicara. Tidak!.”
Sekali lagi, Romo Babey mengingatkan peserta bahwa inilah saat yang paling tepat untuk belajar bersama. “Jaga disiplin waktu, mau serius ikut pelatihan, dan tidak lengah,” katanya.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.