Pendahuluan
Ada tiga pelaku penting yang perlu mendapat perhatian dalam tindakan hukum proses kanonik pembatalan perkawinan adalah pemohon (“quis petit“), hakim (“coram quo“) dan responden (“a quo petatur“). Hukum proses dalam perkawinan kanonik dimulai dengan sebuah tindakan hukum dari pemohon dengan membuat surat permohonan pembatalan perkawinan kepada Tribunal Perkawinan yang berkompeten. Tindakan hukum dari pemohon yang mengutarakan kehendaknya untuk proses hukum pembatalan perkawinannya di depan Tribunal perkawinan yang berkompeten disebutlibellus (buku kecil atau tulisan kecil) . G. Chiovenda dalam Diritto Processuale civile, mendifinisikan libellus sebagai suatu tindakan hukum yang mana pemohon menyatakan kehendak baiknya dalam bentuk surat permohonan, yang secara hukum tindakan itu dilindungi, meminta pihak responden yang berperkara dengan pemohon, untuk hadir di depan institusi pengadilan. Dari pernyataan di atas terdapat dua hal pokok untuk menghantar kita kepada pemahaman tentang caput nullitatis dalam proses pernyataan batalnya perkawinan kanonik.
1. Motivasi untuk bertindak
Setiap tindakan hukum dalam hukum proses perkawinan kanonik selalu dimulai dengan pernyataan kehendak dari orang/pemohon secara bebas dan sadar. Dalam pengertian seperti ini libellus dapat dipahami sebagai tahap awal suatu tindakan hukum yang memegang peranan penting untuk terjadi proses pernyataan pembatalan perkawinan di tribunal. Hal tersebut memiliki dasar hukum yang tertuang dalam kan. 1501-1502: “Hakim tidak dapat memeriksa suatu perkara kecuali jika ada permintaan yang diajukan oleh orang yang berkepentingan atau oleh promotor iustitiae seturut norma hukum. Barangsiapa mau menggugat seseorang haruslah menyampaikan surat gugat kepada hakim yang berwenang di mana di uraikan pokok sengketa serta diminta pelayanan hakim”. Motivasi untuk bertindak atau lebih tepatnya interese untuk bertindak dari pemohon mengajukan perkara di depan instansi pengadilan tidak lain untuk kebaikan bersama (bonum commune) dan demi realitas persoalan hidup yang dihadapinya karena perkawinannya yang bermasalah. Nilai maksimum yang mau dicapai dengan tindakan ini adalah demi penyelamatan jiwa (salus animarum).
2. Elemen – elemen konstitutif dari libellus
Elemen-elemen konstitutif dari libellus yang menghantar pada pemahaman caput nullitatis perkawinan kanonik, terdapat dalam kan. 1502 dan 1504, KHK 1983. Pertama, elemen Subyektif terdiri dari: pemohon (partis actore) yaitu orang/persona (quis petit) yang meminta tindakan hukum melalui proses. Orang/persona bisa individu, kolektif, badan hukum gereja dapat mengajukan permintaan gugatan tentang persoalan apapun; dan responden (partis conventae) Kedua, elemen Obyektif yang menyatakan bahwa untuk terjadinya proses peradilan perdata biasa, perlu adanya obyek apa yang diminta dan kepada siapa permintaan itu ditujukan ( petitum atau a quo petatur) dari seorang yang berkepentingan. Dalam elemen obyektif ini dinyatakan secara konkret obyek dari kontroversi/perkara itu diajukan ke pengadilan. Ketiga,elemen Yuridis, ditunjukkan atas dasar hukum mana/alasan yuridis mana (causa petendi atau quo iure) pemohon bersandar. Dalam rujukan atas dasar hukum mana pemohon bersandar dapat diambil argumen yuridis dari hukum universal maupun hukum partikular yang berlaku. Tidaklah perlu diuraikan spesifikasi tindakan dan teks substansial dasar hukum tetapi kaitan persengketaan itu dengan norma hukum entah statuta, hukum partikular/universal, yang diketahui oleh hakim tribunal. Sehingga memudahkan para hakim untuk merumuskan persoalan/persengketaan (ad litem contestandam), dan atas dasar apa keabsahan perkawinan itu digugat (caput nullitatisatau capita nullitatis) kemudian menyampaikan kepada pihak yang berperkara (bdk. kan. 1677, # 3) Secara empiris dinyatakan bukti-bukti mana yang membenarkan apa yang dinyatakan dalam permohonan pernyataan pembatalan perkawinan. Keempat,elemen Postulat, sebagai unsur terakhir dari libellus adalah permintaan pemohon agar hakim mengintervensi untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Permintaan hendaknya jelas dengan mencantumkan tanda tangan pemohon dan atau prokurator, hari, bulan dan tahun serta tempat tinggal pemohon (domisili/kuasi domisili).
3. Caput Nulllitatis
Persoalan pokok dalam menentukan caput nullitatis adalah persesuaian antara realita persengketaan perkawinan dengan landasan yuridis sebagai alasan pernyataan pembatalan perkawinan dan pembuktian melalui saksi-saksi biasa maupun ahli. Persesuaian ini penting agar pokok sengketa yang diajukan kepada hakim dapat sungguh terbukti oleh bukti-bukti empiris maupun yuridis bahwa perkawinan itu dapat dinyatakan batal. Pembatalan sebuah perkawinan terjadi apabila salah satu dari 3 hal ini terbukti yakni: adanya halangan baik umum maupun khusus, adanya cacat konsensus dan adanya cacat forma canonica. Pada umumnya halangan baik umum dan khusus, dan cacat forma canonica dapat diatasi dengan memberi kemurahan dispensasi atau pelonggaran atas hukum oleh ordinaris yang berwenang. Sedangkan bila ada cacat dalam konsensus (ketidakmampuan dalam menyatakan kesepakatan) yang mengakibatkan perkawinan batal harus dibuktikan melalui hukum proses perdata biasa khusus perkawinan (processo matrimoniale ordinario).
Beberapa pokok persengketaan/persoalan sekitar cacat konsensus yang dapat menjadi caput nullitatis:
1. Ketidaktahuan mengenai perkawinan (ignorantia, bdk. kan. 1096).
Dalam pernyataan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan bisa terjadi adanya ketidaktahuan pemahaman tentang perkawinan, sehingga menyebabkan kekeliruan pandangan atau bahkan tidakadanya elemen-elemen konstitutif perkawinan itu sendiri karena ketidaktahuan misalnya: kekeliruan sifat monogam, tak terceraikan, martabat sakramen perkawinan (bdk. kann. 1099, 1110). Sehubungan dengan hal ini bisa dikategorikan ke dalam error substantialis. Oleh karena itu, untuk keabsahan kesepakatan perkawinan, legislator meminta mempelai paling sedikit mengetahui (saltem) dari elemen substantial perkawinan kanonik.
2. Kekeliruan mengenai diri seseorang (error in persona, bdk. kan. 1097).
Secara umum error (kekeliruan) dapat dimengerti sebagai “falsa rei apprehensio seu falsum mentis iudicium” (F.M. Cappello, Tractatus canonico-moralis de sacramentis, vol. V, De Matrimonio, p. 554). Ada beberapa macam error a.l: error substantialis: kekeliruan tentang elemen esensial dari tindakan yuridis seperti: error habilitas personae,voluntas, declaratio, causa/finis operis, sollemnitates, error accidentalis: kekeliruan tentang elemen-elemen non substantial dari tindakan (condicio, terminus, modus, causa motiva, demonstratio), error antecedens dan error concomitans.
Kan. 1097, termasuk ke dalam error in persona. Prinsip umum yang mau ditekankan adalah tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kesesatan tentang sesuatu yang merupakan inti tindakan atau syarat mutlak adalah tidak sah (bdk. kan. 126). “Ignorantia et error obiective essentiales“, kekeliruan dan ketidaktahuan membentuk secara substansial pandangan tindakan yuridis yang tidak menghasilkan apa-apa (bdk. kan. 1097, # 1). Dalam kan. 1097, dinyatakan dua hipotesi yang pertama, error in persona sebagai error substantialis cerita tentang Yakob yang berkeinginan menikah dengan Rahel orang yang diketahuinya, ternyata dia menikah dengan Lea yang tidak dikehendakinya (bdk. Kej. 29: 15-30); kedua, error in qualitate personae: kekeliruan mengenai sifat pribadinya (kualitas) yang merupakan tujuan langsung dan utama kesepakatan.
3. Penipuan (error dolosus, bdk. kan. 1098).
Kanon ini masih berbicara tentang error (kekeliruan) karena tertipu, yakni orang menikah karena tertipu yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan. Actus positus ex dolo, untuk mengerti apa itu dolo? Tradisi yuridis Romawi mendefinisikan dolo sebagai berikut: “dolum malun esse omnem calliditatem fallaciam machinationem ad circumveniendum fallendum decipiendum alterum adhibitam” (Alpiano mengambil definisi ini dari Labone Marco Antistio abad 1, Digesta 4,3,1 #2). Dolo (penipuan) dibedakan atas dolus directus: penipuan yang langsung direncanakan oleh subyek pelaku dan dolus indirectus: melakukan penipuan tetapi lewat perantara orang lain.
4. Pengecualian (exclusio atau simulatio, bdk. kan. 1101).
Dalam doktrin yurisprudensi caput nullitatis berlandaskan pada kan 1101, disebut dengan simulatio, sementara dalam KHK 1983 ditemukan istilah exclusio(pengecualian). Simulatio dibedakan atas simulatio partialis: apabila salah satu atau kedua belah pihak dengan positif mengecualikan salah satu unsur hakiki perkawinan dan simulatio totalis: apabila salah satu atau kedua belah pihak dengan positif mengecualikan perkawinan itu sendiri. Para kanonis regio jawa menyebut tindakan semacam ini sebagai “sepasar bubar”. Artinya perkawinan belum ada sepasar (1 bulan) sudah bubar. Agar mengerti dapat memahami fenomena simulatio dalam kan. 1101 ini, perlu dilihat kembali prinsip yang dinyatakan dalam kan. 1057. Hal mana dinyatakan dalam kan. 1057 bahwa: kesepakatan adalah perbuatan kemauan (actus voluntatis) antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim membuat perkawinan. Jadi untuk membentuk kesepakatan (consenso) dibutuhkan kecukupan menggunakan akal budi (sufficienti rationis, kan. 1095, no. 1) dan perbuatan kemauan diperlukan pengetahuan yang minimal apa itu perkawinan (bdk. kan. 1096), suatu kemampuan membentuk pandangan mengenai hak dan kewajiban hakiki perkawinan (bdk. kan. 1095, no. 2) dan keabsahan internal maupun eksternal (bdk. kan. 1103).
Fenomena simulatio dapat membalikkan keabsahan internal perkawinan atau salah satu elemen esensial ketika kedua belah pihak menyatakan kesepakatan. Jika positif berlawanan dengan perkawinan dapat digolongkan simulatio totalis, jika pengecualikan sala satu dikatakan simulatio partialis. Simulatio partialis adalah simulatio yang kesepakatan perkawinannya masih eksis/ada. Ada kehendak/perbuatan kemauan dari kedua belah pihak untuk hidup bersama namun dalam kehidupan perkawinan (matrimonium in fieri) secara intrinsik berlawanan dengan kehendak yang membatalkan perkawinan itu sendiri karena mengecualikan sala satu dari elemen esensial. Simulatio titalis, secara relatif dicirikan oleh tidak adanya kehendak/perbuatan kemauan secara langsung maupun tidak langsung pada perayaan perkawinan. Untuk itu harus dibuktikan bahwa perbuatan kemauan itu berlawanan dengan elemen konstitutif kesepakatan dalam kehidupan perkawinan mereka.
Berbicara tentang nilai-nilai hakiki perkawinan atau maksud dan tujuan perkawinan sehubungan dengan caput nullitatis de matrimonii hendaknya diperhatikan kesejajaran antara kan. 1101 dengan 1095, # 3, tentang exclusio atau dalam yurisprudensi sering dipakai istilah simulatio. Ada tiga hal khusus yang dapat menjadi caput nullitatis de matrimonii sebagai pengembangan yurisprudensi perkawinan kanonik: quod exclusionem bonum coniugum, bila salah satu atau kedua belah pihak mengecualikan nilai hakiki perkawinan yakni keterarahnya hidup perkawinan kepada kesejahteraan suami-istri atau mengecualikan ius ad vitae communionem dalam perkawinan, quoad exclusionem bonum prolis, bila satu atau dari kedua belah pihak mengecualikan nilai hakiki perkawinan yakni kelahiran anak, quoad exclusionem boni sacramenti seu indissolubillitas, bila satu atau kedua belah pihak mengecualikan nilai hakiki perkawinan yakni sakramentalistas dan monogami, quoad exclusionem boni fidei, bila satu atau kedua belah pihak mengecualikan nilai hakiki perkawinan yakni kesetiaan kepada pasangan.
5. Perkawinan bersyarat (condicione, kan. 1102)
Condicione masuk ke dalam salah satu elemen aksidentil yang dapat menggagalkan perkawinan dengan merujuk pada kan. 124, # 1: “untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu dan agar dalam tindakan itu terdapat hal-hal yang merupakan unsur hakikinya dan pula agar ada segala formalitas serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu”. Perkawinan bersyarat (condicione) dibedakan atas 2 hal: pertama, dalam arti luas (in enso ampio), menunjukkan suatu keadaan/suasana yang ditambahkan pada kehendak/perbuatan kemauan (actus voluntatis) untuk perbuatan yuridis. Kedua, dalam arti sempit/langsung (in senso stretto): menunjukkan suatu kejadian yang akan datang, yang tak tentu/tidak tetap, yang memungkinkan kehendak/perbuatan kemauan dari sesorang untuk menggagalkan perbuatan yuridis.
Perkawinan sesuai dengan keadaan natura dan hakekatnya merupakan consortium totius vitae (bdk. kan. 1055, # 1) yang ditetapkan oleh kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan tak dapat ditarik kembali (bdk. kan. 1057, # 2), “tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah pencipta perkawinan yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan” (bdk. GS, 48), secara internal oleh pihak yang melakukan kesepakatan ketika mengucapkan intensi masing-masing pihak dan yang terungkap dalam kata-kata dan tindakan. Konsekuensinya adalah pernyataan kesepakatan merupakan manifestasi internal/sisi batin seseorang memiliki daya dalam perilaku/eksternal hidup perkawinan di masa mendatang tanpa syarat. Wernz atas nama para konsultor penggarap kitab hukum kanonik yang menganjurkan satu nomor kanon khusus yang berbicara tentang condicio de futuro ( perkawinan bersyarat mengenai sesuatu di masa mendatang) adalah perkawinan tidak sah (bdk. kan. 1102, # 1 juga terdapat dalam codeks orientale). GS, 48 lebih jauh menguatkan argumen itu bahwa karena pria dan wanita yang karena janji perkawinan “bukan lagi dua melainkan satu daging” (Mat. 19: 6), saling membantu dan melayani.
6. Paksaan atau ketakutan besar (vis et metus, bdk. kan. 1103)
Di antara penyebab eksternal selain dolo yang dapat menggagalkan perkawinan adalah paksaan atau ketakutan besar (vis et metus). Menurut tradisi yuridis Paolo Giulio (abad I-III), vis et metus diartikan sebagai berikut: “vis autem maioris rei impetus, qui repelli non potest“. Sedangkan menurut Ulpiano “metus instantis vel futuri periculi causa mentis trepidatio“. Vis physica adalah tindakan yang dilakukan secara fisik kasar oleh orang lain dengan memaksa mengharuskan, mewajibkan seseorang sehingga tidak ada lagi kebebasan untuk memilih cara yang lain. Sementara metus adalah konsekuensi dari akibat tekanan bagi orang yang mengalami paksaan berupa ketakutan yang besar. Kekerasan dibedakan atas kekerasan fisik, moral dan kesewenangan karena jabatan/otoritas. Ketakutan dibedakan atas munculnya ketakutan: metus ab intrenseco, dan metus ab extrinseco, ketakutan dibedakan berdasarkan cara melakukan: modo iustus dan modo inustus, ketakutan berdasarkan tingkatannya: metus levis dan metus gravis. Prinsip yang menjadi landasan yuridis kanon ini adalah kan. 125, # 1: “tindakan yang dilakukan karena paksaan fisik dari luar yang dikenakan pada orang yang sama sekali tidak dapat dilawan dianggap tidak sah”.
7. Ketidakmampuan (incapaces matrimonii contrahendi, kan. 1095)
Pernyataan pembatalan perkawinan dapat terjadi karena adanya unsur ketidakmampuan seseorang melangsungkan perkawinan. Jadi inti kan. 1095 terdapat pada alasan psikis (natura psichicha) pada subyek/seseorang yang tidak mampu menyatakan kesepakatan sebagai obyek yang melahirkan perkawinan (bdk. kan. 1057, 3 1: “Kesepakatan antara orang – orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim membuat perkawinan…”). Kesepakatan itu sendiri merupakan perbuatan kemauan (bdk. kan. 1057, # 2) dengan demikian menggunakan kemampuan ratio-intelektual, dan kehendak dari kedua belah pihak. Kan. 1095, memiliki 3 kemungkinan seseorang tidak mampu melangsungkan perkawinan. Pada nomor 1 dan 2 mengenai subyek kesepakatan, sedangkan nomor 3 tentang obyek kesepakatan.
Kan. 1095, no. 1: menyatakan “mereka yang tidak dapat menggunakan akal budi secukupnya”. Tidak dapat menggunakan akal budi secukupnya menunjukkan ketidakmatangan seseorang karena umur yang belum dewasa. Seperti mereka yang disebut masih anak-anak (bdk. kan. 97, # 2: “orang yang belum dewasa sebelum berumur tujuh tahun disebut anak-anak dan dianggap belum dapat menguasai diri, tetapi setelah genap berumur tujuh tahun diandaikan dapat menggunakan akal budi”). Hal yang sama berlaku bagi mereka yang kena sangsi pidana. Tidak terkena pelaku penggaran undang-undang atau perintah yang tidak dapat menggunakan akalbudi (bdk. kan. 1323, no. 6). Mereka yang tergolong tidak dapt menggunakan akal budinya adalah orang yang mabuk, mengalami gangguan mental, orang gila, orang idiot, masih anak-anak belum dewasa.
Kan. 1095, no 2: menyatakan “mereka yang menderita cacat berat dalam kemampuan membentuk pandangan mengenai hak-hak serta kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan”. Apa yang dimaksudkan dengan kanon ini?
GS, no. 48 menegaskan bahwa perkawinan adalah persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang lahir dari kesepakatan, Dan kesepakatan nikah (consensus) adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan (kan. 1057, # 2), yang terarah pada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak (atque generatio et educatio prolis) (kan. 1055, # 1), dan memiliki sifat-sifat hakiki perkawinan: monogam dan tidak terceraikan (kan. 1056). Untuk membentuk perbuatan kemauan/kehendak sesungguhnya seseorang memerlukan tindakan manusiawi yang penuh dan pengetahuan yang cermat tentang obyek formal perkawinan (tujuan dan sifat-sifat hakikinya). Jadi perkawinan meminta kedua belah pihak baik pria maupun wanita memiliki pengetahuan yang cukup (una adeguata cognizione), kebebasan internal/batin, dan kemampuan mengaktualisasikan. Pengetahun yang cukup berarti menggunakan ratio, mengoperasikan aspek intelektual, kemampuan membuat abstraksi dari yang diketahui dengan membayangkan secara menyeluruh serta mampu membuat aksi tentang kebaikan dan manfaatnya. Oleh karena itu dibutuhkan kedewasaan psiko-afeksi di dalam perkawinan. Kedewasaan yang yang dituntut dalam kanon ini adalah adalah dewasa (maturity) secara umum bio-psichica baik secara bilogis maupun psikis berdasarkan konsep psikologi bukan secara yuridis. Karena itu, legislator menulis dewasa dimengerti sebagai kemampuan membentuk pandangan, yang dituntut dari kedua belah pihak agar mampu melangsungkan perkawinan. Legislator memberikan arti dewasa secara pribadi bukan hanya secara penuh dan absolut melainkan kedua belah pihak memiliki kemampuan yang minimum (minima)dan proporsional (proporzionata). Artinya seseorang memiliki kemampuan minimum dari intelek, kehendak dan afeksi untuk saling mencintai dalam hidup perkawinan. Kegagalan sebuah perkawinan disebabkan bukan hanya karena ketidakmampuan atau ketidakpandaian seseorang yang mengakibatkan cacat dalam kesepakatan melainkan juga semua hal yang negatif yang terjadi dalam perkawinan seperti adanya kekurangan dalam usaha membentuk pandangan tentang perkawinan sebagai consortium totius vitae et amoris, berperilaku jahat, tidak memenuhi kewajiban, tidak bertanggungjawab secara pribadi dan terakhir menolak kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan (bdk. Giovanni Paolo II, nell’Allocuzione alla Rota Romana del 5 febbr. 1987, AAS 79 (1987), p. 1457, n. 7).
Kan. 1095, no. 3: menyatakan mereka yang karena alasan psikis (natura psichica) tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan.
Causa di natura psichica, merupakan cacat yang menghalangi seseorang mampu memenuhi tujuan dan kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan. Natura psichicadiartikan sebagai penyakit anomalie psichica atau perturbazioni. Perlu kiranya dibedakan antara kesulitan sebagai halangan dan ketidakmampuan. Kan. 1095, no. 3, berbicara bukan tentang halangan melainkan secara moral berbicara tentang ketidakmampuan (impossibilità) seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Hal tersebut dikatakan pula oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II saat audiensinya di Rota Romana, tgl. 5 Febbr. 1987 dan 1988. Ketidakmampuan seseorang berhubungan dengan obyek formal dari kesepakatan, yang mengakibatkan salah satu pihak atau keduanya tidak mampu melakukan tindakan perkawinan itu sendiri. Hal itu juga ditegaskan oleh Stankiewicsz dalam keputusannya: “obligationes matrimonii essentialis, in obiecto formali essentiali consensus insitae, vires psychicas nupturientis in ordine executivo excedunt, ita ut actu voluntatis ad erarundem adimpletionem se obligare non possit. Nemo sane ad obligationis impossibilis adimpletionem se obstringere valet, quia ipsa obligatio circa praestationem impossibilem ex natura rei non nascitur iuxta illud generale iuris principium: ‘impossibilium nulla obligatio est’” (coram Stankiewicsz, 28 maggio 1991, Il Diritto Ecclesiastico (1994, II), 30, no. 10).
Kembali diingatkan bahwa kan. 1095, no. 3 bila ditarik dari asalnya bahwa perkawinan tidak dapat berlangsung disebabkan oleh alasan psikis (causa di natura psichica):anomalie evolutive atau perturbazioni.
Beberapa penyakit patologis afeksi sehubungan dengan alasan psikis, yang dapat menggagalkan perkawinan: psikosi, schizofrenia, paranoia, epilepssia, alkoholisme –drug, nevrosi, psicopatie, anomalia seksual, oligofrenia, ludopatia.
4. Penutup
“Caput Nullitatis Matrimonii” adalah bagian pokok dan penting dalam proses annulasi perkawinan kanonik. Semoga uraian singkat dalam tulisan ini bermanfaat bagi para Iuris dan kelompok kanonis di Indonesia. Sejauh yang saya ketahui bahwa studi tentang Hukum Gereja di Indonesia telah berkembang dengan pesat. Terbukti dengan banyaknya minat Imam, suster dan awam mempelajari hukum Gereja, mulai munculnya buku-buku yang membahas tentang hukum Gereja serta terbentuknya Tribunal di Keuskupan masing-masing, meskipun masih ada keuskupan tanpa Tribunal. Dengan tulisan ini pula kita berharap banyak keuskupan di Indonesia mulai membentuk Tribunal Perkawinan untuk menolong keluarga-keluarga kristiani yang bermasalah dan mencari keadilan di Gereja kita.
Daftar bacaan:
1. Pio Vito PINTO, I Processi nel Codice di Diritto Canonico, Libreria Editrice Vaticana Pontifica Università Urbaniana, Roma, 1993,
2. Luigi SABBARESE, Il Matrimonio Canonico nell’Ordine della Natura e della Grazia, Commento al Codice di Diritto Canonico Libro IV, Parte I , Titolo VII, Manuali, Urbaniana University Press, Roma, 2002.
3. Manuel J. ARROBA CONDE, cmf, Diritto Processuale Canonico, Institutum Iuridicum Claretianum, Ediurcla, Roma, 1996.
4. Angelo AMATI, Matrurità psico-affettiva e Matrimonio (can. 1095, 2-3 del Codice di Diritto Canonico), Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano, 2001.
5. A. LONGHITANO, Il Codice del Vaticano II, Matrimonio Canonico (Collana), Edizione Dehonianae, Bologna, 1985.
6. Studi Giuridici XXXIX, Il Processo Matrimoniale Canonico, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano,1994.
7. Studi Giuridici XXVII, I Procedimenti speciali nel Diritto Canonico, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano, 1992.
8. F.M. CAPELLO, Tractatus canonico-moralis de sacramentis, vol. V, De Matrimonio, p. 554.
9. GIOVANNI PAOLO II, nell’Allocuzione alla Rota Romana del 5 febbr. 1987, AAS 79 (1987), p. 1457, n. 7.
10. Coram Stankiewicsz, 28 maggio 1991, Il diritto ecclesiastico (1994, II), 30, no. 10.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.