Vikaris adalah sebuah kata dalam Bahasa Indonesia yang diserap dari Bahasa Latin “Vicarius”. Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis bahwa artinya adalah “pembantu (pengganti) dalam jabatan pimpinan gereja”. Dalam artikel ini, saya membatasi pembahasan khusus untuk para Vikjen (Vikaris Jenderal), Vikep (Vikaris Episkopal), Dekan/Deken (Vikaris Foraneus), dan Vikjud (Vikaris Yudisial). Keempat jabatan ini ada di berbagai keuskupan di Indonesia. Selain itu, sebenarnya masih ada juga vikaris-vikaris yang lain. Vikaris Kristus, misalnya, adalah Paus. Vikaris Apostolik, contoh yang lain, adalah jabatan yang dalam banyak kasus diemban oleh klerus dengan martabat uskup. Kedua vikaris yang terakhir ini bukan termasuk yang dibahas di sini.
Banyak umat Katolik mengenal Romo/Pastor Vikjen. “Di setiap keuskupan haruslah diangkat oleh Uskup Diosesan seorang Vikaris Jenderal, yang diberi kuasa berdasar jabatan untuk membantu Uskup memimpin seluruh keuskupan, …” (Kan 475 §1) Ada juga Vikaris Episkopal–di Keuskupan Surabaya, misalnya. “Setiap kali kepemimpinan yang benar atas keuskupan membutuhkannya, Uskup Diosesan dapat juga mengangkat seorang atau beberapa Vikaris Episkopal yang, di bagian tertentu keuskupan atau dalam bidang tertentu atau untuk kaum beriman ritus tertentu atau kelompok orang-orang tertentu, mempunyai kuasa berdasarkan jabatan, yang menurut hukum universal dimiliki Vikaris Jenderal, …” (Kan 476) Ada juga Vikaris Foraneus, atau Dekan/Deken–di Keuskupan Agung Jakarta, misalnya. “Vikaris Foraneus, yang juga disebut Dekan/Deken (Decanus) atau Imam Agung (Archipresbyter) atau dengan nama lain, ialah imam yang mengetuai suatu Vikariat Foraneus atau Dekanat/Dekenat.” (Kan 553 §1) Yang terakhir, ada juga Vikaris Yudisial atau Vikjud. “Uskup Diosesan manapun wajib mengangkat seorang Vikaris Yudisial atau Ofisial, yang bukan Vikaris Jenderal, dengan kuasa jabatan untuk mengadili, kecuali kecilnya keuskupan atau sedikitnya jumlah perkara menganjurkan lain.” (Kan 1420 §1).
Sebelum bicara tentang busana para Vikaris, ada baiknya saya bahas secara singkat tentang Prelatus Minor. Apa itu Prelatus Minor? Banyak umat tahu di Gereja Katolik ada Diakon, Imam, Uskup, Kardinal, dan Paus. Itu hirarkinya secara sederhana. Sebenarnya masih banyak lagi yang terselip di antara mereka. Penyandang martabat Uskup atau yang lebih tinggi biasa disebut secara kolektif sebagai “Prelatus”. Prelatus Minor adalah istilah yang dipakai untuk para penyandang martabat-martabat lain di bawah Uskup dan di atas Imam biasa. Termasuk dalam golongan Prelatus Minor ini, di antaranya, adalah Kapelan Bapa Suci (Capellanus Sanctitatis Suae/Chaplain of His Holiness), Prelatus Kehormatan Bapa Suci (Praelatus Honorarius Sanctitatis Suae/Honorary Prelate of His Holiness) dan Protonotaris Apostolik (Protonotarius Apostolicus/Apostolic Protonotary). Para Prelatus Minor berhak mengenakan titel Monsignor, tetapi mereka bukanlah uskup. Di Kedubes Vatikan di Jakarta, sampai awal tahun 2015 yang lalu masih ada Msgr. José Luis Díaz-Mariblanca Sánchez, orang kedua setelah Nunsius, yang adalah seorang Kapelan Bapa Suci. Beliau menggantikan Msgr. Jozsef Forro. Lalu ada juga Almarhum Msgr. Valentinus Winardi Kartosiswoyo, yang pernah menjadi Pro-Sekretaris KWI, yang menerima martabat Prelatus Kehormatan Bapa Suci pada tahun 1987. Di luar Indonesia banyak imam-imam diosesan yang atas prakarsa uskupnya memperoleh martabat Prelatus Minor ini dari Bapa Suci. Aturan busana untuk para Prelatus Minor cukup rumit dan spesifik. Ada detil-detil kecil yang membedakan antara satu dengan yang lainnya, dan antara mereka dengan Uskup. Singkatnya, dari busananya kita dapat mengetahui martabat seseorang secara tepat.
Nah, sekarang kita kembali ke pembahasan tentang para Vikaris dan busananya. Dalam Caeremoniale Episcoporum (Tata Upacara Para Uskup) terdapat aturan busana para Uskup, Kardinal, Prelatus lain dan Kanonik (bdk. CE 1199-1210). Dokumen asli yang dikutip adalah Ut sive sollicite dan Per instructionem. Akan tetapi, di dokumen-dokumen itu tidak ada aturan tentang busana untuk para Vikaris yang dibahas di sini.
Dalam Motu Proprio Inter Multiplices Curas yang dikeluarkan Paus Pius X pada tahun 1905, diatur bahwa kepada Vikaris Jenderal dan Administrator Diosesan (dahulu disebut Vikaris Kapitular) diberikan martabat Protonotaris Apostolik Tituler selama memangku jabatan tersebut (bdk. IMC 62). Protonotaris Apostolik, seperti yang saya sebut di atas, adalah salah satu Prelatus Minor yang berhak mengenakan gelar Monsignor. Itu sebabnya dalam Annuario Pontificio, direktori yang dikeluarkan Vatikan setiap tahunnya, nama-nama para Vikjen yang berasal dari kalangan imam sekuler (projo) ditulis dengan gelar Monsignor di depannya. (Catatan: Gelar Monsignor [non-uskup] tidak pernah diberikan kepada imam religius) Jabatan Protonotaris Apostolik Tituler ini akhirnya ditiadakan oleh Paus Paulus VI dengan Motu Proprio Pontificalis Domus pada tahun 1968. Meskipun begitu, penulisan nama Vikjen non-religius dengan gelar Monsignor dalam Annuario Pontificio masih tetap dipertahankan; entah mengapa. Mungkin sekedar untuk memudahkan? Karena di banyak keuskupan rupanya banyak Vikjen yang secara individual memiliki martabat Prelatus Minor juga?
Protonotaris Apostolik memang memiliki busana yang hampir mirip Uskup, lengkap dengan sabuk warna ungunya. Meski begitu, untuk Vikjen yang dahulu adalah Protonotaris Apostolik Kehormatan selama menjabat, busana yang diberikan Paus Pius X sejak awalnya adalah jubah plus sabuk hitam, yang juga dikenakan oleh para Imam biasa (bdk. IMC 67). Itu sebabnya para Protonotaris Tituler ini dikenal sebagai “Black Protonotaries” (bdk. Nainfa, Costume of the Prelates of the Catholic Church, pp. 26-27), karena beliau-beliau ini bermartabat Protonotaris namun mengenakan jubah dan sabuk hitam, bukan ungu. (Catatan: Di daerah tropis warna jubah hitam ini boleh diganti dengan putih).
Hal Vikjen mengenakan jubah plus sabuk hitam seturut Inter Multiplices Curas ini sebenarnya tidak bisa dibilang istimewa, karena pada saat itu Imam biasa pun juga mengenakannya. Sejak 1624 Paus Urbanus VIII memang memandatkan pengenaan sabuk hitam ini untuk semua Imam, sebagai penanda hidup yang dibaktikan kepada Kristus. Sebuah sabuk, betapapun indahnya, sejatinya adalah simbol pengekangan diri. Motu Proprio dari Paus Urbanus VIII ini tidak pernah dibatalkan, oleh Pontificalis Domus ataupun aturan-aturan lain pasca Konsili Vatikan II sekalipun (bdk. Noonan, The Church Visible, p. 295). Meski begitu, dalam tiga ratus tahun perkembangannya sejak 1624, pengenaan sabuk hitam ini rupanya mengerucut hanya untuk para pejabat-pejabat tertentu, meski aturan tidak pernah membatasi demikian. Pakar busana Gereja Nainfa, dalam buku klasiknya Costume of the Prelates of the Catholic Church – According to Roman Ettiquette yang diterbitkan 1925, mengisyaratkan demikian. Menurut Nainfa, sabuk atau fascia ini adalah penanda yurisdiksi bagi klerus dan martabat bagi Prelatus (pp 57-58). Lebih jauh, secara spesifik Nainfa juga menyebut bahwa Rektor Seminari, sebagai penanda otoritasnya, pun memiliki privilese mengenakan sabuk hitam (bdk. pp. 58-59).
Dari pembahasan di atas, dan dari fakta di lapangan bahwa dewasa ini sabuk hitam sudah tidak lagi dikenakan luas oleh para klerus, seturut aturan-aturan dan sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan yang legitim yang berlaku dalam Gereja Katolik, sepakat dengan pakar busana Gereja Nainfa, saya menyarankan pengenaan sabuk hitam bagi para klerus yang mengemban jabatan gerejawi tertentu, termasuk Vikjen, Vikep, Dekan/Deken, Vikjud, dan juga Rektor Seminari. Selain penanda yurisdiksi, sekali lagi, sabuk ini merupakan simbol pengekangan diri dan penanda hidup yang dibaktikan kepada Allah. Uskup dapat menyampaikan hal ini saat menganugerahkannya kepada para Vikaris. Dari sudut pandang umat, suka atau tidak, percaya atau tidak, asesoris kecil ini sungguh dapat membantu mereka dalam menerima wakil-wakil Uskup yang hadir dan menjalankan tugas atas nama beliau.
Di beberapa keuskupan mungkin Vikjen atau Administrator Diosesan atau vikaris-vikaris yang lain ada yang mengenakan busana yang mirip dengan busana Uskup, dengan sabuk sutera ungunya. Jangan buru-buru ditiru. Bisa jadi secara individual beliau-beliau itu memang mempunyai martabat Prelatus Minor, dan karenanya berhak atas gelar Monsignor, dan juga berhak mengenakan busana sesuai martabatnya. Msgr. Karto, misalnya, pernah menjadi Vikjen Keuskupan Bogor dan juga Vikjud Keuskupan Agung Semarang. Beliau mengenakan busana yang menjadi haknya sebagai penyandang martabat Prelatus Kehormatan Bapa Suci, yaitu jubah hitam/putih dengan jahitan, plipit dan kancing warna merah crimson (bukan ungu) yang sama dengan jubah seorang Uskup, namun tanpa tambahan mantol kecil di pundak/dadanya dan juga tanpa salib dada serta tanpa solideo atau topi kecil ungu khas Uskup. Vikjen atau Vikjud yang lain yang tidak memiliki martabat Prelatus Minor hendaknya tidak dibuatkan busana seperti Msgr. Karto.
Oh ya, tadi saya menyebut warna jahitan, plipit dan kancing untuk jubah Uskup dan Prelatus Kehormatan Bapa Suci adalah merah crimson. Memang begitulah yang seharusnya. Di Indonesia kebanyakan penjahit jubah uskup mungkin tidak tahu detil ini dan mengunakan warna ungu. Jahitan, plipit dan kancing ungu sebenarnya adalah ciri khas jubah Kapelan Bapa Suci, yang secara martabat ada di bawah Uskup dan Prelatus Kehormatan Bapa Suci.
Yang terakhir, hal topi kecil bundar, yang sering kita lihat dipakai Uskup, Kardinal dan Paus. Di Indonesia topi ini dikenal dengan nama solideo. Nama lainnya adalah pilleolus atau zucchetto atau calotte. Topi ini sebenarnya awalnya adalah penutup kepala untuk semua klerus yang sudah menerima tonsura atau penggundulan bagian atas kepala seperti yang sering kita lihat di patung-patung St. Fransiskus Asisi atau St. Antonius Padua dan lain-lain. Dengan ditinggalkannya tradisi penggundulan kepala ini, penggunaan solideo di kalangan klerus pun memudar. Tinggal Prelatus saja yang sekarang kita lihat masih menggunakan solideo. Padahal, solideo sebenarnya dapat dikenakan oleh semua tingkatan klerus (Noonan, p. 306). Warna solideo mengikuti juga warna jubah dan sabuk: putih untuk Paus, merah untuk Kardinal, ungu untuk Uskup, dan hitam untuk Imam. Bila dikehendaki, para Vikaris dapat menggunakan solideo warna hitam, melengkapi sabuk hitam mereka. Solideo hitam ini harus dilepas di sakristi sebelum mereka memimpin atau mengikuti upacara liturgi (Noonan, p. 307). Dalam hal ini aturannya memang sedikit beda dengan Uskup, yang boleh tetap mengenakannya, dan hanya melepasnya saat ada kehadiran nyata Kristus dalam rupa Sakramen Mahakudus. Semua solideo hendaknya dilepas (sejenak) saat kedatangan atau kehadiran Prelatus yang lebih tinggi, sebagai ungkapan rasa hormat. Dalam foto di bawah ini terlihat bahwa Paus Emeritus Benedictus XVI pun melepas solideonya, sebagai ungkapan penghormatan, saat beliau dihampiri oleh Paus Franciskus; dari sini kita belajar bersikap rendah hati dan menghormati seorang Ordinaris. (AW)
Penulis: Albert Wibisono (http://tradisikatolik.blogspot.com)
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019