JIKA ada satu orang yang berani menceburkan dirinya ke ‘pinggiran’, sebagaimana dikatakan oleh Paus Fransiskus, ia adalah Bunda Teresa dari Kalkuta. Dan jika ada satu orang yang memperlihatkan keberanian dan kreativitasnya untuk membawa rahmat Tuhan ke tengah dunia, dia adalah pendiri Serikat Misionaris Cinta Kasih.
Bagi banyak orang, Tahun Kerahiman Gereja Katolik akan berpuncak pada acara kanonisasi Beata Teresa dari Kalkuta pada 4 September nanti, di mana amal kasih, kekudusan dan rahmat keberanian sungguh-sungguh ditemukan dalam dirinya.
Ken Hacket, Duta Besar AS untuk Vatikan mengatakan, ia menghadiri pemakaman Bunda Teresa pada tahun 1997, misa beatifikasi pada tahun 2003 dan akan menghadiri misa kanonisasi di mana Bunda Teresa akan dinyatakan Kudus.
“Di mana pun Bunda Teresa selalu mendorong para Misionaris Cinta Kasih untuk pergi ke tempat-tempat ‘pinggiran’, tempat-tempat yang paling sulit, kata Hacket.
Para Misionaris Cinta Kasih selalu mengikuti pesan Bunda Teresa, tidak peduli ketika mereka berada dan bekerja di negara yang sedang jatuh dalam konflik sekalipun. Bunda Teresa membuka rumah di Ethiopia selama kediktatoran Komunis berkuasa, di lingkungan paling miskin di Haiti, di Rwanda setelah genosaid dan di Yaman, di mana 4 Misionaris Cinta Kasih dibunuh pada bulan Maret.
“Ketika ada konflik, ada perang, ada pertempuran, mereka (Para Misionaris Cinta Kasih) ada di sana, dan mereka sungguh bertahan”, kata Hacket lagi.
Bunda Teresa telah memperlihatkan sebuah komitmen hidup yang luar biasa untuk mengutamakan kasih yang mengatasi kepentingan diri. Keberaniannya juga diperlihatkan melalui ‘kebenaran kata-kata’. Seperti Paus Fransiskus, Bunda Teresa menghabiskan waktu dan tenaganya untuk kebaikan bersama, berkomunikasi secara pribadi dengan setiap orang dan secara sadar memilih hidup sederhana bahkan miskin. Dalam hidup hariannya, Bunda Teresa tidak jarang menghadapi kritik karena tidak mau menggunakan popularitasnya untuk mendukung perubahan sosial politik.
“Anda dapat menemukan semua hal yang tidak dimilikinya, ia adalah sebuah model dan sekarang ia akan menjadi seorang santa”, kata Valeri Martano, Koordinator Komunitas San Edigio untuk Asia.
“Kita sedang berbicara tentang seorang wanita yang sanggup keluar dari kerangka umum, dari apa yang diharapkan oleh wanita Katolik di tahun 1940-an. Bunda Teresa memilih untuk memahami dunia melalui sudut pandang paling kecil, sebagaimana apa yang Paus Fransiskus ungkapkan: pada wilayah ‘pinggiran’, terang Martino.
Tapi, itu bukan awal yang sesungguhnya, kata Martino. Sebagaimana Paus Fransiskus dan Bunda Teresa, demikian Martino menjelaskan, segala sesuatunya dimulai dengan doa. Pendiri Misionaris Cinta Kasih itu bersikeras bahwa ia dan saudara-saudaranya menjalankan hidup “kontemplatif” di tengah-tengah dunia. Itu bukan hanya tentang menjalankan hidup doa. Doa Bunda Teresa telah membawanya pergi ke tempat-tempat pinggiran, dan bahwa ‘pinggiran’ menjadi kata kunci dalam doa-doanya.
“Apa yang Bunda Teresa hidupi, yang diajarkan Paus Fransiskus: kasih sayang sekalipun disakiti, peka terhadap penderitaan orang lain”, kata Uskup Agung Bologna, Italia, Matteo Zupi.
Menurut Mgr. Zupi, Bunda Teresa adalah model Gereja yang ‘dekat dengan orang miskin, yang tinggal dan melayani orang miskin’. Sebuah wasiat yang ditinggalkannya mengungkapkan, betapa Bunda Teresa mengalami ‘kegelapan hati’, sebuah situasi ditinggalkan oleh Allah, menurut Mgr. Zupi, merupakan ungkapan batin yang mendalam dari Bunda Teresa tentang kehidupan orang miskin yang ditinggalkan.
=======
Diterjemahkan dari http://www.catholicregister.org/
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.