Beranda SEPUTAR VATIKAN Urbi Bulan Kitab Suci Nasional: Ibadah Keluarga Kristiani (Pekan V)

Bulan Kitab Suci Nasional: Ibadah Keluarga Kristiani (Pekan V)

Persekutuan keluarga: Ilustrasi dari www.nuovascintilla.com

IBADAH KELUARGA KRISTIANI

Setelah melihat seluk beluk ibadah di dalam Kitab Suci, sekarang kita akan melihat bagaimana pemahaman itu dapat menggerakkan keluarga untuk beribadah kepada Allah. Berdasarakan pendalaman bahan-bahan dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai ibadah, kita akan merenungkan bagaimana keluarga menjadi tempat ke­hadiran Allah. Dalam keluarga, khusuhsnya dalam ibadah, Allah menjumpai selu­ruh anggotanya untuk mendidik mereka hidup menurut kehendak-Nya.

A. Keluarga sebagai Tempat Kehadiran Allah

Dalam Perjanjian Lama kita melihat bagaimana Allah yang tinggal di surga itu hadir dalam dunia manusia. Kita juga melihat bahwa tempat yang dipergunakan sebagai tempat beribadah disebut tempat suci. Tempat itu dipandang suci bukan karena keistemewaan tempat itu, tetapi karena Allah pernah hadir dan menyatakan diri di tempat itu. Karena Allah pernah menjumpai manusia suatu tempat atau karena leluhur mereka pernah berjumpa dengan Allah di situ, tempat itu dipergunakan sebagai tempat ibadah. Orang Israel datang dan beribadah di tempat itu karena yakin dapat berjumpa dengan Allah di tempat itu. Kehadiran Allah yang kuduslah yang membuat tempat itu menjadi kudus.

Dalam Sakramen Perkawinan, Allah hadir dan mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang dikehendaki-Nya. Ia menghendaki agar keduanya membangun keluarga dalam ikatan cinta kasih. Tetapi, Ia tidak hanya mempersatukan keduanya lalu meninggalkan mereka dan membiarkan mereka menjalani kehidupan di dunia ini. Allah yang berkuasa di surga tetap hadir dalam keluarga yang mereka bangun dan menyertai orangtua dan anak-anak sepanjang hidup mereka. Karena Allah senantiasa hadir di dalam keluarga, keluarga dapat disebut sebagai sebuah tempat suci. Di dalamnya seluruh anggota keluarga dapat menghadap Allah dan Allah pun berkenan untuk menjumpai mereka.

Sebenarnya hal ini tidaklah baru di dalam kehidupan keluarga Katolik. Sudah sejak lama orang Katolik memasang benda-benda suci (patung, gambar, salib, dsb). Semua itu ada di dalam rumah, bukan untuk hiasan atau sekedar untuk menunjukkan jatidiri sebagai keluarga Katolik. Juga tidak dimaksudkan bahwa rumah menjadi etalase atau ruang pamer untuk memajang benda-benda yang dibeli dari berbagai tempat ziarah. Sebaliknya, benda-benda suci itu membantu seluruh anggota keluarga untuk selalu menyadari kehadiran Allah di dalam keluarga. Dengan melihat benda-benda suci itu, orang apat melihat dan merasakan Allah yang hidup di tengah keluarga. Yesus yang dahulu hadir di Israel kuno, tetap hadir di tengah keluarga Kristiani.

B. Ibadah: Perjumpaan Allah dengan Keluarga

Seperti yang telah kita lihat, pada dasarnya ibadah merupakan perjumpaan Allah dengan manusia. Ibadah yang paling mungkin dilaksanakan di dalam keluarga adalah Ibadah Sabda. Dalam ibadah ini seluruh anggota keluarga berkumpul dan bersama-sama menghadap Tuhan yang hadir di dalam keluarga. Dalam Ibadah Sabda kita bertemu dengan Yesus, mendengarkan sabda-Nya dan menanggapinya.

Allah Hadir dan Bersabda. Yesus Kristus telah mati, bangkit, naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah dan menjadi pembela kita (Rm. 8:34). Dengan berbagai cara Ia hadir dalam Gereja-Nya (LG 48). Dalam perayaan Ekaristi, selain hadir dalam kedua rupa Ekaristi seperti yang telah kita lihat (liturgi Ekaristi), Yesus juga hadir dalam Sabda-Nya (liturgi Sabda). Konstitusi Liturgi menandaskan bahwa Allah benar-benar hadir dalam sabda-Nya, karena Ia sendirilah yang berbicara bilamana, dalam gereja, Alkitab dibacakan (KL no 27). Hal yang sama ditegaskan oleh Pedoman Umum Misale Romawi: “Bila Alkitab dibacakan dalam gereja, Allah sendirilah yang bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus mewartakan kabar baik, sebab Ia hadir dalam sabda itu” (PUMR 29)

Allah telah mempersatukan suami dan istri dalam ikatan perkawinan dan menghendaki mereka untuk membangun keluarga yang setia kepada-Nya. Dalam perjalanan hidup keluarga, Allah tetap menyertai keluarga itu dan membimbingnya. Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dalam Kitab Suci Bapa yang ada di surga dengan penuh cinta kasih menjumpai para putra-Nya dan berwawancara dengan mereka (DV 21). Ketika seluruh anggota keluarga berkumpul dan Kitab Suci dibacakan, Allah hadir dan menyampaikan Sabda-Nya kepada seluruh anggota keluarga: kepada setiap anggota sebagai pribadi dan sebagai keluarga. Melalui Kitab Suci Allah menyapa keluarga, menyampaikan kehendak-Nya, dan membimbing keluarga tersebut.

Menanggapi Sabda Allah. Melalui Sabda yang dibaca dan direnungkan, Allah telah berbicara kepada seluruh anggota keluarga. Sebagai tanggapan atas Sabda-Nya, seluruh anggota keluarga menyampaikan doa-doa kepada Allah. Doa-doa itu dapat berupa pujian, ucapan syukur, maupun permohonan. Tetapi, semua mengambil inspirasi dari Sabda yang telah direnungkan sehingga sungguh-sungguh menjadi tanggapan atas Sabda yang telah disampaikan Allah. Untuk itu orangtua perlu mengajar anak untuk menyusun doa untuk disampaikan kepada Allah. Ini tidak berarti orangtua mendiktekan doa untuk diucapkan kepada anak, tetapi membantu anak untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Tuhan.

Dengan demikian, keluarga juga menjadi sekolah doa bagi anak-anak yang lahir di dalamnya. Dalam hal ini, orangtua menjadi guru doa bagi anak-anaknya. Paus Yohanes Paulus II menyatakan, “Karena martabat serta perutusannya, orangtua Kristiani mengemban tanggung jawab khas membina anak-anak mereka dalam doa, sambil mengajak mereka menemukan secara berangsur-angsur misteri Allah da berwawancara secara pribadi dengan-Nya: ‘Terutama dalam keluarga Kristiani yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban Sakramen Perkawinan, anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah …’” (FC 60),

C. Ibadah Keluarga sebagai Sekolah Iman

Dalam Sakramen Perkawinan suami dan istri berjanji untuk mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan dalam iman Katolik. Dalam arti umum iman berarti menerima kebenaran tentang Allah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebenaran ini. Tetapi, iman juga menyangkut sikap hati: orang yang memiliki iman mempercayakan diri kepada Allah dan mengandalkan-Nya. Untuk dapat sungguh beriman, orang memerlukan dua hal. Pertama, mengenal siapa Allah yang sebenarnya (iman yang benar). Kedua, menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah dan mengandalkan-Nya (iman yang sejati). Orang beriman mempercayakan diri sepenuhnya pada Allah sebagaimana Ia menyatakan diri. Ia menyatakan diri melalui ciptaan- Nya, melalui sejarah umat Israel, dan terutama melalui Yesus Kristus.

Dalam keluarga orangtua memiliki tanggung jawab besar untuk memperkenalkan Allah yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan sekolah kehidupan bagi anak-anak sehingga orangtua bertanggung jawab untuk mendidik anak tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai orang beriman. Keluarga adalah tempat ideal untuk mewariskan iman, untuk memperkenalkan anak pada Yesus yang diimani, dan untuk membina hubungan yang akrab dengan Allah. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan iman anak karena mereka dipercaya oleh Tuhan untuk mendidik dan memelihara anak-anak yang lahir dalam keluarga mereka. Orangtualah yang pertama-tama memperkenalkan Allah kepada anak-anak dan mendidik mereka untuk hidup dalam penyerahan diri kepada-Nya.

Dalam pembinaan iman di dalam keluarga, Kitab Suci, sumber iman Kristiani, menjadi sarana utamanya. Ibadah yang dilakukan di dalam keluarga merupakan kesempatan yang sangat baik untuk memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak dan untuk mendidik dalam iman akan Tuhan. Dalam ibadah itu orangtua mengajak anak-anak untuk membaca Kitab Suci dan menjelaskan isinya kepada mereka. Di dalam Kitab Suci kita dapat berjumpa dengan Allah yang seharusnya dipercaya dan diandalkan oleh manusia. Selain itu, kita dapat belajar bagaimana harus menyerahkan diri kepada Allah yang sejati dan mengandalkan-Nya. Hanya dengan membaca Kitab Suci, kita dapat berjumpa dengan Allah yang kita imani dan dapat mengenal- Nya dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, orangtua menjadi pewarta Kabar Gembira Kristus bagi anak-anak mereka. Seperti Gereja, keluarga menjadi tempat di mana Injil diteruskan dan dari mana Injil bercahaya (EN 71). Perlu disadari bahwa masa depan pewartaan Injil sebagian besar bergantung dari Gereja rumah tangga (FC 52).

Gereja Katolik menempatkan keempat Injil sebagai kitab yang utama karena memuat kisah hidup dan ajaran Yesus. Karena itu, keluarga Katolik pun menempatkan keempat Injil sebagai bahan utama untuk dibaca dan didalami. Ketika membaca Injil kita menyaksikan apa yang dikerjakan oleh Yesus dan mendengarkan apa yang diajarkan-Nya. Karena itu, semakin banyak membaca Injil, kita akan mengenal Kristus dengan lebih lengkap. Karena itu, ketika membaca kisah-Nya, baiklah kita mengajukan: Apa yang dikatakan perikop ini mengenai Yesus? Apa yang dapat saya teladan dari Yesus dalam perikop tersebut? Atau apa yang diajarkan Yesus kepada saya? Perlu diingat juga bahwa “…tidak mengenal Kitab Suci berarti belum mengenal Kristus” (DV 25). Ini berarti bahwa semua orang beriman, para pengikut Kristus, harus membaca Kitab Suci supaya dapat mengenal Kristus yang mereka ikuti.

Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia dan yang mengundang kita untuk mengikuti jejak-Nya. Karena itu, Dialah yang harus menjadi teladan dan pedoman hidup kita. Dalam menjalani kehidupan ini baiklah kita terus menyadari keberadaan Kristus bersama kita. Ia berjalan bersama kita dan menyertai kita setiap saat. Yesus pernah hidup dalam keluarga sehingga ia memahami situasi dan perasaan yang dihadapi oleh setiap keluarga. Baiklah kita selalu bertanya: Bila Kristus sendiri menghadapi persoalan yang sedang saya hadapi, bagaimana sikap-Nya dan apa yang akan dilakukan-Nya? Tetapi, apa yang disampaikan Allah dalam pembicaraan itu dan apa yang dapat kita dengar dari-Nya? Allah memperkenalkan siapa diri-Nya, apa yang dikehendaki-Nya dalam kehidupan kita, tujuan hidup kita, menghibur kita ketika sedih dan patah semangat, menegur kita ketika melakukan kesalahan.

D. Ibadah dan Kehidupan

Agama tidak dinilai berdasarkan nama ilah yang disembah, tetapi berdasarkan ciri khas agama itu dan pola hidup yang dihasilkannya. Para nabi telah mengingatkan bahwa ibadah kepada Allah tidak dapat dilepaskan dari relasi dengan sesama. Ibadah mengungkapkan bakti umat kepada Allah, saat orang menyadari siapa sebenarnya dia di hadapan Allah. Bakti kepada Allah tidak dapat dibatasi hanya pada melakukan kegiatan-kegiatan ritual. Bakti yang sebenarnya diwujudkan dengan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Yesus telah mengingatkan bahwa hal terutama yang harus dikerjakan oleh orang yang percaya kepada-Nya adalah mengasihi Allah dan sesama. Mereka yang mengasihi Allah juga mengasihi sesama. Kasih kepada Allah itu tidak mungkin lepas dari kasih kepada sesama. Bagaimana hal ini dapat dilakukan di dalam keluarga?

Dalam Kitab Suci Yesus Kristus memperkenalkan Allah yang benar kepada manusia, yaitu Allah yang mengasihi manusia. Begitu besar kasih Allah itu sehingga Ia rela menyerahkan Putra Tunggal-Nya untuk keselamatan manusia, supaya manusia dapat tinggal dalam kemuliaan abadi bersama- Nya di surga (Yoh. 3:16). Di hadapan Allah yang begitu mengasihi itu, bagaimana kita harus menempatkan diri dan bersikap? Ketika beribadah dan menyembah Allah, orang menempatkan diri sebagai pribadi yang telah dikasihi-Nya. Hal itu dilakukannya untuk mengungkapkan kepercayaan akan Allah yang mengasihi dia dan untuk mengungkapkan kasih kepada-Nya. Sikap yang demikian itu tidak terbatas hanya pada tempat ibadah. Jatidiri sebagai umat yang dikasihi oleh Allah itu selalu ada di dalam diri orang beriman, kapan pun dan di mana pun. Sebagaimana di dalam Kristus Allah telah mengasihi dia, orang yang beriman akan Kristus mengasihi sesama. Pengalaman akan kasih Allah itu menggerakkannya dalam menjalani kehidupan dan mendorongnya untuk mengasihi sesama.

Tujuan utama membaca Kitab Suci adalah mendengarkan Sabda Allah dan hidup dari Sabda itu. Membaca, mempelajari, dan merenungkan Sabda kemudian harus mengalir ke dalam kehidupan yang mengungkapkan kesetiaan pada Kristus dan ajaran-Nya. Dengan demikian, Sabda Tuhan itu akan menjadi “pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105). Memang “segala sesuatu yang tertulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci” (Rm. 15:4). Tujuan ini terdengar muluk dan tidak mungkin dicapai. Sekalipun tidak tercapai, bila orang tekun membacanya, orang akan dapat merasakan hal itu terwujud dalam dirinya. Sabda Allah yang berdaya perlu menjadi kawan karib setiap orang beriman, waktu lahir, waktu hidup dan waktu berpulang kepada Sumber dan Asal Sabda Allah itu. Sebab, “Kitab Suci dapat memberi hikmat dan menuntun kepada keselamatan oleh iman ke­pada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan ke­salahan untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebe­naran” (2Tim. 3:15-16).

Dalam hal ini orangtua perlu membantu anak-anak mereka untuk senantiasa mengingat Sabda Allah yang telah direnungkan bersama. Sabda itu akan membimbing mereka sehingga dapat mengambil tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Orangtua sekaligus bertindak sebagai teladan bagi anak-anak mereka tentang bagaimana hidup menurut kehendak Allah. Melalui sikap dan teladan, orangtua mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk mengasihi Allah dan sesama. Dengan demikian, anak-anak dapat mengalami bagaimana sebenarnya harus hidup sebagai pengikut Kristus yang sejati.

E. Beribadah dalam Roh dan Kebenaran

Kepada perempuan Samaria itu Yesus telah menyatakan bahwa akan datang waktunya orang menyembah Allah dalam Roh dan Kebenaran. Bagi Yesus ibadah bukanlah soal tempat, Allah tidak dapat dibatasi di tempat-tempat tertentu. Ia dapat disembah di mana saja. Yang penting orang menyembah Dia karena digerakkan oleh Roh yang menyatakan kebenaran tentang Allah dan siapa Allah yang sebenarnya, yaitu sebagaimana Dia ada. Orang harus menyembah Allah dengan motivasi yang benar dan dengan penuh pemahaman siapa Allah yang sebenarnya. Keluarga dapat senantiasa berjumpa dengan Allah dalam ibadah yang dilakukan di dalam rumah. Yang utama di dalam ibadah keluarga adalah mengenal Allah yang benar dan motivasi yang benar dalam beribadah.

Allah yang benar. Keluarga melaksanakan ibadah karena telah menerima kebenaran tentang Allah. Kebenaran yang mana? Setiap keluarga Katolik harus menyadari bahwa Yesus telah menjadi manusia dan mati untuk keselamatan seluruh anggota keluarga. Dia rela mati, menjadi kurban yang dipersembahkan untuk menghapus dosa manusia sehingga manusia layak untuk tinggal bersama Allah di surga. Benar bahwa Yesus mati untuk keselamatan seluruh umat manusia, tetapi kematian Yesus di kayu salib perlu merasuk ke dalam pribadi setiap anggota keluarga. Kematian Kristus yang mendatangkan keselamatan itu harus menjadi pengalaman pribadi masing-masing, seperti yang dialami oleh Paulus. “Hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri- Nya untuk aku” (Gal. 2:20).

Motivasi yang benar. Jika memahami kebenaran tentang Allah, seluruh anggota keluarga dapat menghadap Allah bukan karena terdorong oleh motivasi yang keliru. Misalnya, rasa takut akan ancaman hukuman dari Allah atau semata-mata agar Allah menuruti permohonannya. Sebaliknya, seluruh anggota menyadari bahwa kasih Allah kepada keluarga merekalah yang mendorong mereka untuk beribadah. Di dalam ibadah itu, keluarga menyampaikan bakti kepada Allah, berdialog dengan Allah, dan membina relasi dengan Allah yang telah mengasihi mereka. Relasi dengan Allah itulah yang akan menjadi jiwa yang menggerakkan keluarga dalam menjalani kehidupannya.

 Sumber: Lembaga Biblika Indonesia

Keterangan foto: Persekutuan keluarga: Ilustrasi dari www.nuovascintilla.com