KOMSOS KWI memulai karya pelayanan pada tahun 2017 di STP ST. Bonaventura, Medan (berita klik di sini). Pelatihan ini sudah kesekian kalinya difasilitasi oleh Budi Sutedjo. Setelah tiga tahun lebih melayani bersama Komsos KWI, mari kita simak sejarah awal bagaimana penggagas Indonesia Menulis ini terpanggil untuk juga menyentuh semangat menulis ribuan umat Katolik di penjuru tanah air.
Dari Surabaya Sampai Seluruh Indonesia
Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom, M.M., penggagas Indonesia Menulis, sudah membagikan semangat menulis di berbagai daerah dan keuskupan bersama Komsos KWI sejak 2014.
Semua berawal dari Romo Eko Putranto, Komsos Malang, yang adalah pendamping mahasiswa ketika Budi kuliah di Jogjakarta. Beliau juga yang memberkati lamaran Budi dan Maria, istrinya sekarang (kiri di foto). Waktu itu, Romo Eko tertarik untuk mengikuti Indonesia Menulis, tapi tidak dapat hadir karena alasan kesehatan. Setelah akhirnya ikut di Surabaya, Romo Eko merasakan bahwa Indonesia Menulis sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Lalu pada 2014, Budi membawakan pelatihan di Surabaya atas permintaan Romo Eko. Budi baru tahu bahwa pelatihan waktu itu adalah hasil kerjasama dengan Komsos KWI. Disitulah Budi bertemu dengan Romo Kamilus dan Errol Jonathans, direktur Radio Suara Surabaya yang sekarang juga aktif di Komsos KWI.
Setelah mengamati Indonesia Menulis, Romo Kamilus menilai bahwa pelatihan ini dapat membantu karya Komsos KWI.
Materi Indonesia Menulis untuk karya Komsos KWI pun dimodifikasi dari yang awalnya ditujukan bagi profesional dan akademisi. Peserta tidak diarahkan kepada menulis laporan atau buku profil perusahaan, tapi ke tulisan ilmiah. Dengan peserta mayoritas kaum selibat dan mahasiswa, mereka diajak untuk menghasilkan karya ilmiah dan buku populer.
Perbedaan mendasar Indonesia Menulis untuk para profesional mengambil delapan jam sehari, sedangkan karya di keuskupan-keuskupan bisa sampai 15 jam sehari. Pasalnya, waktu pelatihan tidak bisa dibuat terlalu lama karena berbagai faktor. Mau tidak mau, fasilitator dan peserta harus bekerjasama membangun suasana kondusif.
Selain itu, tidak semua peserta punya keinginan dan minat menulis -khususnya kaum muda yang merasa belum membutuhkan- sehingga perlu waktu lebih banyak untuk memotivasi peserta supaya mereka semangat menulis.
Keterbatasan yang dirasakan pada peserta muda adalah kurangnya frekuensi membaca. Ini menjadi kontradiksi untuk penulisan karya ilmiah karena kurang membaca membuat minimnya teori dan dasar dari pengalaman yang diceritakan para peserta.
Dari sini, Budi sadar bahwa perlu ada gerakan untuk rajin membaca dulu, sebelum peserta menulis. Budi pun menggagas gerakan Indonesia Membaca untuk memfasilitasi kebutuhan ini.
Setelah tiga tahun lebih pelatihan di berbagai daerah, tidak sedikit alumni Indonesia Menulis yang mulai bergairah menulis. Misalnya di Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui, Keuskupan Agung Kupang, para frater menulis buku bunga rampai “Menegaskan Langkah, Menjangkau Zaman”. Begitu pula di Malang, lahirlah bunga rampai “Sehati Sejiwa Membangun Keuskupan Malang”.
Budi mempersembahkan waktu dan tenaganya untuk menyalurkan karya para peserta, kemudian dijadikan buku. “Ini berangkat dari keinginan saya untuk membalas apa yang Tuhan telah berikan, sekaligus memotivasi mereka bahwa mereka juga bisa menulis,” ujarnya.
Harapan
Menurut Budi, alangkah baik bila pelatihan diadakan untuk para dosen sekolah tinggi pastoral. “Sehingga ada kelanjutan bimbingan setelah selesai pelatihan,” tukas Budi. Dengan adanya pelatihan bagi para pengajar di sekolah tinggi, mereka bisa menjadi agen pelatihan menulis bagi para mahasiswa. “Selain hemat biaya, ini juga memotivasi para dosen untuk berkarya, meluncurkan buku ajar, dan meningkatkan akreditasi,” jelasnya.
Selain itu, harus ada kerjasama aktif antara penyelenggara pelatihan dengan media massa setempat atau komisi keuskupan masing-masing. “Seperti kemarin terjadi di Kupang, mereka mengundang media cetak setempat ketika pelatihan. Setelah itu, langsung disiapkan kolom khusus setiap minggu bagi para dosen yang telah mengikuti pelatihan,” lanjut Budi.
Menurut peringkat penjualan buku, kategori buku ‘kesaksian hidup’ masuk ke dalam enam besar. “Semua orang bisa menuliskan kesaksian hidupnya, karena pasarnya laris. Dengan menuliskan kesaksian hidup, ini mewujudkan perintah Yesus untuk menjadi saksiNya (bdk. Kis 1:8), sekaligus tidak membiarkan kesaksian itu hanya berada di keuskupannya, tetapi juga ke tempat-tempat lain,” jelasnya.
Bilamana menulis menjadi rutinitas, maka para mahasiswa pun bisa secara mandiri menghidupi kebutuhan pendidikan dan sehari-harinya. Kegagalan untuk Budi adalah ketika tidak ada karya nyata peserta setelah pelatihan.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.