MIRIFICA.NET – Dalam rangka merayakan hari ulang tahun ke 76 kemerdekaan Indonesia, Badan Pelayanan Nasional Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia (BPN PKKI) menggelar Webinar Kebangsaan tingkat nasional dengan tema “Langkah Nyata Merajut Kebhinekaan NKRI” pada hari Jumat, 20 Agustus 2021. Tiga narasumber yang hadir dan mengetengahkan buah permenungan, inspirasi dan pandangannya pada seminar secara online tersebut adalah Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj, MA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Bhikkhu Jayamedho Thera – Deputy Director World Buddhist Sangha Counsil dan Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo – Ketua Konferensi Waligereja Indonesia.
Dalam pandangannya, KH. Said Agil Siradj mengungkapkan bahwa semua agama tidak ada artinya bila tidak menata dan memperjuangkan terbentuknya keharmonisan dalam hidup, karena keharmonisan merupakan amanah dari Tuhan yang melekat pada manusia. Islam berarti salam, syalom, selamat, damai dan keselamatan bersama. Di dalam Islam diajarkan kemanusiaan dan keharmonisan. NU didirikan dengan 3 tujuan, yaitu Ukhuwah Islamiyah (semangat persaudaraan antar umat Islam), Ukhuwah Wathaniah (semangat persaudaraan dengan sesama sebangsa setanah air) dan Ukhuwah Insaniyah (semangat persaudaraan sesama umat manusia). Persaudaraan dan keharmonisan antar sesama sebangsa dan setanah air itu dapat diupayakan bersama melalui kerjasama antar umat beragama. Kerjasama tersebut seharusnya tidak hanya dilakukan pada saat terjadi masalah, krisis atau bencana, tetapi kerjasama dapat dilakukan setiap saat, di setiap lini kehidupan dan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, membangun klinik atau koperasi bersama, atau melakukan pelatihan-pelatihan bersama untuk peningkatan keterampilan. Terkait dengan perkembangan teknologi informasi (TI) dewasa ini, KH. Said Agil Siradj mengamati bahwa salah satu sebab utama terjadinya penyalah gunaan TI, seperti adanya hoax, adu domba dan lain-lain yaitu masih kurangnya perwujudan dari sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kurangnya perwujudan sila kelima itu tampak dari masih adanya kesenjangan, seperti kesenjangan ekonomi dan intelektual di tengah masyarakat.
Dalam kesempatan itu, Bhikkhu Jayamedho Thera mengetengahkan pendapatnya bahwa Indonesia telah memiliki kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Hal itu tentu patut disyukuri bersama. Namun, bangsa Indonesia masih dihadapkan pada tantangan untuk memahami dan mempraktikkan sila-sila dari Pancasila dalam hidup sehari-hari, terutama sila kelima. Dalam hal keadilan ekonomi, hendaknya kelompok yang memiliki kemampuan keuangan yang tinggi mau memberi perhatikan kepada masyarakat yang kurang, apalagi dalam situasi pandemi ini, di mana jumlah masyarakat miskin bertambah. Hal itu menjadi tantangan yang besar bagi seluruh rakyat. Sementara itu, tatanan keadilan harus dimulai dari sekolah. Jangan sampai generasi muda menjadi bumerang di masa yang akan datang, karena mereka terbelenggu oleh kemiskinan, kebodohan dan ketidaktahuan. Bhikkhu Jayamedho Thera menyoroti bahwa kerukunan hidup beragama harus diajarkan mulai di sekolah. Di mana, para guru berperan penting untuk mengajarkan cara dalam mencari persamaan kepada para siswa, sehingga mereka merasa sebagai satu bangsa dan mengalami hidup yang harmonis, damai, tenteram dan bahagia. Selain itu, Bhikkhu Jayamedho Thera merefleksikan bahwa kemajuan TI khususnya aplikasi game komputer yang mengandung tiga unsur perilaku yang buruk, yaitu berkelahi (fighting), mengalahkan (beating) dan pembunuhan (killing) dapat mengancam kerukunan hidup masyarakat Indonesia.
Tampil sebagai narasumber ketiga, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo menceritakan langkah nyata Gereja untuk merajut Kebhinekaan NKRI dalam terang iman Katolik. Untuk lima tahun ke depan, umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta diharapkan bertumbuh dalam semangat cinta tanah air dan peduli terhadap sesama dan alam ciptaan dengan inspirasi iman Katolik. Tantangan untuk membangun dan merawat kebersamaan tidak hanya soal politik, sosial dan ekonomi, melainkan imperatif iman, yaitu mempersatukan. Pembangunan kebersamaan menjadi suatu harmoni, maupun keadilan sosial akan terus berkembang atau berproses dan tidak pernah selesai, tetapi inspirasinya sama, yaitu inspirasi iman. Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo mengungkapkan pentingnya mengenal sejarah, khususnya peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang terungkap dalam doa prefasi tentang tanah air yaitu Kebangkitan Nasional (1908) yang membangun kesadaran sebagai satu bangsa, Sumpah Pemuda (1928) kesadaran satu bahasa yang mempersatukan, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar konstitusional negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam perspektif Gereja Katolik, semua peristiwa itu dipandang sebagai salah satu karya agung Tuhan untuk mempersatukan rakyat Indonesia. Dari pengenalan sejarah umat belajar diajak belajar dari orang-orang yang menjadi pelaku sejarah, seperti Rm. Van Lith dan Mgr. Soegijapranata. Dengan menengok sejarah, maka umat dapat meneladani semangat cinta tanah air dan sikap peduli yang diwariskan para pejuang, perintis dan pendiri negara dan gereja. Sebagai bentuk langkah nyata, diungkapkan oleh Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, bahwa pada tahun 2016-2020 umat Keuskupan Agung Jakarta diajak untuk mempelajari dan memahami Pancasila dan mengamalkannya dalam hidup sehari-hari. Ada sesuatu yang menarik saat memahami sila ketiga Pancasila, dimana umat bersama masyarakat mewujudkannya dalam bentuk pembangunan kampung Pancasila dengan segala macam kreativitasnya. (Budi Sutedjo – Anggota Badan Pekerja Komisi Komsos KWI)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.