Di hadapan dua ribuan umat Paroki Gereja Santo Antonius Padua, Medan, Uskup Agung Medan Monsinyur Kornelius Sipayung OFMCap menyampaikan, dirinya sempat konsultasi dengan ChatGPT versi 4 saat hendak membuat homili untuk perayaan ekaristi penutupan Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) XI.
“Saya bingung menyusun kotbah untuk mengaitkan bacaan-bacaan Injil dengan pesan Bapa Suci. Maka saya gunakan Kecerdasan Artifisial. Saya konsultasi dengan ChatGPT40,”ujar Ketua Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI) dalam kotbahnya pada perayaan ekaristi menutup PKSN XI di Gereja Santo Antonius Padua Paroki Hayam Wuruk, Medan, Sumatera Utara, Minggu (9/06/2024).
Uskup Kornel, begitu biasa disapa menyebutkan, pesan Paus di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-58 berjudul Kecerdasan Artifisial dan Kebijaksanaan Hati, Menuju Komunikasi yang Manusiawi namun bacaan kitab suci pada penutupan PKSN XI bicara tentang kejatuhan manusia dalam dosa karena digoda setan untuk bacaan pertama. Sementara bacaan Injil bercerita tentang Yesus yang berhadapan dengan kuasa kejahatan yang dipersonifikasi dengan setan. Manusia pertama jatuh dalam godaan setan. Manusia baru dalam diri Yesus berkuasa atas setan.
“Bro apa peran setan sehingga kecerdasan artifisial bisa merusak manusia?”begitu Uskup menuliskan pertanyaan di ChatGPT. Dan jawabannya sungguh tak terduga.
Kata Uskup membacakan jawaban ChatGPT,”Setan sering digambarkan sebagai penggoda yang memanfaatkan kelemahan manusia, seperti keserakahan, keangkuhan, dan ketamakan. Dalam konteks AI (Artificial Intelligence), setan dapat memengaruhi manusia agar menggunakan teknologi demi keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain. Misalnya, penggunaan AI untuk memanipulasi pasar, penyebaran disinformasi, atau pelanggaran privasi dapat berasal dari dorongan untuk mendapatkan kekuasaan atau keuntungan finansial.”
Setan, kata Uskup melanjutkan, bisa memengaruhi agar AI digunakan untuk memperkuat ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Algoritma AI berpotensi mendiskriminasi kelompok tertentu, memperburuk ketidaksetaraan sosial atau menciptakan jurang digital antara yang memiliki akses teknologi dengan yang tidak. Ini dapat menciptakan ketidakadilan yang lebih besar dan merusak kohesi sosial, kata Uskup.
AI, lanjut Uskup, memiliki kemampuan memproduksi dan menyebarkan konten secara massal. Setan, sebagai “bapa segala dusta” (Yohanes 8:44) dapat memengaruhi penggunaan AI untuk menyebarkan kebohongan, disinformasi, dan propaganda yang merusak kebenaran dan memperkeruh situasi sosial dan politik. Ini bisa merusak kepercayaan publik dan memicu konflik, mendorong ketergantungan berlebihan pada teknologi, mengurangi nilai kehidupan manusia, dan mendorong kehilangan kendali dan pengawasan. “Setan dapat memanfaatkan kurangnya pengawasan dan kontrol terhadap AI, sehingga teknologi ini digunakan tanpa batasan etis atau moral,” tegas Uskup mengutip jawaban AI.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.