Di salah satu gereja di Eropa Utara, ada sebuah patung Yesus yang disalib. Ukurannya tidak jauh berbeda dengan manusia pada umumnya. Karena segala permohonan pasti bisa dikabulkan, maka orang berbondong-bondong datang secara khusus ke sana untuk berdoa. Halaman gereja penuh sesak seperti pasar. Di dalam gereja itu ada seorang penjaga pintu, melihat Yesus yang setiap hari berada di atas kayu salib, harus menghadapi begitu banyak permintaan orang, ia pun merasa iba. Di dalam hati ia berharap bisa ikut memikul beban penderitaan Yesus. Suatu hari, penjaga pintu pun berdoa menyatakan harapannya itu kepada Yesus.
Di luar dugaan, ia mendengar sebuah suara yang berkata, “Baiklah! Aku akan turun menggantikan kamu sebagai penjaga pintu. Kamu naik ke atas salib itu, namun apapun yang kaudengar, janganlah mengucapkan sepatah kata pun.” Si penjaga pintu merasa permintaan itu sangat mudah.
Lalu, Yesus turun dan penjaga itu naik ke atas, menjulurkan sepasang lengannya seperti Yesus yang dipaku di atas kayu salib. Karena itu, orang-orang yang datang bersujud, tidak menaruh curiga sedikit pun. Penjaga pintu itu berperan sesuai perjanjian sebelumnya, yaitu diam saja tidak boleh berbicara sambil mendengarkan isi hati orang-orang yang datang.
Orang yang datang tiada habisnya, permintaan mereka pun ada yang rasional dan ada yang tidak rasional. Banyak sekali permintaan yang aneh-aneh. Namun, penjaga pintu itu tetap bertahan untuk tidak bicara, karena harus menepati janji sebelumnya.
Suatu hari datanglah seorang saudagar kaya. Setelah saudagar itu selesai berdoa, ternyata kantung uangnya tertinggal. Ia melihatnya dan ingin sekali memanggil saudagar itu kembali, namun terpaksa menahan diri untuk tidak berbicara. Selanjutnya datanglah seorang miskin yang sudah 3 hari tidak makan. Ia berdoa kepada Yesus, agar dapat menolongnya melewati kesulitan hidup ini. Ketika hendak pulang, ia menemukan kantung uang yang ditinggalkan oleh saudagar tadi. Begitu dibuka, ternyata isinya uang dalam jumlah besar. Orang miskin itu pun kegirangan bukan main. Ia berkata, “Yesus benar-benar baik, semua permintaanku dikabulkan!”
Menepati janji itu suatu kebajikan. Apalagi janji itu diikrarkan di hadapan Tuhan dan sesama. Banyak orang mengikrarkan janji untuk saling setia, namun begitu persoalan-persoalan menghadang hidup, orang gampang mengingkarinya. Orang begitu mudah meninggalkan komitmennya untuk mencari komitmen yang baru.
Pertanyaannya, mengapa hal ini terjadi dalam hidup manusia? Hal ini bisa terjadi karena manusia kurang punya iman yang mendalam kepada Tuhan. Orang merasa bahwa suatu janji itu hanya sekedar main-main atau suatu peristiwa yang terjadi di antara dua orang saja. Sebenarnya tidak. Janji yang diucapkan itu memiliki sifat sosial dalam kehidupan bersama. Orang yang gampang mengingkari janji itu biasanya sering menumbuhkan ketidakharmonisan di dalam hidup bersama. Orang yang sering mengganggu persaudaraan dan persahabatan yang telah dijalin bersama.
Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti berusaha untuk setia pada janji atau komitmen yang telah kita buat. Untuk itu, dibutuhkan suatu semangat berkorban. Artinya, orang mesti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Orang mesti mulai membangun suatu sikap untuk memenuhi kepentingan bersama. Mari kita berusaha tetap setia pada komitmen kita. Dengan demikian, kita dapat semakin hari bertumbuh dalam suasana persaudaraan dengan semua orang. Suasana harmonis dapat kita ciptakan untuk kehidupan bersama kita. Tuhan memberkati.
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.