Ada seorang pria malang. Ia menjadi tawanan Nazi Jerman pada perang dunia kedua Setiap hari ia menerima siksaan. Ia ditempatkan dari satu sel ke sel lain dalam dinginnya udara dan kegelapan.
Suatu saat ia dipindahkan ke sebuah sel yang sedikit berlubang. Melalui surat yang ditujukan kepada keluarganya, ia bercerita, “Saya begitu bersukacita. Melalui sebuah lubang saya dapat menatap indahnya langit dan mega di siang hari. Juga gemerlapnya bintang di malam hari.”
Pengalaman sukacita itu juga ia bagikan kepada teman yang ada di sel yang lain di sampingnya. Temannya itu sangat berbahagia mendengar indahnya langit dan mega di siang hari. Hatinya dipenuhi kegembiraan mendengar gemerlap bintang di malam hari. Soalnya, dari selnya itu ia tidak bisa melihat indahnya langit dan mega di siang hari.
Sayang, tidak lama kemudian ia dieksekusi mati dengan gas beracun bersama ratusan ribu orang lainnya. Harapannya untuk menghirup udara yang lebih luas dan bebas tidak tercapai. Namun sukacita telah ia peroleh, meski hanya sesaat.
Dalam situasi yang sulit, sukacita itu dapat dialami oleh setiap orang. Tentu saja kalau orang mau menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, Sang Pemberi hidup. Orang yang bersukacita di dalam Tuhan itu menemukan kebahagiaan yang abadi.
Dalam kisah di atas, seorang tawanan yang mengalami sukacita itu membagikan pengalamannya itu kepada temannya. Ia menularkan pengalaman kebahagiaan itu kepada sesamanya yang membutuhkannya. Sesama yang sangat merindukan sesuatu yang indah. Sesuatu yang dapat membuat ia bersukacita. Pengalaman sukacita yang dibagikan itu ternyata membantu sesama mengalami sukacita yang sama.
Setiap hari kita juga mengalami sukacita dalam berbagai bentuknya. Ada berbagai alasan yang membuat kita bersukacita. Namun sebagai orang beriman, sukacita kita itu mesti berlandaskan iman kita akan Tuhan. Iman itu mendorong kita untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik bagi sesama kita. Iman itu mampu membantu kita untuk tetap setiap kepada Tuhan yang telah memanggil kita menjadi umat-Nya.
Pertanyaannya adalah apakah perjumpaan kita dengan sesama membawa sukacita bagi kita? Atau justru sebaliknya, perjumpaan dengan sesama itu mengurangi sukacita kita? Untuk itu, kita mesti belajar dari tawanan Nazi dari kisah di atas. Ia membagikan sukacitanya kepada sesamanya. Ia memenuhi kerinduan sesamanya untuk memiliki sukacita dalam hidupnya.
Karena itu, mari kita berusaha untuk mengalami sukacita dalam hidup kita yang nyata. Dan kita bagi sukacita kita dengan sesama yang kita jumpai.
Ilustrasi: Sukacita dalam Tuhan (foto dari www.perivolas.gr)
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.