MIRIFICA.NET – Berkomunikasi merupakan satu di antara sepuluh topik dari Sinode Gereja Katolik 2021-2023 dengan tema “Bagi Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi dan Misi”. Topik ini dikonkretkan dengan pernyataan bahwa “Semua orang diundang untuk berbicara dengan berani dan terus terang, yaitu dengan mengintegrasikan kebebasan, kebenaran, dan kasih.”
Berkomunikasi berarti mengungkapkan aku yang berbeda kepada orang lain yang berbeda demi hubungan yang semakin manusiawi. Karena perbedaan, kita hendaknya makin saling menyambut dan berpelukan. Tulisan ini mengekplorasi pesan ini dari sisi fisolofis dan teologis dalam kata kunci otherness. Tokoh kita adalah Emmanuel Levinas (filsuf) dan Miroslav Volf (teolog). Mengakui dan mengimplementasikan pesan filosofis dan teologis ini merupakan dasar komunikasi sehingga komunikasi itu terus terang, bebas, benar dan dalam kasih.
Otherness dan Wajah dalam Pemikiran Filosofis Emmanuel Levinas
Emmanuel Levinas lahir 12 Januari 1906 di Kauna, Lithuania, dididik dalam keluarga Yahudi tradisional, dan dibesarkan di Lithuania dan Rusia. Ia kuliah di Perancis dan Jerman dan menjadi warga Perancis pada tahun 1930; ia menentang Nazi pada masa Perang Dunia II dan menjadi tahanan perang. Karena dia mahir berbahasa Rusia, kendatipun ia orang Yahudi, ia lolos dari pembunuhan Nazi Jerman. Ia mengetahui bahwa anggota keluarganya dibunuh di kam konsentrasi.
Sesudah perang, ia tinggal di Paris dan menjadi profesor filsafat dan pimpinan Sekolah Yahudi ternama. Pada tahun 1973 ia menjadi profesor di Universitas Sorbone, sebuah universitas terbaik di dunia. Ia menghasilkan banyak buku dan artikel tentang filsafat dan teologi Yahudi dan topik-topik lainnya. Ia meninggal 25 Desember 1995, pada usia 89 tahun.
Otherness1
Mengikuti para filsuf Barat pendahulunya, Levinas beranjak dari diri (self, ego, aku) sebagai titik berangkat pengertian dan pemahaman untuk keluar kepada dan berjumpa dengan “Yang Lain” (the Other). Banyak filsuf mengakui bahwa perspektif seperti ini membawa kita untuk berpikir tentang orang lain sebagai teori refleksi atas diri atau sesuatu untuk diketahui atau justru teka-teki. Relasi dengan orang lain ini dapat menimbulkan kecenderungan untuk mendominasi orang lain karena mereka berbeda dan keberbedaan itu umunya merupakan sumber ketidaknyamanan atau perasan negatif bagi kita, bahkan amarah dan kebencian. Kita berupaya membebaskan diri dari ketidaknyamanan itu. Bahkan atas nama kasih pun kita cenderung menguasai orang-orang yang kita kasihi dan membuat mereka seperti kita sendiri, sesuatu yang membuat kita ingin memecahkan ketidaknyamanan kita dengan mencoba mengontrol mereka. Ujung-ujungnya, keinginan untuk menguasai orang lain atau membuat mereka menyerupai kita mengakibatkan penderitaan besar seperti perang, kolonialisme, perbudakan, penyalah-gunaan dan penyakit-penyakit sosial lainnya. Hal semacam ini telah terjadi di mana manusia atau sekelompok orang tetap berperilaku untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya.
Kenyataan ini membuat Levinas merasa tidak nyaman, sekaligus melihat bahwa banyak tradisi religius dan filosofis bukan-barat justru memiliki pandangan yang kurang berpusat pada diri sendiri terhadap orang lain dan dunia. Judaisme, Kekristenan dan Islam mengajarkan bahwa kita hendaknya tidak mementingkan diri sendiri, tetapi berbela-rasa dan mencintai orang lain, kendatipun mereka berbeda dari kita. Inilah sebenarnya yang merupakan doktrin inti yang dasariah.
Mengetahui orang lain dari perspektif filosofis Barat adalah sejenis invasi atau bentuk lain keberpusatan pada diri sendiri. Karena itu Levinas mengusulkan untuk melihat hubungan atau pertemuan kita dengan orang lain dalam term wahyu. Kisah Musa dalam semak terbakar mengungkapkan gagasan itu. Allah mewahyukan diri-Nya kepada Musa dan secara total bebas dari kontrol. Levinas mengatakan bahwa bertemu dengan orang lain yang mengungkapkan dirinya kepada kita adalah membiarkan orang lain sebagai yang lain secara absolut. Itu berarti eksistensi orang lain tidaklah bergantung pada eksistensi kita. Yang Lain itu (Other, dengan huruf “O” kapital) hendak menyatakan bahwa orang lain adalah orang lain dan bukan refleksi diri kita. Hal penting dalam gagasan ini adalah kita dapat mengembangkan makna diri justru karena pertemuan dengan orang lain.
Pertemuan pertama yang dialami oleh setiap manusia adalah dengan ibunya dan anggota keluarganya. Memang pengenalan kita akan diri kita dan identitas kita melebar dan meluas karena pertemuan dengan orang lain. Demikian juga, masyarakat mengembangkan budayanya karena pertemuan dengan masyarakat lainnya, lingkungan termasuk hewan.
The Other atau Yang Lain dalam pemikiran Levinas adalah orang lain, sesama manusia, insan lain yang bermartabat. Pandangan ini merupakan kritik terhadap filsafat totalistis yang memutlakkan ego. Memutlakkan ego berarti memerkosa keunikan dan alteritas the Other.
Pemikiran Levinas dapat dicirikan sebagai etika radikal: upaya yang konsisten untuk memprioritaskan etika daripada metafisika; atau ketika dia berulang kali mengutarakannya: etika sebagai filsafat pertama. Namun cara Levinas mengemukakan etika jauh dari ajaran, kebajikan, atau norma. Etika bukanlah konsepsi tetapi relasi – relasi dengan orang lain yang ditemui sungguh sebagai Yang Lain. Yang Lain bukan aku yang lain (alter ego), versi diri; alih-alih, diri dan Yang Lain dipisahkan oleh perbedaan yang tidak dapat direduksi. Akan tetapi, perbedaan itu tidak bertentangan dengan hubungan etis, malahan pada kenyataannya perbedaan itulah yang membentuknya di tempat pertama. Lantas, etika berkembang sebagai hubungan dengan Yang Lain yang lolos dari pengetahuan penuh dan menolak kesamaan. Selalu ada sesuatu tentang Yang Lain yang tetap berada di luar jangkauan diri – alteritas (alterity) Yang Lain – dan bahwa alteritas itu menuntut pengakuan dan rasa hormat. Menyangkal integritas orang lain sebagai Yang Lain menandakan awal agresi dan kekerasan. Dalam pengertian ini, Levinas menganggap relasi etis sebagai tanggung jawab (responsibility), tanggung jawab terhadap dan bagi Yang Lain. Dia lebih lanjut mengklaim bahwa tanggung jawab adalah pengalaman formatif dari subjektivitas: diri bertanggung jawab sebelum melayani diri sendiri, tersingkap (terungkap) ke luar sebelum peduli dengan dirinya sendiri.
Berbeda dari filsuf totalistis, Levinas melihat the Other sebagai unik, sungguh lain dari aku, bukan aku yang lain (alter ego). Keinsanan manusia membuat setiap manusia sama sekaligus berbeda. Kelainan, keasingan, keberbedaan manusia ini harus dihormati dengan sikap menyambut (welcoming). Bagi Levinas sikap menyambut ini adalah kesadaran moral. Kesadaran moral ini adalah keterbukaan kepada keterlukaan yang Lain, yang disebut Levinas “wajah”.
Wajah
Wajah merupakan salah satu term penting bagi Levinas. Wajah sedemikian sentral bagi Levinas sehingga wajah mendahului bahasa. Wajah menyapa aku dan aku tidak boleh apatis terhadapnya. Tanggapan atau responsku kepada yang Lain membawa kepada tutur kata yang menjadi diskursus (wacana). Jadi yang utama dan terutama bagi Levinas adalah yang Lain (the Other) bukan ego (the self). Menelisik dan mendeskripsikan pertemuan ini merupakan jantung filsafat Levinas. Kritik Levinas atas filsafat Barat adalah kekerasan pemikiran totaliter.
Wajah orang lain mengingatkan kita bahwa kita bukanlah pusat jagat raya. Wajah orang lain memaksa kita untuk mengakui bahwa ada sesuatu melampaui pemusatan diri justru karena pertemuan dengan orang lain. Wajah orang lain itu memungkinkan adanya sensasi dan kesadaran akan dunia. Dari perspektif ini Levinas menunjukkan bahwa ketika kita melihat orang lain sepenuhnya terpisah dari kita, hal itu bukan hanya memberi mereka hak untuk eksis, melainkan juga mengundang kita untuk berperilaku etis terhadap mereka, bahkan mencintai mereka sebab wajah kita juga mengundang hal yang sama dari orang lain. Pesan ini digambarkan dalam kisah orang Samaria yang baik hati untuk memperlakukan orang lain secara etis dan berbela rasa. Orang Samaria itu tergerak oleh wajah orang lain itu yang adalah Yahudi sehingga orang Samaria itu berperilaku etis dan berbela rasa. Tentu saja tidaklah mudah menerima invitasi untuk memperlakukan orang lain dengan baik, tetapi menyangkal undangan ini jelas mengakibatkan kekerasan dan penyalahgunaan.
Menurut Levinas, penyebab penindasan, pemerkosaan dan pembunuhan sesama manusia adalah kegagalan melihat Yang Lain sebagai Yang Lain, kegagalan melihat dan menyambut wajah lain yang memang berbeda. Dalam hubungan antara aku dan “Yang Lain” Levinas melihat filsafat Barat memusatkan diri pada, bahkan memutlakkan, ego. Husserl menomorsatukan paradigma subyek-obyek hingga menotalisasi diri. Totalisasi ini meliputi pelecehan terhadap yang lain bahkan mengeliminasinya. Terhadap pemikiran filsafat Barat ini, Levinas menawarkan pendekatan menyambut (welcoming approach) kepada Yang Lain.
Implikasi pemikiran Levinas adalah Yang Lain dilihat sebagai sungguh unik, bukan aku yang lain. Karena itu aku tergantung kepada yang lain untuk pertumbuhanku. Yang lain itu dapat memberi aku kepuasan atau membuatku putus asa. Yang lain ini tidak dapat disintesikan dengan “aku”. Yang lain itu tetap di luar aku. Aku tidak dapat memperoleh segala sesuatu dari yang lain di dalam diriku. Karena itu, aku tidak boleh meredusir yang lain. Yang lain, menurut Levinas, berada melampaui intensionalitas. Maka wajah tidak hanya fisik, tetapi juga estetik dan tak dapat direduksi. Maka wajah bukanlah fenomena, melainkan enigma (misterius).
Wajah itu tidak dilihat juga tidak disentuh.2 Wajah itu tampak dalam keterlukaan dan tanpa pembela, rentan terhadap penderitaan seperti kelaparan, kehausan, kepanasan, kedinginan, pembunuhan. Maka menilik wajah yang lain adalah pendekatan yang menyambut. Vulnerabilitas yang lain mengusik duniaku untuk bertanggung jawab kepadanya.3 Welcoming approach bagi Levinas adalah pertemuan dari wajah-ke-wajah, pertemuan yang bertatap wajah.4
Otherness dalam Pemikiran Teologis Miroslav Volf
Miroslav Volf lahir 25 September 1956. Ia seorang teolog Protestan berkebangsaan Kroasia dan profesor teologi Henry B. Wright dan Direktur Iman dan Budaya pada Universitas Yale. Sebelumnya ia mengajar di Seminari Teologis Evangelis di kota asalnya Osijek, Kroasia, dan pada Seminari Teologis Fuller di Pasadena, Kalifornia. Ia menyelesaikan studi doktoral di bidang teologi dari Universitas Tubingen, Jerman, di bawah asuhan Jürgen Moltmann.
Puluhan buku teologis telah dihasilkannya, termasuk buku fenomenal Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation yang meraih Grawener Award tahun 2002. Buku ini diterbitkan pada tahun 1996 dan digunakan sebagai rujukan utama dalam artikel ini untuk mendiskripsikan otherness. Ia terlibat aktif dalam dialog-dialog ekumenis internasional, termasuk dengan Dewan Kepausan Vatikan untuk Promosi Kesatuan Umat Kristen (Vatican’s Pontifical Council for Promoting Christian Unity).
Keberbedaan atau kelainan (otherness), kenyatan sederhana dari adaan yang berbeda, dipandang sebagai jahat dalam dan dari dirinya. Karena itu, teologi Kristen mesti menemukan cara berbicara yang membahas kebencian terhadap yang lain. Dalam metafor Alkitab Perjanjian Baru akan keselamatan sebagai rekonsiliasi, Miroslav Volf menawarkan gagasan (embrace) dekapan sebagai jawaban teologis terhadap masalah eksklusi.
Eksklusi telah menjadi dosa utama, mengacaukan persepsi kita tentang realitas dan menyebabkan kita bereaksi karena takut dan marah kepada semua orang yang tidak termasuk kelompok kita. Dalam kenyataan seperti ini, orang Kristen harus belajar bahwa keselamatan datang, tidak hanya ketika kita diperdamaikan dengan Allah, dan tidak hanya ketika kita belajar untuk hidup dengan satu sama lain, tetapi ketika kita mengambil langkah berbahaya dan mahal untuk membuka diri kepada yang lain, mendekapnya dengan dekapan yang sama dengannya Allah telah memeluk kita.
Apakah ada harapan untuk merangkul musuh kita? Membuka pintu menuju rekonsiliasi? Terhadap pertanyaan ini, Volf berpendapat bahwa eksklusi terhadap orang-orang asing atau berbeda adalah salah satu masalah yang paling sulit di dunia saat ini. Dia menulis, “Mungkin tidak terlalu banyak untuk mengklaim bahwa masa depan dunia kita akan tergantung pada bagaimana kita berurusan dengan identitas dan perbedaan. Masalahnya mendesak. Ghetto dan medan perang di seluruh dunia – di ruang keluarga, di pusat kota, atau di pegunungan – memberikan kesaksian yang tak terbantahkan tentang pentingnya hal itu.” Lahir sebagai orang Kroasia, Volf mengawali analisisnya dengan mengangkat perang sipil dan pembersihan etnis dalam negara yang dulu bernama Yugoslavia.5
Volf berpendapat bahwa eksklusi terjadi di mana saja hambatan yang tidak tertembus dibangun sehingga pertemuan kreatif dengan yang lain terhalang. Mudah mengasumsikan bahwa eksklusi itu merupakan masalah atau praktik “orang-orang barbar” yang tinggal “di sana”, tetapi dia meyakinkan kita bahwa eksklusi terlalu sering juga menjadi praktik kita “di sini”. Masyarakat Barat modern, termasuk masyarakat Amerika, biasanya melafalkan sejarah mereka sebagai “narasi inklusi,” dan Volf merayakan kebenaran dalam narasi ini. Tetapi dia menunjukkan bahwa narasi-narasi ini dengan mudah menghilangkan kelompok-kelompok tertentu yang “mengganggu integritas plot ‘akhir bahagia’ mereka.” Oleh karena itu, narasi inklusi seperti itu mengundang “narasi eksklusi panjang dan mengerikan” – sejarah brutal perbudakan dan sejarah pembasmian populasi penduduk asli Amerika muncul dalam ingatan kita. Contoh terkini juga dapat ditemukan.
Jawaban yang diberikan Volf terhadap eksklusi ini adalah dekapan atau pelukan (embrace) yang diurainya menjadi teologi dekapan (theology of embrace). Teologi dekapan ini berdasar pada Allah Tritunggal. Volf yakin bahwa dekapan adalah apa yang terjadi di antara ketiga pribadi Tritunggal, yang merupakan model ilahi bagi komunitas insani. Dalam Yohanes 10:38 Yesus mengatakan, “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa”. Seorang pribadi ilahi tidak hanya pribadi itu saja (bukan eksklusif), tetapi termasuk pribadi ilahi lainnya dalam dirinya sendiri (inklusif). Apabila pribadi ilahi yang satu hanya pribadi ilahi itu saja, maka pribadi ilahi yang satu itu menjadi eksklusif. Sebaliknya, pribadi Putera tidak hanya pribadi Putera, tetapi juga pribadi-pribadi ilahi lainnya (Bapa dan Roh Kudus) dalam diri Putera. Pribadi ilahi yang satu adalah pribadi ilahi hanya melalui berdiamnya pribadi-pribadi ilahi lainnya dalam diri pribadi ilahi yang satu itu. Putera adalah Putera karena Bapa dan Roh berdiam dalam Putera. Tanpa interioritas Bapa dan Roh dalam Putera, tidak akan ada Putera. Setiap pribadi ilahi adalah pribadi-pribadi ilahi lain, tetapi Ia adalah Pribadi-pribadi ilahi lain dengan caraNya sendiri.6
Dekapan adalah apa yang harus terjadi antara berbagai kelompok etnis atau budaya. Alih-alih berusaha mengisolasi diri kita dari kelompok lain dengan menekankan identitas murni kita, kita harus membuka diri satu sama lain untuk diperkaya oleh perbedaan kita. Tentu saja, kita harus menjaga batas-batas kelompok. Jika tidak, maka warna-warna cerah dari ragam budaya akan menjadi abu-abu kesamaan budaya. Kita harus mengembangkan bahasa kita, mempertahankan tradisi kita, memelihara budaya kita. Semua ini membutuhkan pemeliharaan batas. Pada saat yang sama, batas harus keropos atau roboh. Para tamu harus disambut, dan kita harus berkunjung ke tetangga dekat dan jauh sehingga melalui pemupukan silang budaya kita masing-masing dapat berkembang, saling mengoreksi dan saling memperkaya.
Volf menggunakan kata “dekapan atau pelukan” sebagai metonim (metonym) yang berarti kata, nama atau ekpresi yang digunakan sebagai pengganti sesuatu yang lain yang bertautan dengannya. Maka metonim dari dekapan dapat terwujud dalam berjabat tangan, jari tangan bersilang, telapak tangan berpegangan, lengan menyentuh tangan, merangkul sambil berjalan, duduk, baring bareng (bersisian). Namun demikian, atensi Volf bukan terutama pelukan fisik tetapi relasi dinamis antara aku dan yang lain yang diungkapkan dengan pelukan. Ia menulis,
In an embrace I open my arms to create space in myself for the other. Open arms are a sign that I do not want to be by myself only, an invitation for the other to come in and feel at home with me. In an embrace I also close my arms around the other. Closed arms are a sign that I want the other to become a part of me while I at the same time maintain my own identity. By becoming part of me, the other enriches me. In a mutual embrace, none remains the same because each enriches the other, yet both remain true to their genuine selves.7
Komponen lain yang penting agar dekapan terjadi adalah solidaritas ekonomik (economic solidarity) dari tingkat paling lokal hingga internasional dan keinginan untuk mendekap (a desire for embrace). Solidaritas ekonomik berarti sekat-sekat runtuh sehingga orang-orang kaya dan pemegang kuasa dapat berbagi milik kepunyaannya dengan orang-orang miskin dan pinggiran. Keinginan untuk mendekap adalah hal yang mendorong kita untuk memperjuangkan agar keadilan dan kebenaran terwujud bahkan di tengah realitas yang paling sulit dan tidak bersahabat, sebab pengikut Kristus yang tersalib dipanggil untuk mencintai musuh-musuh.8
Penutup
Tulisan ini telah memberi dasar filosofis dan teologis dari berkomunikasi. Berkomunikasi mesti berangkat dari kenyataan bahwa kita berbeda. Dengan kata lain, berkomunikasi berarti kita berbicara dengan satu sama lain dan bukan tentang satu sama lain. Berbicara dengan satu sama lain berarti kita berkomunikasi untuk kepentingan bersama walaupun kita berebeda. Sedangkan berbicara tentang satu sama lain berarti kita saling menyerang dan mencari kepentingan pribadi atau kelompok kita.
Menutup tulisan ini sangat baik mengangkat apa yang dikatakan oleh Barack Obama tentang berbicara dengan satu sama lain. “But at a time when our discourse has become so sharply polarized – at a time when we are far too eager to lay the blame for all that ails the world at the feet of those who think differently than we do – it’s important for us to pause for a moment and make sure that we are talking with each other in a way that heals, not a way that wounds.” (“Tetapi pada saat wacana kita telah menjadi begitu terpolarisasi tajam – pada saat kita terlalu bersemangat untuk menyalahkan semua yang membuat dunia sakit di kaki mereka yang berpikir berbeda dari kita – penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan memastikan bahwa kita berbicara satu sama lain dengan cara yang menyembuhkan, bukan dengan cara yang melukai.”
Penulis: Rm. Gonti Simanullang, OFM.Cap
Inspirasimu: Berjalan Bersama – Sinodalitas Gereja
***
1 Video klip berikut turut dirujuk oleh penulis untuk mengenal konsep Emmanuel Levinas tentang otherness. Lih. Michael Barnes, “Levinas”, July 8, 2016, dalam https://www.youtube.com/watch?v=heHJm4ge- L0&t=801s (diakses 3 Oktober 2021); Kael Moffat, “The Other and Otherness: An Intro to Emmanuel Levinas”, September 16, 2017, dalam https://www.youtube.com/watch?v=RaPNYQ_qdII (diakses 19 Januari 2022).
2 Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, (judul asli: Totalité et Infini. Essai sur l’extériorité), translated by Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 2007), hlm. 6. Lih. Roger Burggraeve, “Violence and the Vulnerable Face of the Other: The Vision of Emmanuel Levinas on Moral Evil and Our Responsibility”, dalam Journal of Social Philosophy, (1999), hlm.30-31.
3 Emmanuel Levinas, Totality and Infinity…, hlm. 275.
4 Peter Roberts, “Education and the Face of the Other: Levinas, Camus and (Mis)understanding”, dalam Educational Philosophy and Theory, (2013), hlm. 1134.
5 Kroasia dan Slovenia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 1991.
6 Miroslav Volf, “A Vision of Embrace: Theological Perspectives on Cultural Identity and Conflict”, dalam The Ecumenical Review, (1995), hlm. 203-204.
7 Miroslav Volf, “A Vision of Embrace…”, hlm. 203.
8 Miroslav Volf, “A Vision of Embrace…”, hlm. 204.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.