Berjiwa “Merdeka” Menghidupi Pilihan Hidup
(Refleksi Weekend Kaul Kekal Balita FCJM)
PANGGILAN hidup membiara itu adalah anugerah Tuhan. Panggilan tersebut merupakan pilihan dasar manusia untuk menjadi sempurna lewat tugas pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, setiap orang yang terpanggil hendaknya “berjiwa merdeka” dalam menghidupi pilihan tersebut agar mengalami sukacita injili.
Merupakan tema dalam weekend tahun 2015 ini bagi para suster FCJM yang sudah berkaul kekal 1–5 tahun, yang dilaksanakan pada tanggal 19 – 20 Februari 2015 di Sinaksak dan ditutup dengan piknik rohani di Parapat-Samosir.
Hal ini senada dengan seruan Paus Fransiskus yang telah mengumumkan bahwa tahun 2015 akan didedikasikan sebagai Tahun Hidup Bakti (Year of Consecrated Life). Untuk mengisi Tahun Hidup Bakti tersebut, Kongregasi FCJM memberikan kesempatan bagi setiap suster untuk semakin mendalami kesetiaan pilihan hidupnya kepada Allah dengan cara mengadakan weekend.
Gelombang pertama dalam weekend ini diikuti oleh 21 orang suster “balita” FCJM yang dipimpin oleh P. Gonzales Nadeak OFM Cap. Apakah para suster FCJM yang sudah kaul kekal balita mampu menghidupi pilihan hidupnya dengan “berjiwa merdeka”? Apakah panggilan sebagai seorang suster FCJM masih tetap bulat? Dan apakah mampu bahagia dalam menghidupi panggilan sebagai seorang FCJM?
Tulisan ini merupakan refleksi atas pengalaman dalam menghidupi panggilan hidup sebagai seorang suster berkaul kekal dengan berpredikat balita (tiga tahun) dalam Kongregasi FCJM.
Terpanggil Menjadi Laskar FCJM
“Jadi Suster? Nggak ah…!!” Jawaban spontan ini sering terdengar dari sekian banyak anak asrama putri St. Clara – Jl. Asahan, Siantar saat saya coba tanya satu per satu. Menjadi seorang suster bukanlah cita-cita favorit mereka. Mereka lebih dominan memilih cita-cita yang lebih tinggi seperti menjadi dokter, polisi wanita (polwan), pengusaha, bidan. Jarang juga terdengar di zaman ini orang tua yang mengarahkan dan membimbing anaknya untuk kelak menjadi kaum religius baik imam maupun suster.
Menoleh motivasi awal sebagai seorang suster, barangkali menjadi salah satu faktor penting bagi seorang religius karena dari motivasi awal tersebut dilihat gerak Allah memanggil setiap pribadi menjadi orang “pilihan” Allah dalam menebar kebaikan dan kerajaan Allah. Motivasi awal tersebut berkembang menjadi suatu ikatan akan panggilan Allah untuk mengikrarkan janji seumur hidup dalam “ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian”. Yang menjadi pertanyaan refleksi adalah apakah saya bahagia dalam menghidupi tiga kaul dalam hidup membiara tersebut?
Apakah Panggilanku Masih Bulat?
Panggilan Allah adalah suatu misteri yang tak dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Tak ada orang yang dapat menebaknya. Bahkan seringkali panggilan Allah itu dirasa aneh dan unik. Sesuatu yang tak mungkin bagi manusia, mengingat kenyataan yang terjadi bahwa kaum biarawan/ti yang terpanggil bukanlah dipanggil karena kesempurnaaan dan kemampuan dalam hal bakat dan kepribadian tetapi dipanggil dari segala jenis ketidaksempurnaan sifat dan kepribadian. Namun, Allah menyempurnakan mereka sehingga mampu menjadi alat-Nya dalam melanjutkan karya Kristus sebagai pewarta cinta kasih di dunia ini.
Salah satu buku yang sangat favorit dalam Kongregasi FCJM adalah buku ”Cahaya di dalam kegelapan”. Buku ini berisi perjuangan pendiri Kongregasi FCJM yaitu Muder Maria Clara Pfander sejak masa kecil hingga menghadapi ajalnya. Buku yang menarik ini dikarang oleh ”M. Aristilde Flake” yang menjadi inspirasi dalam melanjutkan visi dan misi Kongregasi di dunia ini. Perjuangan berat yang dialami pendiri tidak menggoyahkan panggilan Tuhan dalam dirinya.
Kegemarannya dalam melanjutkan cinta kasih semakin berkobar kala kesulitan menimpa diri dan Kongregasinya. Untuk hal ini, dia mengungkapkan ”Kita harus bersedia untuk hidup, berdoa, dan berkurban bagi Gereja” (Cahaya di dalam kegelapan, 1981:68). Itulah sebabnya panggilan Allah tetap bulat dalam diri dan hidupnya apapun situasi yang dialaminya.
Menarik bila mengenang kembali motivasi awal pendiri Kongregasi ini. Kemerdekaan jiwanya tidak pernah terhalang oleh berbagai macam kesulitan dalam karya dan persaudaraan.
Bertanyalah aku dalam hatiku, apakah dengan perkembangan zaman ini membuat panggilan Allah senantiasa bulat dalam hatiku? Pertanyaan ini menjadi tantangan besar. Disamping itu menuntut jawaban tegas. Konsekuensinya adalah, bila memang tidak bulat…mengapa masih bertahan? Apakah tidak sebaiknya ditinggalkan saja?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang serius dan sungguh-sungguh untuk direfleksikan. Kita mengakui bahwa kadangkala sebagai religius yang dipanggil dan di pilih oleh Tuhan, kerap mengalami kegelapan dan kebimbangan dalam menapaki panggilan hidup itu. Namun, kaum religius di harapkan mampu kuat dan tangguh mengahdapi kesulitan itu dan berharap bahwa setelah kegelapan di malam yang pekat itu akan berganti dengan matahari yang menyinari kegelapan tersebut, seperti yang dikatakan oleh Muder Maria Clara Pfander, pendiri Kongregasi FCJM mengatakan :”O, anakku, engkau tidak mengertinya. Itulah misteri Penyelenggaraan Ilahi, yang menuntun kita seturut kehendak-Nya, walaupun kita tidak memahaminya. Kita hanya harus bertekun dan tidak goyah oleh lemparan batu. Matahari masih tetap di atas dan akan menyinarkan kembali cahaya di dalam kegelapan ini” (Cahaya di dalam kegelapan, 1981:84).
Hidup Religius : Bahagia atau Tertekan?
Nasehat Rasul Paulus bagi kaum religius yakni “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (1 Kor 7:32). Dari segi kepraktisan, kita dapat melihat bahwa dengan tidak menikah maka seorang religius atau biarawan/ti dapat mencurahkan segenap hati, jiwa, dan pikirannya untuk melayani Tuhan dan sesama. Pendeknya, dengan hidup selibat, kaum religius hanya memikirkan apa yang terbaik bagi Tuhan dan umat yang dipercayakan kepadanya lewat kesaksian hidup dan karyanya. Maka diharapkan kaum religius dapat menjalankan karya pelayanan mulia Allah itu dalam kebahagiaan bukan karena terpaksa dan terkesan tertekan.
Memang diakui bahwa akan banyak kesulitan dan tantangan yang berasal dari dalam dan luar dirinya yang sering menghambat kelancaran karya pelayanannya, namun mereka juga harus percaya dalam iman bahwa Allah senantiasa menyediakan rahmat bagi mereka khususnya bagi pewartaan kerajaan Allah di dunia ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman modern ini, hidup menjadi seorang religius nampaknya menjadi semakin sulit. Hal ini disebabkan karena kaum religius dituntut untuk melawan arus dunia yang bergelimang ketenaran dan kebebasan ini. Saat dunia menawarkan kekayaan, kaum religius dituntut untuk menghidupi kaul kemiskinan. Saat dunia menawarkan kekuasaan dan jabatan, kaum religius dituntun untuk taat pada pimpinan tarekat/ordo. Saat dunia menawarkan kebebasan, kaum religius dituntut untuk menghidupi kaul kemurnian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang terpilih dan terpanggil membatasi dirinya dalam segala kenikmatan dunia ini sementara mereka tinggal ditengah dunia yang terus maju dan berkembang ini.
Kenyataan ini sering menjadi pengahalang kebahagiaan kaum religius dalam menghidupi panggilan Tuhan karena sebagai manusia lemah tentu tidak luput dari kelemahan yang seringkali membentengi rahmat Allah menguasai dirinya. Hal ini sering menjadi kesulitan dalam persaudaraan kaum religius laki-laki ataupun wanita. Imam maupun suster. Tidak dapat dipungkiri bahwa sifat awam dalam dunia kerja sebagai atasan yang menganggap rendah bawahannya, terjadi juga didalam karya pelayanan kaum berjubah. Senior sering terdengar kurang memberi teladan yang baik bagi junior, tetapi malah sebaliknya. Karya pelayanan bukan menjadi ladang cinta kasih tetapi menjadi ladang kekuasaan dan harta karun terbesar untuk membuktikan kesombongan dan mencari nama.
Itulah sebabnya, saat mengadakan weekend pada tanggal 19 – 21 Februari 2015, ini menjadi refleksi bagi kami para suster FCJM kaul kekal balita 1 – 5 tahun yang hadir di Sinaksak. Satu kalimat penting yang disampaikan oleh P. Gonzales Nadean, OFM.Cap saat memberi konfrensi adalah : “hanya orang yang bahagia mampu membahagiakan orang lain”. Ini menjadi kalimat penting dan menarik karena memang cukup logis, orang yang bahagia senantiasa membagikan kebahagiaan kepada yang lain, dan sebaliknya orang yang tertekan akan menjamurkan tekanan kepada yang lain. Yang penting adalah, apa usaha yang kulakukan supaya aku bahagia, komunitasku bahagia dan orang-orang yang kulayani bahagia dalam Tuhan?
Pergilah Ke Mana Hatimu Membawamu
“Agunglah yang kita janjikan….namun, lebih agunglah yang dijanjikan pada kita….” Demikian penggalan lirik lagu yang dikarang oleh P. Christian Lumbagaol OFM.Cap dan P. Julius Lingga OFM.Cap dalam album Kapusin vol.2. Merupakan kalimat yang mengungkapkan keagungan kesetiaan kaum religius dalam menapaki panggilannya, namun kesetiaan itu terjadi saat Allah setia dalam mendampingi kita dalam rahmat-Nya. Curahan rahmat Allah dalam hati kaum berjubah membawanya pada kesetiaannya sampai garis finish dan titik darah penghabisan.
Menjadi penting bahwa kaum religius mampu berjiwa merdeka dalam menghidupi pilihannya, dengan demikian mampu mengalami sukacita injili. Saatnya bertanya pada hatiku dengan bebas dan jujur : apakah aku sudah berjiwa merdeka?
Tantangan pada zaman ini belumlah seberapa dengan tantangan yang masih terbentang di depan mata mengingat bahwa zaman semakin berkembang keinginan untuk hidup bebas tanpa diikat oleh aturan komunitas dan kongregasi semakin luas kemungkinannya. Kemungkinan yang ada seluas segala kenyataan. Banyak orang berkata bahwa pilihan untuk menjalani hidup selibat itu “berat” dan “tidak menyenangkan”, bagaimana pendapat anda dengan pernyataan ini?. Situasi hidup di dunia ini akan selalu mengalami dua hal, yaitu yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan.
Saya mengalami bahwa hidup panggilan sebagai seorang selibater tidaklah sesuatu yang memberatkan, tetapi pilihan bebas dan membahagiakan. Karena dalam hidup membiara terbuka sejuta kesempatan untuk meningktkan kualitas kepribadian dan kemampuan. Kesempatan untuk mengembangkan diri dan bakat yang dimiliki. Dalam hidup membiara itu juga menjadi lahan yang luas dalam menerapkan cinta kasih. Dan satu hal yang penting adalah dalam hidup membiara kesempatan untuk mengembangkan dan membagikan kegemaran satu dengan yang lain karena perbedaaan kemampuan setiap pribadi. Prinsip utama yang menurut saya harus dipegang oleh setiap orang yang tertarik dengan panggilan hidup selibat adalah SIAP menjadi pelayan di kebun anggur-Nya. Dengan demikian kaum selibat mampu berjiwa merdeka dalam mengembangkan sayap sebagai laskar Kristus tanpa harus tertekan dan murung dalam karya pelayanan kepada Allah dan sesama tetapi tetap mampu berjiwa merdeka menghidupi pilihan hidup agar mampu mengalami sukacita injili.
Kredit Foto: Suster-Suster FCJM, ilustrasi dari Sr. Angela, FCJM
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.