Dewasa ini teknologi digital berkembang sangat pesat. Salah satu produk teknologi digital yang sangat besar pengaruhnya dalam tata hidup umat manusia pada abad 21 ini adalah internet. Dengan adanya internet orang banyak dimudahkan untuk melakukan apa saja, baik itu urusan kerja, belajar, mencari informasi, menjalin relasi dengan orang lain, dan lain sebagainya. Hampir semua kegiatan harian umat manusia belakangan ini erat kaitannya dengan internet. Internet seolah menjadi kebutuhan primer dalam tata hidup di dunia ini.
Orang tidak dapat menghindar atau dihindarkan dari kemunculan internet. Sebab, memang telah nyata bahwa dengan adanya internet orang lebih mudah dalam melakukan komunikasi, promosi, transaksi, distribusi, dan lain-lain. Hal itu dapat dilihat dengan adanya Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, WhatsApp dan website macam-macam jenis sastra sebagai sarana komunikasi sekaligus juga promosi. Layanan transaksi secara online juga sangat memudahkan aktivitas umat manusia dewasa ini. Selain itu, distribusi informasi-informasi terkini pun menjadi sangat cepat dan mudah. Internet sungguh memanjakan umat manusia masa sekarang ini.
Namun, sadarkah kita bahwa internet ini sesungguhnya laksana pedang bermata dua. Apa maksudnya? Maksudnya ialah di satu pihak–bila digunakan dengan benar–ia dapat membantu segala macam urusan kita, tetapi di lain pihak–bila digunakan dengan salah–ia dapat mencelakai diri kita sendiri. Hal ini berlaku untuk berbagai macam konteks seperti relasi dengan orang lain, urusan politik, ekonomi, budaya, bahasa, dan yang paling riskan adalah agama. Itulah sebabnya Paus Fransiskus menegaskan pada Hari Komunikasi Sedunia ke-53 supaya umat manusia (secara umum) dan Kristiani (secara khusus) menggunakan internet dengan bijak agar tidak jatuh pada penggunaan yang salah atau keliru.
Memang telah nyata bahwa eksistensi internet begitu berpengaruh dalam hidup manusia. Kita dapat melihat dalam bermedia sosial mudah sekali mencari teman, namun mudah juga terjadi perpecahan, perselisihan, pengucilan, penistaan, dan bahkan penipuan. Hal-hal semacam itu kerap dipicu oleh perbedaan di antara kita, baik itu gender, suku, budaya, bahasa, maupun agama. Selain itu, juga karena iri dan dengki terhadap sesama akan suatu hal. Sejatinya, sebagai makhluk sosial berakal budi, kita mesti membangun suatu hubungan persahabatan yang harmonis antarsesama supaya di dunia ini tercipta kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Lebih dari itu, sebagai pengikut Kristus mestinya kita meneladani Kristus sendiri yang adalah Guru Kebijaksanaan dan Sang Penyelamat sejati.
Selain itu, yang lebih pokok adalah bahwa Yesus Kristus sebagai Kepala kita, dan kita sekalian para pengikut-Nya adalah anggota-anggota dari Kepala itu sendiri (bdk. 1Kor 12:12-13, Rm 12:4-5). Hal ini secara langsung menuntut kita untuk memikirkan dan melakukan segala sesuatu mesti seturut kehendak Sang Kepala itu sendiri. Kristus, Kepala kita, adalah Sang Baik dan Benar. Maka, segala suatu yang kita lakukan dalam tata hidup bersama mesti mengandung unsur kebaikan dan kebenaran.
Namun, adanya internet ternyata dapat menyesatkan kita. Orang dapat berbuat jahat, menipu, mencuri, dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya bila salah dalam menggunakan internet. Salah satu contoh kejahatan dengan memanfaatkan internet adalah penipuan online dengan modus penjualan alat kesehatan (Koran Jawa Pos, 9/3/2019, 20). Penipuan online tersebut dilakukan dua orang berinisial AF, 35, asal Bandung dan J, 36, asal Batam. Penipuan semacam itu memang kerap terjadi dewasa ini. Sebab, sangat menjanjikan untuk memperoleh keuntungan mencapai miliaran rupiah. Tapi, apakah perbuatan semacam itu pantas dilakukan? Tentu tidak! Sebab, perbuatan itu sangat merugikan sesama kita, dan pada akhirnya juga diri sendiri akan rugi.
Hal lain lagi yang mewarnai era media sosial sekarang ini adalah banyak orang sepertinya dapat dengan mudah “menghitung” seberapa ia disukai oleh lingkungannya dengan beberapa “like” yang ia peroleh lewat tayangan-tayangan di akun media sosialnya (Koran Kompas, 9/3/2019) seperti Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, WhatsApp. Orang kerap berpikir popularitas itu mesti ditandai oleh banyaknya “like” yang orang berikan pada postingan di akun media sosialnya. Maka, tidak heran kemudian orang berusaha melakukan apa saja untuk disukai atau dikagumi dalam beraktivitas di media sosial tersebut.
Persoalan lain yang tidak kalah penting dan mendesak untuk segera diatasi adalah individualisme. Orang-orang yang mengutamakan dan mementingkan kepuasan pribadi semata sangat berbahaya dalam aktivitas di media sosial. Orang-orang demikian kerap membuat berita-berita bohong (hoaks) atau menghasut dan mengadudomba orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu sehingga timbul perpecahan di dalamnya.
Realita yang terjadi seperti itu sangat memprihatinkan. Ternyata umat manusia dewasa ini belum bijaksana dalam menggunakan teknologi digital yang amat canggih, dan yang telah menjadi bagian dalam hidup kita. Lalu, bagaimana kita mesti menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? sebagai pengikut Kristus apa yang mesti kita lakukan?
Pertama, kita mesti cermat dan bijaksana dalam menyikapi kemajuan dan perkembangan dalam bidang teknologi digital, khususnya internet. Internet yang kita nikmati sekarang ini adalah produk akal budi manusia yang adalah anugerah Allah sendiri. Adanya internet itu membuat kita dapat hidup dengan segala fasilitas canggih untuk mendukung sistem kerja, komunikasi, dan mencari informasi. Anugerah Allah itu mesti disyukuri, sebab Ia senantiasa mengasihi kita.
Oleh karena itu, segala macam praktik kejahatan dengan memanfaatkan internet, seperti melakukan penipuan online, penghinaan, penistaan, dan diskriminasi terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu mesti segera dihentikan. Sebab, bila kita mengakui bahwa akal budi manusia yang melahirkan teknologi-teknologi canggih (internet) seperti yang ada sekarang ini adalah berasal dari Allah, Sang Baik dan Benar; tentu kita akan melihat bahwa perbuatan-perbuatan semacam itu tidak mengandung unsur kebaikan dan kebenaran sedikit pun. Itulah sebabnya kejahatan dengan memanfaatkan internet harus dihentikan.
Kedua, internet dan media sosial memberi kesempatan kepada kita untuk menjalin relasi dan persahabatan dengan semua orang di segala penjuru bumi. Bahkan, bukan hanya itu saja, tapi internet juga memungkinkan kita untuk membangun komunitas-komunitas tertentu untuk menciptakan harmoni dalam tata hidup bersama.
Untuk menjalin relasi dan persahabatan, serta membangun komunitas-komunitas tersebut tentu tidak mudah. Hal ini menuntut suatu kerjasama, kejujuran, dan keterbukaan. Dalam hal ini dengan sendirinya individualisme mesti dihilangkan. Selain itu, menurut saya, kita tidak perlu berharap mendapat banyak “like” di akun media sosial kita, sebab yang utama dalam bermedia sosial adalah sejauh mana kita memberi kontribusi positif dan menghadirkan kasih Allah dalam sebuah persahabatan dengan orang lain, bukan mencapai popularitas individu.
Menurut Armada Riyanto, persahabatan itu adalah cetusan dari cinta (2013: 112-115). Persahabatan paling indah, menurutnya, adalah persahabatan antara Daud dan Yonatan (1Sam 18:1,3-4; 20:1-43). Sebab, dalam menjalin persahabatan itu mereka menghadirkan Tuhan sebagai Sang Cinta untuk menopang persahabatan itu sendiri. Persahabatan semacam itulah yang layak disebut persahabatan sejati. Persahabatan sejati hanya mungkin terjadi bila orang mau mencintai sesamanya dan tidak ada niat untuk menyakiti dan mengeksploitasinya. Dalam hemat saya, persahabatan yang terjadi di media sosial mesti dilandasi dengan cinta serta tujuan baik dan benar. Hal itu dilakukan supaya tidak ada niat-niat untuk menipu dan menyakiti sesama. Selain itu, persahabatan di media sosial yang dilandasi dengan cinta dapat membuat orang sungguh-sungguh hadir sebagai sahabat, bukan sekadar sahabat yang hanya hadir di layar gadget atau ponsel.
Hadir sebagai sahabat di media sosial berarti hadir pula untuk membantu dan meringankan beban sesama, atau barangkali hanya sekadar memberi solusi. Namun hal sekecil apapun apabila dilakukan dengan landasan kasih yang tulus akan sangat berguna bagi orang lain. Santo Paulus pun menganjurkan untuk tak jemu-jemu berbuat baik terhadap sesama, terlebih sahabat seiman (bdk. Gal 6:9-10). Hal tersebut mau mengatakan bahwa dalam persahabatan di media sosial pun kita mesti selalu berbuat baik.
Ketiga, dalam konteks keluarga. Hal yang paling hakiki dengan adanya internet adalah supaya anggota keluarga (ayah, ibu, dan anak) dewasa ini–dengan segala macam tantangannya–dapat terbantu untuk memiliki relasi yang semakin erat satu sama lain. Hal konkret dalam konteks ini adalah untuk memudahkan komunikasi bila anggota keluarga sedang berada di tempat berbeda-beda. Namun, yang kerap memprihatinkan adalah ketika ayah, ibu, dan anak sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Tidak jarang pula acara makan malam – yang biasanya adalah kesempatan untuk saling memberi kasih, senyum, dan perhatian – menjadi acara bisu, sunyi, hening, dan komunikasi tidak nyambung, sebab sibuk dengan gadget masing-masing.
Dalam situasi semacam itu, anggota-anggota keluarga mesti memiliki kesadaran bahwa internet digunakan untuk kebaikan dan kebenaran. Jangan sampai yang terjadi adalah mementingkan diri sendiri saja dan mengabaikan pentingnya relasi yang harmonis dalam keluarga. Keluarga mendapat tempat utama di sini dalam penggunaan internet dengan bijaksana, karena keluarga adalah basis untuk hidup bermasyarakat dan bermedia sosial.
Pada akhirnya ditekankan sekali lagi bahwa internet mesti digunakan secara baik dan benar. Konteks zaman sekarang mengharuskan kita untuk terbiasa dengan internet atau jejaring sosial. Tak dapat disangkal internet telah menjadi bagian dari hidup kita. Oleh karena itu, kita mesti berjejaring sosial dengan bijak agar relasi yang berlangsung di media sosial dapat membawa perdamaian dalam kehidupan konkret. Dalam hal ini kita yang adalah sesama anggota (Ef 4:25) harus berusaha menghadirkan kasih Kristus, Sang Baik dan Benar, di tengah dunia agar semua umat manusia merasakan-Nya.
Daftar Pustaka
Riyanto, Armada. Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
gambar: rawpixel.com
Penulis: Romanus Piter
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.