(Kis 4:23-31; Yoh. 3:1-8)
Seorang bapak divonis akan meninggal dalam satu tahun. Pasalnya, ia mengidap kanker pankreas yang akut. Mendengar vonis dokter itu, bapak itu malah punya semangat hidup yang lebih hebat lagi. Ia berhasil hidup lebih dari dua tahun.
Namun sebelum meninggal, satu tahun pertama, bapak itu memilih berhenti bekerja. Untuk apa ia bekerja, kalau ia tidak akan menikmati hasil kerjanya? Ia juga menjual hampir semua harta bendanya. Ia berhenti membayar kontrakan rumah dan menghabiskan uangnya untuk makan malam atau berlibur. Pakaian yang disimpannya pun lebih banyak jas hitam, kemeja putih dan dasi merah. Rencananya, pakaian itu akan ia kenakan saat dirinya dikubur.
Ketika kematian tak kunjung tiba, ia baru menyadari kalau dirinya telah jatuh miskin alias bangkrut. Ia berkata, “Saya sangat senang mendapat kesempatan kedua untuk hidup, tetapi bagaimana jika Anda tidak mempunyai uang setelah semua ini? Ini salah saya. Saya habiskan semua uang dan harta saya. Dokter itu harus mengembalikan semua uang saya.”
Bapak itu pun menuntut dokter ke pengadilan. Baginya, ulah dokter itulah yang menyebabkan ia jatuh miskin. Ia tidak bisa hidup bahagia lagi. Ia tidak bisa makan enak lagi. Ia tidak bisa memberi derma kepada orang-orang miskin lagi. Hidup manusia itu bukan di tangan manusia.
Hidup manusia itu di tangan Tuhan. Karena itu, orang harus berani mempercayakan hidupnya kepada Tuhan. Tuhanlah yang menyelenggarakan kehidupan ini baginya. Kisah tadi mau menunjukkan bahwa manusia sebenarnya tidak punya kuasa atas kehidupan ini. Manusia hanya bisa menerima kehidupan ini dari sang pencipta. Karena itu, tidak ada alasannya bagi manusia untuk memvonis hidup seseorang.
Tetapi manusia juga mesti sadar bahwa hidup ini tidak bisa disia-siakan begitu saja. Orang tidak bisa berfoya-foya atas harta yang dimilikinya. Mengapa? Karena harta kekayaan itu juga memiliki sifat sosial. Artinya, harta kekayaan itu juga menjadi bagian dari sesama kita. Tidak bisa dipakai hanya untuk diri sendiri.
Karena itu, berjaga-jaga adalah satu-satunya cara yang baik bagi manusia untuk menyiasati hidup ini. Namun bukan berjaga-jaga dalam arti yang sempit. Yang dimaksudkan dengan berjaga-jaga di sini adalah orang mesti aktif dalam berusaha untuk menyiapkan hidupnya. Dengan demikian hidup ini menjadi lebih baik bagi diri sendiri dan bagi sesama.
Dalam pengajaran-Nya, Yesus selalu menekankan unsur berjaga-jaga dalam hidup manusia. Dalam situasi berjaga-jaga itu orang tidak dikuasai oleh pesta pora dan foya-foya. Tetapi orang justru menjadi sadar akan keberadaannya sebagai manusia. Orang menjadi waspada terhadap berbagai godaan yang menghadang dirinya. Mari kita berjaga-jaga sebab Tuhan datang seperti pencuri di waktu malam. Kita tidak tahu kapan Tuhan datang untuk menyapa kita.
“Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (Mat 24:43-44).
** (Frans de Sales SCJ)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.