Kesepakatan Pertemuan Nasional Delegatus Missionis
01. Pengantar
Dengan semangat untuk saling belajar, kami, 34 orang peserta pertemuan nasional Delegatus Missionis (Delmis) KKM-KWI, berkumpul di Rumah Doa St. Maria Guadalupe, Perumnas Duren Sawit Baru, Jakarta pada tanggal 23-25 September 2013. Kami bertemu untuk saling berbagi kisah mengenai karya perutusan dan pelaksanaan penginjilan di wilayah keuskupan-keuskupan Gereja Katolik Indonesia. Kami percaya bahwa Roh Kudus telah membimbing kami di sini untuk mampu belajar bersama. Dalam doa dan perayaan Ekaristi bersama, kami juga bersyukur karena bimbingan dan inspirasi Roh Kudus, seperti dikatakan Konsili Vatikan II: “Roh Kuduslah yang menyatukan segenap Gereja dalam persekutuan dan pelayanan, melengkapinya dengan pelbagai karunia hierarkis dan karismatis, dengan menghidupkan lembaga-lembaga gerejawi bagaikan jiwanya, dan dengan meresapkan semangat misioner, yang juga mendorong Kristus sendiri, ke dalam hati umat beriman (AG 4, bdk. EN 75, RM 26)
02. Profil Gereja misioner
Kami semakin menyadari wajah yang mencirikan Gereja Katolik Indonesia, utamanya sebagai kawanan-kawanan kecil yang tersebar (bdk. Mat 10:16; Luk 10:3). Kisah-kisah yang kami bagikan mengungkapkan mozaik komunio gerejawi di tanah air. Ada komunitas campuran berbagai etnis, ada komunitas yang beranggotakan penduduk asli setempat, ada komunitas kaum migran yang sudah berakar, dan ada pula komunitas-komunitas yang bagaikan peziarah di ‘tanah asing’. Kami juga menyaksikan adanya komunitas-komunitas kristiani yang mengalami marginalisasi, yang tidak bisa berpartisipasi penuh dalam hidup bermasyarakat, pertama dan terutama karena imannya.
Dalam banyak wilayah perutusan Gereja di tanah air, kami melihat adanya keragaman situasi misi yang ditanggapi dengan cara-cara khusus. Ada karya misi yang masih menekankan evangelisasi perdana bagi mereka yang belum dan/atau baru mengenal Injil Kristus, ada yang menekankan reksa pastoral pemantapan iman bagi mereka yang sudah beriman, dan ada pula yang melakukan penginjilan kembali mereka yang kehilangan cita rasa kristianinya (bdk. RM 37).
03. Pengertian evangelisasi baru
Dari diskusi-diskusi yang mencerahkan ini, kami memahami evangelisasi baru sebagai upaya menghadirkan kabar gembira dengan semangat baru, yang menanggapi kebutuhan manusia dalam berbagai aspek kehidupan, yang dilakukan secara partisipatif, dialogal, dan transformatif, serta mengantar orang untuk berjumpa dengan Allah dalam kehidupan sehari-hari, yang membuatnya menjadi baru (bdk. EN 18).
04. Motivasi evangelisasi baru
Kami mengimani bahwa pengalaman akan kasih Allah yang menyentuh dalam hidup sehari-hari menggerakkan kami untuk hadir, terlibat, dan berbagi dalam pewartaan Khabar Gembira. Ini mengingatkan kami akan pengalaman dan teladan Rasul Santo Petrus (Yoh 21:15-19) atau wanita Samaria (Yoh 4:1-30), dan banyak tokoh mulia dalam keuskupan kami masing-masing. Kami ingat pula akan pengalaman transformatif Santo Paulus, yang dijadikan rasul oleh Tuhan Yesus, yang memotivasi seluruh hidupnya: “Karena, jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab, itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16).
05. Konteks dan tantangan evangelisasi baru
Kami melihat bahwa evangelisasi baru, yang dilaksanakan dalam konteks Indonesia, dicirikan oleh pluralitas suku, agama, gerakan pentakostalisme, fundamentalisme agama, budaya populer, kemajuan teknologi komunikasi, dan masyarakat yang semakin dijiwai konsumerisme, hedonisme, indiferentisme, materialisme, dan individualisme, serta kerusakan lingkungan hidup karena eksploitasi alam; kesenjangan sosial-ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan, perdagangan manusia, buruh migran, dan merebaknya penyakit HIV/AIDS. Merupakan tantangan serius pula bagi sejumlah Gereja lokal yang harus menghadapi kenyataan sulitnya mengubah mentalitas orang-orang pindahan dari komunitas gerejawi lain ke dalam Gereja Katolik.
Begitu pula, lunturnya militansi iman, luasnya wilayah perutusan, terbatasnya dana dan sarana, masih kuatnya mentalitas peramu dengan pola pikir sesaat, peraturan-peraturan daerah yang mempersulit hidup komunitas-komunitas gerejawi, dan politik diskriminatif dari pemerintah juga kami catat sebagai tantangan nyata dalam panggilan dan perutusan kami. Disamping itu, mata kami juga semakin terbuka akan dampak nyata dari pergeseran demografi di tanah air, yang antara lain menyebabkan jumlah umat Katolik di beberapa wilayah menurun. Tanda-tanda zaman ini tentu saja merupakan tantangan serius yang harus dihadapi dengan bijak dan menjadi agenda misi Gereja.
06. Isi evangelisasi
Dalam konteks evangelisasi seperti disebutkan di atas, panggilan dan perutusan Gereja “yang berasal dari perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Bapa” (AG 2; bdk. EN 59), tetaplah sama, yakni mewartakan Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjadi manusia (bdk. Yoh 1:1-18), yang solider dan terlibat dalam hidup manusia demi keselamatan dunia (bdk. Luk 4:18-19). Ini mengingatkan kami kembali akan penegasan Sri Paus Benediktus XVI yang mengatakan bahwa “adalah kewajiban Gereja untuk selalu dan di mana saja mewartakan Khabar Gembira Yesus Kristus” (Surat Apostolik Sri Paus Benediktus XVI pada pendirian Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, 21 September 2010).
07. Pelaku evangelisasi
Kami menggarisbawahi kembali ajaran Gereja bahwa berkat Sakramen Baptis dan Penguatan (LG 33; RM 71; bdk. EN 70-73), semua orang beriman adalah pelaku-pelaku evangelisasi (bdk. AG 35-41; EN 67-65 ), baik secara individu maupun kelompok, baik klerus, biarawan-biarawati, kaum awam (dewasa, remaja, anak-anak) maupun komunitas-komunitas basis.
Kami juga sadar akan peran para Uskup, sebagai pimpinan kami dalam Gereja-gereja Lokal, seperti yang diajarkan oleh Konsili mengenai peran sentral mereka dalam keuskupannya masing-masing, yakni untuk “membangkitkan, memajukan, dan membimbing karya misioner” (AG 38; bdk. EN 68). Di atas semuanya itu, kami meyakini bahwa Roh Kudus adalah penggerak, pembaru, dan pemberi inspirasi di dalam berevangelisasi, seperti telah dikatakan oleh Sri Paus Paulus VI: “Evangelisasi tidak mungkinlah tanpa karya Roh Kudus” (EN 75).
08. Metode evangelisasi
Kami semakin menyadari dan percaya bahwa metode berevangelisasi yang paling efektif dalam konteks sosial dan budaya di Indonesia adalah kehadiran dan kesaksian hidup, baik secara individual maupun bersama dalam komunio umat beriman (komunitas basis gerejawi, komunitas religius, kelompok-kelompok kategorial) dan juga komunitas basis insani (komunitas lintas iman dan kepercayaan). Karena itu, dalam berevangelisasi kami memajukan dan mengandalkan budaya dialog (kehidupan, karya, teologi, pengalaman spiritual) dan menghormati pluralitas masyarakat berdasarkan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai citra Allah (Kej 1:27).
Dalam praksis misioner, kami mengandalkan pendekatan budaya, baik budaya-budaya tradisional seperti yang diteladankan oleh misionaris-misionaris perdana yang menjelajahi bumi dan laut Indonesia, maupun budaya cyber dan digital dewasa ini. Bagi kami, kebudayaan bukan hanya menjadi sarana evangelisasi saja, melainkan juga telah menjadi locus evangelisasi itu sendiri.
09. Ungkapan evangelisasi
Kami mengakui bahwa konteks sangat memengaruhi pilihan bentuk-bentuk karya misioner yang paling cocok bagi masing-masing Gereja lokal. Pewartaan Injil Yesus Kristus kepada segala lapisan masyarakat atau segala tingkat kemanusiaan merupakan aktivitas utama evangelisasi baru (bdk. EN 14, RM 44). Sementara itu, kegiatan-kegiatan yang sudah dikembangkan untuk pendalaman iman, seperti sharing Kitab Suci, katekese, dan Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) atau Sekolah Evangelisasi Pribadi (SEP) adalah untuk memampukan umat melakukan penginjilan ke luar. Keterlibatan Gereja pada dunia demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan merupakan tugas integral evangelisasi (bdk. EN 31). Semua ungkapan yang beranekaragam ini ditujukan untuk membarui dunia dengan kekuatan Injil.
10. Prospek evangelisasi
Kami melihat bahwa rumusan visi, misi, dan komitmen Gereja-gereja Lokal sudah mengindikasikan bahwa Gereja Katolik Indonesia memiliki prospek evangelisasi yang menjanjikan. Rumusan dan proses perumusannya, yang dilakukan melalui berbagai forum, seperti sinode keuskupan, temu pastoral (Tepas), dan musyawarah pastoral (Muspas) menunjukkan bahwa karya evangelisasi itu sungguh-sungguh merupakan karya bersama. Demikian pula, ungkapan-ungkapan teologis seperti “gereja mandiri”, “gereja misioner”, “gereja peziarah”, dan sebagainya, bagi kami, merupakan signal positif mengenai dinamika Gereja Indonesia sekarang dan di masa mendatang di tengah budaya cyber yang menjiwai perkembangan zaman kita.
Kami menggarisbawahi pula bahwa prospek evangelisasi pada hakikatnya dijamin oleh Konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 29. Dengan ini kami diingatkan lagi bahwa pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Maka, dalam kerjasama dengan kelompok-kelompok luar Gereja dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, kami mengingatkan diri akan pentingnya mengembangkan relasi yang kritis dan profetis.
11. Tugas Delegatus Missionis
Berdasarkan pengalaman dan refleksi bersama di atas, kami semakin menyadari pentingnya tugas Delegatus Missionis (Delmis) secara struktural di tiap-tiap keuskupan di tanah air, seperti yang dianjurkan oleh Vatikan dan ditindaklanjuti oleh KWI lewat Komisi Karya Misioner ini. Sementara ini kami mencoba merinci tugas-tugas Delmis sebagai berikut:
motivator semangat misioner: menganimasi anak, remaja, orang dewasa, dan para petugas pastoral;
pelaku evangelisasi baru: mengupayakan sosialisasi evangelisasi baru dan turut mengembangkan upaya-upaya evangelisasi secara kontekstual;
fasilitator evangelisasi baru: memfasilitasi studi-studi dan refleksi-refleksi bersama tentang misi; memfasilitasi studi budaya-budaya lokal dan modern untuk evangelisasi dengan kesadaran bahwa kebudayaan bukan hanya sarana tetapi juga locus evangelisasi;
penghubung jejaring misi: mengupayakan kerjasama terpadi kelompok-kelompok komunitas basis, paroki-paroki, komisi-komisi di keuskupan, komunitas-komunitas religius, pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM).
12. Penutup
Kami bersyukur, karena pertemuan nasional pertama untuk para Delegatus Missionis ini telah membantu kami untuk melihat lebih dalam jati diri Gereja – panggilan dan perutusannya untuk menjadi terang bangsa-bangsa (Lumen Gentium) dan sumber kegembiraan dan harapan (Gaudium et Spes) bagi dunia – dan juga menyadari peran partisipatif yang bisa kami lakukan. Kami percaya bahwa semuanya ini bisa dikerjakan dengan baik dengan mengandalkan pendampingan Bunda Maria, karena dia dengan doanya pada hari Pentakosta menyaksikan mulainya evangelisasi yang didorong oleh Roh Kudus. Karena itu, bersama Sri Paus Paulus VI kami berdoa: “Semoga Maria menjadi Bintang Evangelisasi bagi Gereja, yang dengan doa-doanya Gereja telah diperbarui dan dimajukan dalam melaksanakan tugas perutusan yang dipercayakan oleh Kristus, utamanya pada zaman ini yang sulit namun penuh harapan” (bdk. EN 82).
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.