Mei, Injil Hari ini, Bacaan, Suci, bait allah, Firman Tuhan, iman, Injil Katolik, Bacaan Injil Hari ini, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, penyejuk iman, Perjanjian Lama, Pewartaan, Sabda Tuhan, Ulasan eksegetis, Ulasan Kitab Suci Harian, Yesus Juruselamat, Pekan Suci, Minggu Paskah, Hari Minggu Paskah VII, Doa Rosario Laudato Si, Rosario, Mei Bulan Rosario, pesan paus, hari komunikasi sedunia, pekan komunikasi nasional, paus fransiskus, bapa suci, refleksi pesan paus fransiskus

MIRIFICA.NET – Membaca Pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial se-Dunia yang ke 54 (2020) menimbulkan kesan yang menggembirakan hati saya. Mengapa pesan Paus yang berjudul “Hidup Menjadi Cerita: Menjahit Kembali Yang Putus dan Terbelah”  menggembirakan? Ada dua alasan.

Alasan pertama bersifat subyektif.  Pesan Paus meneguhkan apa yang saya geluti selama kurang lebih 35 tahun lewat lembaga tempat saya berkarya. Saya mulai bergabung dengan Studio Audio Visual (SAV) Puskat Yogyakarta sejak saya masih frater (1985). Lembaga yang dirintis sejak 1970 oleh mendiang Romo Ruedi Hofmann SJ ini mempunyai tugas utama sebagai pencerita dalam konteks berkatekese. Cerita disampaikan secara lisan, maupun melalui aneka macam media seperti komik, poster, kaset suara, program radio, sound slide, video,  program televisi, film layar lebar, dan teater rakyat. Kami juga melatih para pencerita yang berkarya lewat media komunikasi. Kegiatan itu kami jalani selama 50 tahun dengan melewati aneka perkembangan teknologi komunikasi hingga sekarang ini.

Alasan kedua bersifat kontekstual. Antara tahun 1990 dan 2000  di Indonesia terjadi booming lahirnya televisi swasta. Ada begitu banyak program televisi  baik yang buatan dalam negeri maupun yang diimpor dari Luar Negeri.  Tidak semua program yang disiarkan  itu baik atau cocok dengan budaya Indonesia. Juga ada cerita-cerita dari luar yang mengancam cerita-cerita lokal. Apalagi pemirsa Indonesia belum bersikap kritis, karena orang Indonesia meloncat dari budaya lisan pertama ke budaya lisan kedua, zaman televisi. Komisi Kateketik KWI di bawah komando Sr. Gabriela PRR sebagai Sekretaris Eksekutifnya menggandeng Romo FX. Adisusanto SJ dari Pusat Kateketik dan Romo Ruedi Hofmann SJ dari SAV Puskat untuk menggarap katekese dengan pendekatan naratif-eksperiensial. Pendekatan yang menggunakan cerita dan pengalaman itu berhasil diintegrasikan dalam Kurikulum Pendidikan Agama Katolik Tingkat Nasional (1994-1998) untuk SD dan SLTP.  Kala itu saya sebagai bagian tim KomKat KWI dan SAV Puskat ikut mengampu lokakarya naratif-eksperiensial bagi para katekis dan guru agama katolik di berbagai keuskupan. Kami melatih para katekis untuk menggunakan berbagai cerita (cerita kehidupan, cerita rakyat, cerita Kitab Suci) untuk berkatekese, termasuk mengintegrasikannya dengan berbagai media seperti komik, kaset suara, video, dan teater. Dengan demikian para pewarta dapat menjawab kebutuhan umat yang sudah terbiasa menyaksikan cerita-cerita di televisi maupun radio. Dua puluh tahun kemudian, yaitu tahun 2020 Paus Fransiskus menegaskan kembali pentingnya bercerita pada saat umat sedang kebanjiran aneka macam cerita melalui media-media terbaru. Tentu saja tujuan Paus Fransiskus sangat mulia.

Selanjutnya, saya ingin menyoroti Pesan Paus Fransiskus dari sisi konten pesannya. Saya menemukan empat hal utama. Pertama, Paus Fransiskus menegaskan kembali salah satu sifat dasar manusia, yaitu bahwa manusia adalah makhluk pencerita. Ciri dasar inilah yang perlu kita jadikan peluang dalam pewartaan kabar gembira atau warta Injil.   Kedua, Paus Fransiskus menggarisbawahi pentingnya sikap kritis atau kebiasaan berdiskresi. Tidak semua cerita itu baik adanya, maka perlu dikritisi. Kita perlu cermat saat memperoleh cerita  lewat media, termasuk media-media terbaru. Bahkan di tengah-tengah pandemi Covid-19 ini di Indonesia ada ratusan cerita bohong terkait Covid-19 yang arahnya menyesatkan, memecah belah, bukan merajut persatuan. Saat inilah kita harus memilih dan merajut cerita yang menumbuhkan kepercayaan bahwa Allah tetap hadir juga pada saat-saat yang paling sulit. Ketiga, Paus Fransiskus mengingatkan kita kembali akan keunggulan cerita Kitab Suci. Kitab Suci adalah kisah cinta luar biasa antara Allah dan manusia. Yesus sendiri adalah pencerita ulung. Ia terampil menggunakan dongeng, cerita kehidupan dan cerita Kitab Suci Perjanjian Lama. Yesus melengkapi cerita-Nya dengan perbuatan cinta kasih. sehingga akhirnya Yesus sebagai Pencerita dijadikan cerita, yaitu Injil Kabar Gembira. Menurut Paus Fransiskus,  bercerita merupakan pola komunikasi Yesus. Paus mengajak kita untuk meneladan cara berkomunikasi-Nya. Keempat, Paus Fransiskus berbicara tentang dampak dari cerita. Antara lain Paus menegaskan bahwa sesudah Allah menjadi cerita, dalam arti tertentu, setiap manusia merupakan cerita ilahi. Berkat kekuatan Roh Kudus, setiap cerita, bahkan yang terlupakan, yang tampaknya ditulis pada garis yang paling bengkok sekalipun, dapat menjadi inspirasi dan dilahirkan kembali menjadi seperti karya  agung, menjadi pelengkap injil. Lebih lagi, ada ungkapan Paus Fransiskus yang bagi saya sangat indah: “Cerita kita menjadi bagian dari cerita agung. Ketika membaca Kitab Suci, kisah orang-orang kudus dan juga cerita-cerita (termasuk cerita rakyat, catatan penulis) yang mampu membaca jiwa manusia dan mengungkapkan keindahannya, Roh Kudus memiliki kebebasan menulis di dalam hati kita dan membaharui kita, serta mengingatkan kita tentang siapa diri kita di mata Allah.” Oleh pesan Paus Fransiskus ini saya disadarkan akan adanya aspek lain dalam pendekatan naratif-eksperiensial. Selain bercerita kepada sesama, kita dapat juga bercerita kepada Allah tentang kisah-kisah yang kita jalani, membawa orang-orang dan mempercayakan berbagai situasi dalam kehidupan kita. Bersama Roh Kudus kita dapat menyimpul kembali jalinan kehidupan, menjahit kembali yang putus dan terbelah. Cerita itu menggerakkan. Oleh sebab itu, kita diajak untuk meneladan Bunda Maria yang merekam dan merenungkan segala peristiwa, lalu membangun cerita-cerita yang  menggerakkan manusia menuju masa depan yang lebih berpengharapan.

Bagi saya sebagai seorang imam sekaligus praktisi media, pesan Paus Fransiskus ini enak dibaca dan direnung-renungkan, mengalir seperti mendengarkan sebuah cerita. Pesannya mengalirkan energi positif, yaitu rasa optimisme menghadapi kesulitan. Pesan Paus juga konsisten dengan anjuran apostoliknya dalam Evangelii Gaudium. “Setiap hari di dunia ini, melalui topan badai sejarah, keindahan lahir kembali, bangkit dalam wujud yang lebih baru…. Manusia pun berkali-kali bangkit dari situasi-situasi yang tampaknya sukar diatasi.’ (EG, art. 276).   Selain itu, sangat pas bahwa pesan Paus Fransiskus dibacakan pada saat dunia sedang menanggung derita akibat pandemi Covid-19. Kita diajak untuk tetap optimis. Warna dasar dari pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial se-Dunia ke 54 ini senada dengan arah penggembalaannya, yaitu mengajak Gereja untuk memeluk dunia yang carut marut ini dan menawarkan pengharapan. Dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan dari teknologi komunikasi, kita diudang untuk membuat “hidup Gereja menjadi cerita” yang menggerakkan dunia. Caranya, kita perlu mengikuti pola komunikasi Yesus: “Semuanya itu disampaikan Yesus kepada orang banyak dalam perumpamaan, dan tanpa perumpamaan suatu pun tidak disampaikan Yesus kepada mereka …” (Mat. 13;34). Marilah kita penuhi dunia ini dengan kisah-kisah yang menghidupkan, sehingga orang saling berbagi kasih.

 Foto: syuting salah satu adegan dalam film “Matias Wolff SJ: Serigala Pembela Iman”, produksi Kongregasi SJMJ dan SAV Puskat, 2015 ***

 

Penulis: Y.I. Iswarahadi SJ

Imam Jesuit dan Praktisi Komunikasi.

Foto: syuting salah satu adegan dalam film “Matias Wolff SJ: Serigala Pembela Iman”, produksi Kongregasi SJMJ dan SAV Puskat, 2015

Inspirasimu: Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54