PADA hari dimana Gereja merayakan peringatan “Penampakan Matahari,” di Fatima, Paus emeritus Benediktus XVI mengeluarkan sebuah refleksi baru tentang perjalanan Gereja menuju “Cahaya Kebenaran” yang menerangi dunia, Kristus Matahari Sejati.
“Di dalam kecenderungan untuk merayakan liturgi dengan posisi menghadap ke Timur oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, kita sebenarnya sedang berjalan secara bersama-sama menuju keselamatan yang Tuhan janjikan kepada ciptaan-Nya”, kata Paus emeritus Benediktus XVI dalam sebuah komentar yang dipublikasikan pada Kamis (13/10/2016).
Benediktus XVI menyampaikan hal itu untuk menghormati patriark ekumenis dari Konstantinopel, Bartholomeus I yang genap 25 tahun masa kepemimpinannya dalam Gereja Ortodoks sebagaimana diberitakan Surat Kabar resmi Vatikan, L’Osservatore Romano.
Refleksi Benediktus XVI itu diterbitkan bersamaan dengan perayaan peringatan 99 Tahun Penampakan Maria di Fatima dalam sebuah buku baru (dengan kata pengantar oleh Paus Fransiskus). Disebutkan bahwa Bartholomeus I: Rasul dan Penyaksi, 25 Tahun Membimbing Orang Kristen Timur.
Memuji karya kasih Bartholomeus I akan ciptaan dan komitmennya pada kelangsungan ciptaan Tuhan, Benediktus XVI mengatakan, seorang gembala bagi kawanan Yesus tidak pernah berorientasi hanya untuk lingkungannya saja. Komunitas Gereja adalah universal, juga dalam arti bahwa ia mencakup semua realitas.
Ia melanjutkan, hal ini terbukti, misalnya, di dalam liturgi yang tidak hanya menampakan peringatan dan pemenuhan karya keselamatan Kristus. Liturgi adalah sebuah perayaan pembebasan semua makhluk ciptaan. Dalam liturgi Timur, kita melihat bahwa orang-orang Kristen secara bersama-sama dengan Tuhan ingin melanjutkan karya keselamatan. Kristus yang tersalib dan bangkit pada saat bersamaan menjadi ‘matahari’ yang menerangi dunia.
“Patriark Bartholomeus telah menghadirkan aspek penting dari misi imamatnya justru melalui komitmennya pada keutuhan ciptaan”, kata Benediktus XVI, karena iman juga selalu diarahkan pada keutuhan ciptaan.
Pujian yang disampaikan Benediktus XVI ini mengingatkan kembali akan kalimat awal yang ditulis Paus Santo Yohanes Paulus II (alm) dalam surat yang ditujukan kepada Gereja-gereja Timur, Cahaya dari Timur telah menerangi Gereja Universal oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi (Luk.1:78): Yesus Kristus, Tuhan kita, yang bagi semua orang Kristen memohon kepada-Nya sebagai Penebus manusia dan harapan dunia.”
Tidak seperti liturgi Ekaristi dalam ritus Latin hari ini, gereja-gereja Timur lebih sering mengikuti tradisi kuno dan merayakan liturgi ilahi menghadap Timur (Orient), melambangkan Kristus yang tidak hanya disalib dan kebangkitan-Nya, tetapi juga kedatangannya yang kedua.
Dalam An Exposition of the Orthodox Faith (Book IV) karya St. John Damascene (676-749) disebutkan bahwa Allah adalah ‘cahaya spiritual’ dan Kristus sebagaimana dalam Kitab Suci adalah ‘Matahari Kebenaran’ dan ‘Fajar Pagi’. Timur menjadi arah bagi orang Kristen untuk merayakan penghormatan dan penyembahan kepada Allah” dimana “segala sesuatu yang baik datang dari-Nya.”
Dalam karyanya Spirit of the Liturgy (Ch. 3), Joseph Kardinal Ratzinger menjelaskan bahwa meskipun terjadi perubahan liturgi abad ke-20, “berdoa ke arah timur adalah tradisi paling awal.” Selain itu, ia menulis, “tradisi itu merukaan ekspresi dasar dari sintesis perjalanan Kekristenan di dunia yang berakar dalam semua peristiwa sejarah keselamatan bersama Yesus dan kedatangan-Nya yang kedua.”
Belum lama ini, dalam sebuah sambutan yang disampaikan untuk mengenang “Implementasi Otentik Dokumen Vatikan II tentang Liturgi, Sacrosanctum Concilium, Kardinal Robert Sarah, Prefek Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, mengajak semua imam untuk merayakan Misa dengan posisi menghadap ke Timur. Ia menganjurkan agar hari Minggu pertama dalam masa Adven sebagai waktu yang pas untuk memulainya. Kardinal Sarah mengatakan:
“Saya percaya bahwa sekarang merupakan waktu yang penting bagi kita untuk kembali secepat mungkin, melihat kecenderungan umum dimana imam dan umat beriman berbalik secara bersama-sama dan menghadap ke Timur atau pada bagian-bagian dari ritus liturgi ketika kita harus menyapa Allah. Praktek ini diizinkan dalam tata aturan liturgi saat ini. Ini adalah sah dalam ritus modern. Memang, saya pikir hal ini menjadi langkah yang sangat penting untuk memastikan bahwa dalam perayaan liturgi, Tuhan sungguh menjadi pusat dari segalanya.
Tentunya, para imam yang terkasih, saya dengan rendah hati dan penuh persaudaraan meminta anda untuk menerapkan praktek ini sedapat mungkin, dengan kehati-hatian dan dengan katekese yang diperlukan, tentu saja. Tetapi hal itu juga harus dalam keyakinan bahwa penerapan ini merupakan sesuatu yang baik bagi Gereja, sesuatu yang baik bagi kita semua. Penilaian pastoral anda sendiri akan menentukan bagaimana dan kapan hal ini bisa dimulai, tapi menurut saya adalah pada hari Minggu pertama Adven tahun ini, ketika kita menantikan ‘Tuhan yang akan datang’ dan ‘yang tidak akan pernah menunda’ (lihat: Pembukaan Misa Rabu Minggu pertama Adven) mungkin menjadi waktu yang sangat baik untuk melakukan hal ini.”
Menghormati Bartholomeus
Dalam tulisannya, Benediktus XVI mengingat pertemuan pertamanya dengan Bartholomeus, saat di perjalanan menuju Asissi tahun 2002 bersama dengan Paus Yohanes Paulus II untuk memanjatkan doa bagi perdamaian dunia.
“Saya begitu tergerak dengan keterbukaan dan kehangatan pribadi patriark Bartholomeus”, kenang Benediktus. “Tentu saja hal ini tidak membutuhkan upaya keras untuk saling mendekatkan satu sama lain, keterbukaan dan kesederhanannya segera menginspirasi kedalaman pertemuan penuh cinta.”
Benediktus juga memuji kefasihan Bartholomeus menggunakan beberapa bahasa Eropa,termasuk bahasa Latin. “Jika seseorang dapat berkomunikasi dengan bahasa orang lain, ada kedekatan untuk berbicara dari hati ke hati, dan dari pikiran ke pikiran,” katanya.
Dengan mempertimbangkan latar belakang patriark ekumenis yang kaya dan beragam ini , Benediktus menggambarkan karyanya sebagai sebuah “perjalanan yang berakar kuat pada iman akan Yesus Kristus.
Mengingat pertemuan pertama mereka, Benediktus mengatakan ia melihat seluruh kepribadian Patriark sebagai sebuah “perjalanan dengan satu tujuan,” hidup yang ditopang melalui pertemuan mendasar dengan kebenaran sejati yaitu Yesus Kristus. Tujuan dari semua ini, pertemuan, katanya, “adalah membangun kesatuan dalam Yesus Kristus.”
Paus emeritus mengatakan hal itu “sangat indah” dan bahwa Bartolomeus tetap menjadi “pribadi dekat” setelah ia mundur sebagai paus. Bartholomeus mengunjungi dia dan membawanya kenang-kenangan – hal itu “tidak hanya menjadi tanda-tanda hangat persahabatan pribadi kami, tetapi juga pengarah menuju persatuan antara Konstantinopel dan Roma, tanda-tanda harapan bahwa kita sedang bergerak menuju kesatuan.”
Benediktus XVI menyimpulkan dengan mengatakan Bartholomeus adalah “bapa ekumenis sesungguhnya, dalam setiap arti kata” dan bersolider penuh dengan Paus Fransiskus, “ia menyelesaikan langkah-langkah penting lebih lanjut di jalan persatuan.” ***
Artikel ini dapat dibaca juga di Aleteia.org.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.