Siapakah Dia Itu?

Rekan-rekan yang baik!
Kemarin saya minta Matt mengupas Injil yang dibacakan Minggu Biasa XIV A ini (Mat 11:25-30) yang  memuat pernyataan Yesus mengenai siapa dirinya di hadapan Allah (ay. 25-27), dan siapa dia bagi orang-orang yang bersedia menerimanya (27-30). Berikut ini jawabannya. Ia malah menambah amatan mengenai Za 9:9-10 yang diperdengarkan Minggu itu juga. Selamat membaca!
A. Gianto.
=====================================
Rekan-rekan di ruang Alkitab!

Banyak orang ingin tahu mengenai siapa tokoh Yesus yang katanya mengerjakan hal-hal yang hebat. Mereka bertanya-tanya bagaimana dia dapat mengajarkan tentang Allah dengan caranya sendiri, dari mana dia peroleh kepandaian menyembuhkan dan kekuatan mengusir roh jahat, mengapa dia memilih dan mengutus rasul untuk menjalankan hal-hal yang hingga kini dilakukannya sendiri. Itulah pertanyaan yang mengusik batin orang.

Siapakah Yesus Itu?

Apakah dia itu benar-benar tokoh dinantikan orang banyak (Mat 11:2-6)? Malah Yohanes Pembaptis bertanya demikian. Ada yang berpikir, bila ya mengapa ada yang berani menganggap sepi wartanya mengenai kedatangan Kerajaan Surga dan malah mengira ia berbicara yang bukan-bukan (Mat 11:7-19)? Bahkan di beberapa tempat seperti Khorazim, Betsaida, Kapernaum, orang-orang tak percaya kepadanya meskipun ia mengerjakan hal-hal yang ajaib (Mat 11:20-23). Apa yang dipikirkan Yesus sendiri tentang semua ini?

Tentunya kalian yang hidup pada zaman dan keadaan yang berbeda mempunyai pertanyaan lain, misalnya, apa arti mengikuti dia dalam masyarakat yang tidak lagi terbatas pada dunia orang Yahudi dulu, bahkan tidak ada hubungannya dengan dunia itu sama sekali. Bagaimana tetap bisa menerimanya dan meyakini ajarannya di tengah-tengah pelbagai tawaran ajaran keselamatan yang ada pada zaman kalian ini. Semua ini pertanyaan besar yang pasti mengusik batin kaum cerdik pandai. Tentu saja saya tidak akan ikut menerjuni gelanggang ini. Kali ini saya hanya akan menjelaskan pokok-pokok yang ada dalam petikan itu serta menunjukkan kaitannya dengan kehidupan orang yang memang sudah menerima dia. Saya kira begitu juga sikap kalian.

Yesus Dan Bapanya

Dari pernyataan Yesus dalam Mat 11:25 dapat disimpulkan betapa ia sungguh mengenal Dia yang diwartakannya kepada orang banyak dengan pelbagai tindakannya: menyembuhkan orang, mengusir roh jahat, mengajar, mengutus para murid. Semua kegiatan itu dilakukannya agar orang makin mengenal kehadiran Allah di dunia, khususnya agar orang dapat melihat bahwa Allah itu Allah yang peduli, bahkan Dia bisa dipanggil Bapa. Semua yang dikerjakan Yesus itu demi Dia yang mengutusnya. Dan ia tidak ragu-ragu mengakui hal ini. Dalam saat-saat yang kurang menyenangkan, seperti ketika dimusuhi, ditolak, Yesus justru menimba kekuatan dari kesadaran batinnya itu.

Rekan saya Luc juga menyampaikan hal tadi. Malah menurut Luk 10:21 Yesus penuh kegembiraan dalam Roh. Di situ Luc sebenarnya mau menggambarkan kegembiraan Yesus ketika mendengar hasil kerja ke-70 muridnya. Mereka berhasil membuat kekuatan-kekuatan jahat takluk ketika mendengar mereka mewartakan nama Yesus. Bagi Yesus, jelas Bapanya sendiri bertindak. Ia merasakan kesatuan dirinya dengan Dia yang mengutusnya. Karena itulah upayanya berhasil. Mereka yang ikut serta memperoleh keberhasilan pula.

Ingin saya tambahkan satu hal. Keberhasilan jangan diukur semata-mata dari besarnya penerimaan orang lho! Ini bisa menjurus ke demam panggung. Luc juga tahu itu. Yesus menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilannya itu bergantung pada kesanggupannya dan kesanggupan para murid mewartakan kebaikan ilahi. Perkara diterima atau malah dicurigai itu bukan hal pokok. Para pendengar masih tetap memiliki kemerdekaan. Sisi ini tidak boleh diabaikan. Kalau mereka menjadi sedemikian terpesona dan tak bisa lain kecuali menerima begitu saja maka sulit dikatakan mereka merdeka. Cara seperti ini bukan cara Yesus, bukan juga cara Bapanya. Bukan cara para penerus karya Yesus. Itu cara kekuatan jahat yang biasa menyudutkan dengan macam-macam kebaikan yang mengikat. Bila begitu tak ada kemungkinan memilih, orang hanya akan tanda tangan dan habis perkara. Tapi batin mereka tidak diperkaya. Mereka malah jadi kerdil dan makin terbelenggu.

Romantiknya “Orang Sederhana”?

Kalian mungkin bertanya. Bukankah dalam ay. 25 Yesus bersyukur bahwa Bapanya menyembunyikan yang hendak disampaikannya terhadap pikiran orang-orang bijak dan orang pandai, tetapi Ia menyatakannya kepada orang kecil. Tapi jangan salah tangkap. Tak ada romantisme “orang kecil”. Kita-kita ini sering mengidealkan orang sederhana, kaum kecil. Kita bilang kita mau omong kepada orang di jalanan. Kalau hanya ragam bicara, okay deh, tetapi tak usah kita terbuai retorika kita sendiri. Juga orang kecil jangan kita jadikan komoditi yang bisa diperdagangkan entah oleh Gereja entah oleh LSM entah oleh orang kecil sendiri. Nanti malah berakhir dengan memaksa-maksakan kebaikan kepada mereka dan tidak menjalankan hal yang diinginkan dia yang mengutus kita.

Yang dimaksud Yesus dengan orang bijak dan orang pandai di sini ialah orang yang merasa sudah tahu bahwa Allah bertindak begini dan bukan begitu. Tentu saja mereka itu tidak sebarangan. Memang mereka punya kitab-kitab keramat, dan tradisi. Tetapi mereka lama kelamaan membatasi ruang gerak Allah sendiri. Mereka sulit menerima bahwa Yang Mahakuasa itu dapat memakai cara-cara yang tidak biasa, yang belum jadi rutin. Dengan mengutus Yesus ia memakai cara yang tak lumrah. Yang Mahakuasa memusatkan diri pada manusia Yesus itu. Dia itu satu-satunya yang mendapat perkenan untuk menampilkan wajahNya kepada umat manusia. Karena itu Yesus dapat memanggilNya Bapa dan dapat mengajak kita berani ikut memanggilNya demikian. Jelas hanya Putra sajalah yang mengenal Bapa. Ini kesimpulan iman kami. Dan hanya orang-orang yang diajak dan mau menerima Putra dapat mengenali Bapa seperti Yesus sendiri. Itulah yang diungkapkan dalam ay. 26-27. Untuk menerima kenyataan iman ini, jalan orang bijak dan jalan orang pandai saja tak dapat menjamin. Memang mereka dapat sampai pada serangkai amatan mengenai kenyataan iman itu. Tapi belum berarti mereka hidup di dalamnya. Di sini perlu mereka menjadi orang kecil, menjadi orang yang mau menerima tanpa pamrih. Semacam komitmen dan keberanian melangkahi ambang. Sering sukar dijalani karena orang waswas, karena semua yang dipegang hingga kini tidak lagi kukuh. Yang menjamin ialah yang ada di seberang ambang itu, yang belum terpegang. Penyerahan, ya pasrah pada yang di sebelah sana, itulah sikap orang kecil. Mempertahankan pemikiran, mencari keamanan itu sikap orang bijak dan orang pandai yang tetap ada di sebelah sini. Mereka mandek di tengah jalan.

Ajakan Bagi Yang Patah Semangat

Yesus sebetulnya tidak mengecam orang-orang yang dengan upaya sendiri mau mengerti siapa dia dan mau tahu apa hubungannya dengan Allah. Memang dikatakan sikap mau mengenalinya dengan upaya kebijaksanaan sendiri tidak membawa banyak hasil. Mereka nanti akan lelah. Bisa pula kecewa. Mereka akan kehilangan arah dan hilang semangat. Tetapi mereka tidak ditinggalkannya. Mereka telah melihat sejauh mana kebijaksanaan dan kepandaian mereka bisa menolong. Kini ditawarkannya satu hal yang dapat mengubah kehidupan mereka. Yang dapat membawa mereka ke tataran lain.

Bagi orang pada zaman itu jelas yang diarah ialah mereka yang dengan cermat dan saleh mengikuti perintah-perintah Taurat yang jumlahnya sampai 613 – enam ratus tigabelas! Perintah dan larangan ini bisa menjadi beban yang memberatkan dan tak menjamin kebahagiaan yang sejati dan belum tentu bisa menjadi ungkapan iman yang hidup. Nanti dalam Mat 23:4 Yesus memberi tahu orang banyak bahwa para ahli Taurat dan kaum Farisi memonopoli ajaran Musa dan memberatkan umat dengan perintah-perintah yang tidak mereka hayati sendiri. Tak mendatangkan hasil. Dan toh cara-cara itu dianggap cara beragama yang baik! Mereka menjadikan agama beban, bukan jalan memerdekakan batin agar dapat menerima kehadiran ilahi – dan menerima sesama seperti apa adanya.

Ada ajakan untuk ikut mengangkat beban yang dipanggul Yesus, ikut memikul yang dipikulnya. Menerima ajakan seperti ini melegakan. Kenapa? Bila mau pakai pikiran orang biasa, ya mestinya karena yang berat-berat sudah dipikulnya sendiri. Kita ini akan ikut memanggul beban bukan pertama-tama untuk ikut berkorban, ikut menderita, dst., melainkan sebagai tanda terima kasih bahwa dia sudah mau menjalankan tugas yang diberikan Bapanya itu. Kita sudah menikmati hasil jerih payahnya. Dan ungkapan terima kasih inilah yang mendasari keselamatan kita. Bukankah berterima kasih itu sama dengan mengakui kebaikan? Itulah yang dilakukan Yesus ketika ia bersyukur kepada Bapanya seperti terungkap pada awal bacaan hari ini. Orang yang mampu mengucap syukur akan menemukan jalan lapang. Mereka ini juga bisa mengajak orang lain maju terus. Itulah keleluasaan batin orang beriman.

Salam,
Matt

TAMBAHAN:  Dengar-dengar Za 9:9-10 akan kalian bacakan juga dalam kesempatan kali ini. Petikan itu menyoroti satu sisi baru dari sang “raja” Mesias  yang bakal dimuliakan di bukit Sion di Yerusalem. Dalam alam pikiran orang Yahudi dulu, juga pada zaman Yesus, tokoh Mesias turun temurun menjadi tumpuan harapan akan masa depan yang gemilang, yang jaya, yang adil dan makmur. Kalian tentu tahu bahwa harapan-harapan seperti ini terasa bila keadaan hidup di masyarakat sedang kurang baik. Keadilan serasa dilupakan para pemimpin. Kekerasan merajalela. Susahnya, tak begitu terlihat jalan ke perbaikan. Maka banyak orang mulai menginginkan dan mengangankan keadaan yang sempurna yang bakal datang yang dibawakan oleh seorang utusan resmi dari Yang Maha Kuasa sendiri. Cara ini juga dulu dipakai untuk memahami siapa Yesus tokoh yang semakin tenar di masyarakat dan memikat perhatian orang banyak.

Pada zaman kalian prinsipnya bisa jadi masih sama, cuma tentunya ujudnya agak lain. Gus barusan beritahu tentang keadaan di negeri kalian. Katanya ada pelbagai agama dan macam-macam aliran kepercayaan. Sebetulnya mirip zaman dulu juga. Dalam keadaan ini kerap kali agama berlomba-lomba cari pengaruh dengan macam-macam cara yang sering membuat orang rada kurang merasa enak. Kok gitu ya, batin orang. Memang umat agama juga masih tetap kumpulan manusia yang hidup dalam kaidah-kaidah hidup kemasyarakatan. Dalam hubungan ini bisa jadi agama jadi penghalal apa-apa saja yang melestarikan serta membesarkan kelompok sendiri.

Dalam petikan dari Zakharia itu disarankan agar orang tidak membiarkan diri dikuasai cara berpikir dan bertindak yang begitu. Nabi itu dengan berani mengatakan bahwa sang Terurapi yang betul-betul ini ialah tokoh yang “lemah lembut”, dus tidak menakutkan dan tidak membuat orang mulai kehilangan kebebasan di hadapannya.. Ini gambaran yang berbeda dengan yang kerap ditawarkan pada zaman itu. Biasanya mereka berkampanye bagi Mesias yang hebat yang kuat, yang bakal menghantam mampus musuh. Dengan demikian barang siapa yang ikut dia akan dapat bagian dalam kebanggaan ini. Bukan itu, demikian Nabi Zakharia mau mengatakan. Mesias yang benar ialah yang membuat orang bisa bersimpati padanya dan di sinilah mulai ada rasa saling percaya, di sinilah mulai tumbuh iman dan kebenaran. Dan ini juga yang saya olah dalam pelbagai tulisan.