Orang muda perlu mengolah pikiran, hati dan fisiknya agar mencapai kepribadian yang utuh. Sinergi ketiga hal itu menghasilkan kekuatan dari dalam diri untuk mengalahkan kecenderungan sikap dan perilaku yang buruk dan mendorong orang melakukan hal-hal positif bagi kehidupan pribadi, gereja dan bangsa.
Inilah yang menjadi pokok pergumulan peserta Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) KWI 2018 dalam rekoleksi di Aula Ruang Komisi Keuskupan Palangka Raya, Jumat (11/05/2018). Rekoleksi sehari ini bertemakan ‘Kebangkitan Diri untuk Gereja dan Negeri’ dan diikuti oleh 60 peserta.
Bebet Darmawan dan Tribroto Nugroho, Pengelola Lembaga Pelatihan Sumber Daya Manusia Nawayaksa di Yogyakarta, memimpin rekoleksi secara bergantian. Setelah membawakan presentasi materi pada pagi hingga siang hari, mereka membantu para peserta dengan latihan mengolah potensi diri yaitu dengan hipnoterapi dan berjalan di api.
Bebet, begitu pria lulusan SMA de Britto ini disapa, menjelaskan pengaruh pikiran, hati, dan fisik terhadap sikap dan perilaku setiap orang. Menurutnya, kebanyakan orang belum mengolahnya secara maksimal. Padahal, kalau dikembangkan, ketiga hal itu menghasilkan kekuatan besar yang memampukan orang melakukan banyak hal baik.
“Penelitian-penelitian terbaru menyatakan, kebanyakan orang menggunakan delapan hingga 15 persen dari seluruh kemampuan diri. Masih ada potensi lain yang perlu diolah,” jelas Bebet.
Bahkan sering terjadi, lanjut Bebet, orang tidak mampu berbuat apa pun karena salah mengolah pikiran, hati, dan fisik. Rasa takut, contohnya, muncul dari dalam pikiran. Demikian kuatnya perasaan itu, orang lalu melakukan reaksi-reaksi spontan yang berbahaya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
“Salah satu akar perilaku kekerasan adalah ketakutan. Orangtua memarahi anak karena takut gagal dalam sekolah. Orang bisa berperang satu sama lain karena takut bisnisnya hancur. Negara kita kacau karena orang takut kehilangan jabatan, kehilangan uang, kehilangan identitas,” urai Bebet.
Bicara soal hati, Bebet menekankan pentingnya keterbukaan untuk menerima realitas apa adanya. Ketertutupan diri membuat orang banyak mengeluh bahkan protes terhadap keadaan atau orang-orang di sekitar. Sebaliknya, hati yang terbuka menerima realitas diri dan lingkungan apa adanya mendorong orang untuk berpikir bersyukur.
Tony Melendes contohnya. Pria asal Nicaragua, Amerika Tengah, itu terlahir tanpa kedua tangan. Sejak kecil, ia berusaha menerima keadaan diri, dan menggali potensi lain dari fisiknya yang terbatas itu. Dengan dukungan keluarga dan para sahabat, ia pun mencapai hidup sukses dan bahagia yang ia harapkan.
“Tony kemudian menjadi orang yang mampu berbagi harapan dengan banyak orang lain,” jelas Bebet kepada 60 peserta yang hadir.
Bebet menjelaskan, fisik manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan, termasuk dorongan pikiran dan hati. Terhadap keadaan lingkungan yang panas atau dingin, fisik manusia akan memberikan reaksi otomatis. Demikian pula terhadap dorongan pikiran dan hati, hormon-hormon dalam tubuh bekerja secara aktif memberikan reaksi yang sesuai.
“Kalau pikiran kita menyatakan suatu masalah itu bisa diatasi maka badan kita menyesuaikan diri untuk bekerja. Tetapi kalau kita sudah menyatakan pekerjaan itu berat, fisik terasa cepat lelah,” kata Bebet.
Pastor Diosesan di Keuskupan Ruteng, Ketua Komisi Komsos Keuskupan Ruteng