Beberapa Pertimbangan Menyangkut “Prenuptial Agreement”
RD. Rikardus Jehaut
Pendahuluan
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, di atas sebuah pesawat, saya sempat berbicang-bincang dengan seorang wanita muda Katolik Australia. Rasa ingin tahunya yang besar tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan paham perkawinan Katolik mencengangkan saya. Dia sedang memikirkan rencana untuk menikah dalam waktu dekat namun di sisi lain, mengalami dilema moral menyangkut apa yang dinamakan dengan perjanjian pra-nikah: “I am considering marrying my boyfriend and have a moral dilemma. Given the alarming divorce statistics, I would like to protect the hard work that I have done until now. So, I am considering asking him to sign a prenuptial agreement before marriage. Is it possible to get a Catholic marriage with a prenup? Someone told me it’s not possible because any such agreement shows that there is a complete lack of trust between the future husband and wife and could potentially invalidate an attempt at a valid marriage. I don’t understand but I would like to verify. What is the Catholic Church teaching regarding signing a prenuptial agreement prior to getting married?. Apa yang dipertanyakan oleh si wanita itu barangkali juga menjadi pertanyaan sahabat atau anak kita yang hendak menikah yang juga menghadapi dilemma yang sama dan membutuhkan jawaban atasnya.
“Prenuptial agreement”: pengertian, alasan, isi
Dewasa ini, terutama di kota-kota besar luar negeri, berkembangan kebiasaan dan praktek membuat perjanjian pra-nikah. Perjanjian itu sendiri merupakan perjanjian bilateral antara dua orang yang menurut hukum positif mampu, dalam hal ini calon pasangan suami-isteri, yang harus dinyatakan secara legitim (legitima manifesto) di hadapan notaris dan dua orang saksi. Perjanjian ini dibuat untuk mengatur berbagai efek hukum setelah pasangan menjadi suami isteri yang sah, khususnya dalam hubungan dengan segala implikasi yuridis terhadap harta kekayaan masing-masing pasangan, termasuk mengatur dan menyelesaikan sengketa suami-isteri jika terjadi perceraian di kemudian hari.
Tidak mudah untuk mengetahui secara pasti apa yang menjadi alasannya, mengingat adanya the wide range of motivations di balik perjanjian pra-nikah ini. Namun dapat dikatakan bahwa perjanjian ini muncul dari berbagai pengalaman buruk perceraian yang semakin marak di tengah masyarakat. Alasan lain yang juga sering terdengar adalah bahwa seseorang dapat saja menikah “demi harta”. Motivasinya untuk menikah adalah demi menikmati atau memiliki kekayaan pasangannya atau menggerogoti harta milik calon pasanganya demi kepentingan diri sendiri yang egoistik.
Pada umumnya, keinginan untuk membuat perjanjian pra nikah ini datang dari calon pasangan yang secara ekonomis mapan dan memiliki harta serta warisan yang lebih besar. Perjanjian ini dapat juga dibuat oleh janda atau duda yang hendak menikah lagi tetapi ingin memberikan kekayaannya kepada anak-anak dari perkawinannya yang terdahulu. Di samping itu, bagi mereka yang hendak menikah untuk pertama kalinya, tetapi tidak ingin kekayaan yang diperolehnya selama ini hilang begitu saja jika terjadi perceraian, perjanjian pra-nikah menjadi solusi yang terbaik. Dengan membuat perjanjian seperti ini, maka jika terjadi perceraian, masing-masing pasangan memiliki harta untuk bekal hidup selanjutnya.
Berkaitan dengan apa yang menjadi isi perjanjian pra-nikah itu sendiri, sangat bervariatif oleh karena itu apapun bisa dijadikan butir perjanjian. Isi perjanjian tersebut antara lain menyangkut bagaimana percampuran harta-benda suami-isteri; untung-rugi dan pendapatan-pendapatan; status kepemilikan harta yang dibawa dalam perkawinan atau yang diperolehnya selama perkawinan; hutang-hutang, baik yang ada sebelum perkawinan atau pada hari perkawinan, maupun yang dibuat oleh masing-masing pihak selama perkawinan; berbagai biaya rumah tangga termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan; ketentuan menyangkut status pemilikan harta kekayaan ketika terjadi perceraian.
Beberapa Pertimbangan
Bagi sebagian orang, perjanjian pra-nikah sebagaimana dilukiskan di atas menjadi instrumen bantu dalam menyelesaikan persoalan suami-isteri (menyangkut harta benda) di forum pengadilan sipil ketika terjadi perceraian. Namun di lain pihak, dari perspektif hukum perkawinan Gereja, perjanjian seperti itu perlu diberi beberapa catatan kritis sebagai bahan pertimbangan:
Pertama, Gereja tidak memiliki larangan eksplisit menyangkut perjanjian pra-nikah, bahkan in casu particulari, perjanjian seperti ini diperbolehkan, misalnya dalam kasus duda atau janda yang akan menikah dan keduanya memiliki anak-anak dari perkawinan yang terdahulu. Dalam hal ini, perjanjian pra-nikah adalah sah demi menentukan mana harta warisan yang menjadi hak masing-masing anak jika salah seorang dari mereka meninggal. Dengan kata lain, perjanjian seperti ini menjadi jaminan hukum yang mengatur harta milik yang diperoleh selama perkawinan terdahulu, misalnya setengah dari harta itu menjadi milik isteri atau suami yang telah meninggal, dan sekarang beralih ke anak-anak dari perkawinan pertama itu.
Kedua, sekalipun kita tidak dapat begitu saja memberikan penilaian final seolah-olah perjanjian pra-nikah tersebut pasti merupakan ungkapan kehendak positif calon suami-isteri untuk bercerai, namun, di sisi lain, kita dapat mengajukan pertanyaan, apakah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae) atau persekutuan intim hidup dan cinta (intima communis vitae et amoris) di antara suami-isteri, yang merupakan dasar dan syarat multak agar tujuan perkawinan dapat terwujud, sungguh-sungguh dapat terjamin sementara harta tetap dipisah? Apakah perjanjian seperti ini tidak membawa risiko tertentu mengingat bahwa pihak yang notabene memiliki harta yang lebih besar dari pasangannya bisa saja tidak mau berbagi pemanfaatan atau penggunaan harta kekayaan untuk kesejehateraan pasangan dan anak-anak?
Ketiga, kelompok yang pro perjanjian nikah seringkali juga mengedepankan argumentasi bahwa seseorang dapat saja menikah semata-mata “demi harta” pasangannya. Jika hal ini benar (yang tentu saja harus dibuktikan lewat penyelidikan yang seksama) maka secara yuridis kesepakatan nikahnya menjadi cacat karena melakukan tindakan simulatif, yakni mengganti tujuan perkawinan yang sebenarnya dan seharusnya dengan tujuan lain yang kontradiktif dengan tujuan hakiki perkawinan (bdk. KHK kan. 1101, §2). Namun, pertanyaannya adalah jika logika perjanjian pra-nikah dibuat atas dasar ketakutan atau kecurigaan terhadap motivasi pasangan untuk menikah, mungkinkah cinta kasih suami-isteri (amor conjugalis) dan hidup perkawinan dapat dibangun? Bukankah hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya tidak ada unsur kepercayaan terhadap calon pasangan? Bukankah untuk dapat hidup bahagia dalam perkawinan, seseorang harus sungguh-sungguh percaya sejak awal bahwa motivasi pasangannya untuk menikah adalah baik adanya dan leave the rest in God’s hands?
Keempat, perjanjian pra-nikah yang isinya berkaitan dengan prasyarat tertentu mengenai sesuatu di masa depan yang dibubuhkan pada kesepakatan nikah, dapat menjadikan kesepakatan nikah itu cacat. Jika seorang calon suami atau isteri dengan tahu dan mau menyatakan bahwa “I will marry you if you agree to give me half your assets should we separate”, kesepakatan nikahnya ipso iure tidak sah. KHK kan. 1101, §2, dengan tegas menyatakan: “perkawinan tidak dapat dilangsungkan secara sah dengan syarat mengenai sesuatu yang akan datang”. Apalagi prasyaratan di masa depan yang dicantumkan di sini based on divorce. Adalah bertentangan dengan prinsip fundamental indissolubilitas perkawinan barangsiapa berjanji untuk membangun hidup bersama yang permanen, namun disisi lain tetap mengantisipasi kemungkinan untuk bercerai. Adalah melawan dan bertentangan dengan obyek formal perkawinan, yakni membangun persekutuan intim hidup dan cinta seumur hidup, jika seseorang menikah namun dalam benaknya tetap melihat kemungkinan untuk bercerai sebagai salah satu cara untuk memecahkan masalah perkawinan.
Beberapa pertimbangan di atas ini barangkali masih perlu dikembangkan lebih lanjut lewat studi yang mendalam. Namun, kepada mereka yang hendak merencanakan perkawinan, khususnya secara Katolik, perjanjian pra-nikah seperti yang disinggung di atas membawa implikasi tertentu yang perlu dipikirkan secara serius. Bagi kita orang Katolik, persekutuan suami-isteri adalah suci dan tetap, dalamnya mereka memikul suka-duka kehidupan bersama-sama, saling menerima dan memberi diri secara total, seumur hidup, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing (bdk. GS 48). Hemat saya, jika ada rasa cinta dan rasa percaya terhadap pasangan yang dengannya hidup bersama akan dibangun sampai mati, membuat perjanjian pra-nikah seperti ini atas dasar berjaga-jaga bila terjadi perceraian, tidaklah perlu dan bahkan harus dihindari.
Kredit Foto: https://www.hildebrandlaw.com
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.