WEETEBULA – Enam komputer disiapkan dengan susunan 3 x 2 meja, meramaikan teras aula Wisma UNIO, Weetebula dengan perangkat keras dan kabel-kabel. Lima desktop dan satu laptop yang beroperasi dengan Windows XP ini dipakai 30 seminaris Sinar Buana yang mengikuti pelatihan jurnalistik kerjasama Seminari Sinar Buana dan Komsos KWI. Para peserta dibagi lima orang per kelompok; satu kelompok satu komputer. Bergantian, mereka mengetik hasil tulisan dari pelatihan berjeniskan opini, berita fakta, dan feature. Rencananya, ketikan ini akan dicetak dan dipakai sebagai bahan majalah dinding di Seminari.
“Mading di seminaris mati hidup mati hidup. Setelah pelatihan, tugas kalian adalah membangkitkannya kembali,” ujar RD Yustinus Guru Kedi, kepala sekolah Seminari Menengah Sinar Buana dalam pembukaan pelatihan yang dimulai Kamis (23/3) sampai hari ini. Dari dua hari pertama pelatihan; bersama Budi Sutedjo dan Maria Herjani, mereka bergulat dengan ilmu jurnalistik yang belum pernah dipelajari sebelumnya.
“Meski masih kecil (usia SMP dan SMA) dan baru pertama pelatihan, tulisan mereka banyak yang bagus. Mereka kebanyakan menulis tentang budaya lokal Sumba,” kata Maria Herjani, tim Indonesia Menulis fasilitator pelatihan ini.
Setelah tiga jenis tulisan mereka diperiksa, mereka diizinkan mengetiknya di komputer. Siapa cepat, dia dapat menggunakan komputer lebih dulu. Pelajaran di laboratorium komputer seminari membekali para seminaris untuk mengoperasikan Microsoft Word, sehingga mengetik bukanlah hal baru. Beberapa seminaris terlihat mengetik menggunakan dua jari secara perlahan dan hati-hati; ditemani teman sekelompok di sampingnya yang membantu membacakan tulisan yang mau diketik.
Enam komputer ini mulai disiapkan siang kemarin (24/3), ketika peserta masih diarahkan untuk menulis di kertas. Teras aula wisma UNIO setengah terbuka, sehingga para peserta nantinya akan mengetik sambil bisa menikmati pemandangan barisan pohon kelapa dan rumah penduduk (Itu kalau kelihatan, karena pengetikan direncanakan pada senja hari).
Setelah jalan salib, satu dua komputer mulai terisi, sampai enam komputer semua digunakan. Tidak lama, empat komputer tiba-tiba padam. Para seminaris kebingungan; ternyata kabel listriknya tersenggol. Untunglah tulisan mereka ter-recover sehingga tidak perlu mengulang lagi. Nasib Boston Suru, seorang seminaris, lebih menantang lagi. “Saya sudah ketik, sudah di-save, tapi hilang,” ujarnya sambil terheran-heran. Setelah diselidiki, ternyata ketikannya tertimpa tulisan lain dengan judul yang sama.
Di sudut komputer kelompok lain, tiga seminaris bekerjasama menyelesaikan ketikan satu per satu. Yang seorang mengetik, kanannya membacakan, yang kirinya mengomentari font yang kurang cocok dengan seleranya. Faktanya, mayoritas menghabiskan waktu 5-10 menit untuk memilih font dan warna yang disukai. “Seharusnya diselesaikan dulu tulisannya, baru memilih font dan warna,” kata Maria. Ada pula yang kesulitan menggunakan mousepad laptop. 10 menit pertama dihabiskan bersama teman-temannya untuk menerka penggunaan mouse tanpa kabel itu.
Mereka mulai aktivitas mengetik dari 20.30 WITA, sampai 21.00 WITA -seharusnya. Setelah diizinkan mengetik sampai 22.00 WITA, suasana semakin memanas. Satu per satu tertawa lega setelah ketikannya selesai. Ada juga yang selesai mengetik, tiba-tiba kembali lagi ke komputer ketika temannya mengetik. “Ada yang salah nama pastor di tulisanku,” ucap Sairo Meo Ngai, seminaris SMP yang selesai lebih dulu itu.
Ternyata, sampai pukul 23.30 WITA pun, masih ada yang mengetik. Satu komputer sudah dimatikan, duanya sudah dipakai untuk main games oleh mereka yang sepertinya sudah cukup penat, tiganya masih dipakai berjuang. Rekan yang menemani di samping juru ketik jatuh tertidur di kursi meja itu. Mereka mulai ‘bertobat’ ketika jam menunjukkan pukul 00.00 WITA.
Hari ini, para seminaris belajar mengenai jurnalisme online. Beberapa dari mereka belum menyelesaikan ketikan yang mau dicetak untuk mading itu. Sampai tadi pagi sebelum sesi dimulai pun, mereka mencuri waktu untuk mengetik. Di tengah kehijauan tanah Sumba Barat Daya ini, para calon imam mengakrabkan diri dengan komputer; mendekatkan diri kepada dunia tulis-menulis; mengejar mimpi untuk berkarya bagi Gereja Katolik Indonesia lewat torehan tinta dan ketikan dua jari. Ad Majorem Dei Gloriam.
Greget: Ketika Pegiat Menulis ‘Kedapatan’ Pelatihan Menulis
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.