Pada tanggal 24 Januari 2020, bertepatan dengan Peringatan Santo Fransiskus dari Sales, Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik tertinggi, merilis sebuah refleksi yang menggugah kesadaran berpikir kita lewat pesan yang bertajuk: ‘Hidup Menjadi Cerita: Menjahit Kembali yang Putus & Terbelah.’ Sekilas dapat dilihat pesan Bapa Suci itu, terasa mudah untuk dipahami karena menyangkut hidup manusia, yang dia sebut sebagai cerita. Kendati begitu, makna dari judul ini sangat mendalam. Hidup memang melahirkan cerita, juga karena hidup akan bercerita sebagaimana adanya.
Dalam pesan itu, Bapa Suci menegaskan: Manusia adalah makhluk pencerita karena ia adalah makhluk yang berkembang, yang menemukan siapa dirinya. Ia juga diperkaya oleh berbagai jalan cerita dalam kesehariannya. Akan tetapi, sejak awal mula, cerita kita telah mendapatkan ancaman dari si jahat yang meliuk-liuk sepanjang sejarah. (hlm. 3). Demikian juga ditegaskan bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk yang perlu mengisahkan dan “mengenakan” pada dirinya cerita-cerita untuk menjaga hidupnya. Dia tidak hanya menenun pakaian, tetapi juga menenun-merajut cerita (bdk. Kej 3:21). (hlm 2).
Kendati begitu, Bapa Suci mengingatkan (atau memberi ‘warning’) pula, bahwa tidak semua cerita baik, hal itu tampak dalam fakta yang kerap kali terjadi bahwa media komunikasi hanya sekedar mengumpulkan informasi yang tidak terverifikasi, mengulang-ulang, dan ada pula berita yang persuasive, yang sifatnya palsu, tak lepas juga adanya berita yang menyerang dengan ujaran kebencian. Jika begitu, semua sungguh tidak menenun sejarah manusia, melainkan menelanjangi martabatnya. (hlm 3).
Hemat penulis, seruran Bapa Suci itu, menyiratkan sebuah makna yang dalam, yang harus dijadikan ‘periksa’, karena pada saat yang sama juga, mengingatkan kita pada hal yang melatarbelakangi semua itu yaitu pentingnya bahasa (dalam bentuk cerita). Bahasa adalah sarana praktis untuk berkomunikasi. Bahasa penting untuk kehidupan manusia, maka dari itu juga, manusia sangat membutuhkan ‘ketrampilan berbahasa’.
Berbanding lurus dengan itu, dapat dikatakan pula bahwa tidak satu pun hal di dunia ini yang tidak dibahasakan, atau terbahasakan. Demikian nampak bahwa manusia adalah makhluk pencerita (berbahasa). Fakta itu pun menegaskan adanya sebuah realitas bahwa segala hal bisa dikenali dan dipahami, bukan tanpa bahasa, karena hanya dengan bahasa, seseorang bisa memperoleh pengetahuan, maka dia pun akan bercerita.
Dalam sebuah refleksi penulis tentang “Hubungan antara Bahasa & Budaya Serta Implikasinya”, berangkat dari pengalaman tradisi Minahasa (Sulawesia Utara), secara tersirat, mengupas juga tentang pentingnya bahasa (cerita) dalam hidup seorang individu. Bahasa (cerita) dan budaya (perilaku) dari pengalaman semisal di Minahasa itu, tak dapat dipisahkan. Di Minahasa, khususnya sub etnis Tombulu (yang berbahasa tombulu) terdapat ‘kata-kata orang tua/leluhur’ (Siwu 1993: 25). Kata-kata tua/leluhur itu merupakan kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, dalam bentuk bahasa lisan. Sekurang-kurangnya dapat disebutkan antara lain: Maesa-esaan (saling bersatu padu) maleos-leosan (saling bersikap baik), masigi-sigian (saling menghormati), masawa-sawangan (saling membantu).
Kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan tersebut, merupakan bahasa lisan yang digunakan secara turun-temurun oleh manusia di Minahasa. Dari kebiasaan-kebiasaan ini, semua orang berkomitmen untuk menjalankan amanat tersebut, menjiwainya, serta melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, karena itu dianggap sebagai pedoman hidup. Dengan kata lain, hal tersebut menjadi cermin penghormatan yang diberikan kepada Tuhan, yang diungkapkan lewat kehidupan moral-praktis, yakni melayani sesama manusia. (Loho 2020: 15).
Bagaimana keterkaitan erat Pesan Bapa Suci dengan kata-kata tua leluhur (nuwu ni tua) di Minahasa? Hemat penulis terletak pada bagaimana bahasa-cerita itu membaharui sikap dan kepribadian seorang pencerita (yang berbahasa). Dengan mewartakan kepada sesama, apa yang ditandaskan oleh Bapa Suci demikian juga kata-kata leluhur yang amat dikenal di Minahasa, sama dengan kita mewartakan cinta yang berasal dari Allah – Opo Empung. Allah secara pribadi telah membuat diri-Nya terajut ke dalam kemanusiaan kita, dan yang memberi cara baru merajut cerita-cerita kita. (hlm. 5). Maka, ketika kita mengingat cinta Allah yang telah menciptakan dan menyelamatkan, ketika kita menaruh cinta Allah ke dalam kehidupan yang ber-cerita setiap hari, dan ketika kita menenun jalan cerita di setiap hari, kita akan berpindah ke halaman berikutnya, kita tidak akan berhenti dan jalan di tempat. Jangan berhenti, melainkan membuka hati dan diri pada yang lain, pada visi yang sama dengan visi sang Narator Kehidupan, Allah Sendiri-Opo Empung.
Demikianlah, hal terpenting yang perlu terus digaungkan adalah sebuah fakta penting, bahwa bahasa dan kehidupan tidak telepas dari kehidupan bersama sebuah masyarakat, itu adalah wujud tindakan sosial sebagai unsur pembentukan sebuah masyarakat. Kita dapat memahami bahwa masyarakat sebagai ‘tenunan yang rumit’ dari tindakan-tindakan sosial tersebut, kendati demikian, kita dapat mengembangkan sebuah konsep masyarakat yang dijalankan dengan paradigma komunikatif, sejurus dengan konsep tindakan sosial Habermas, sang filosof jerman. Dan tindakan komunikatif tersebut terjadi dalam dunia (lebenswelt) sehari-hari. Selamat Hari Komunikasi Sosial Sedunia 54.
Ambrosius M. Loho, (Dosen Unika De La Salle Manado, Pegiat Filsafat-Budaya)
Inspirasimu: Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.